Jumat, 17 Juli 2020

MS IV, PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA



MS IV , PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
KULIAH KEEMPAT, SABTU/18 JULI 2020, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UNITAS, PALEMBANG
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat; bacalah materi kuliah keempat ini dengan seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan (jam 10.00-11.30). Tanggapan ini sekaligus pengganti daftar hadir (absen). Selanjutnya jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di bagian akhir, dan dikirimkan ke WA  atau e mail saya,   reinhardhutapea59@gmail.com
PROSES PEMBUATAN UNDANG-UNDANG DI DPR-RI
Bagaimana, seperti apa, pembuatan Undang-Undang (UU) di DPR-RI, itulah yang akan diuraikan dalam kuliah kali ini. Namun sebelum sampai ke hal-hal teknis tersebut, terlebih dulu kita ikuti perkembangan terakhir dari lembaga tersebut. Perkembangan ini adalah diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Jumat, 10 Juli 2020 dengan tema: Tata Kelola Negara: Lembaga Perwakilan Yang Inklusif.
Dalam diskusi virtual tersebut, peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan, penataan sistim Parlemen diharapkan bisa mengakhiri sistem yang rancu di legislasi.
Penataan sistem parlemen perlu segera dilakukan agar kita bisa segera mengakhiri sistem yang rancu yang membuat proses konsolidasi demokrasi tidak jelas dan tidak pasti”, kata Siti Zuhro.
Kerancuan sistem, menurut Siti, didasari konsep dan desain ketatanegaraan yang tidak jelas arahnya dan apa yang akan dicapai. Ia menyoroti, jika yang dianut sistem bicameral, harus ada penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan perwakilan daerah. dengan demikian, MPR bisa berfungsi sebagai majelis nasional. Konsekuensinya, jabatan ketua MPR harus bergantian DPD dan DPR.
Siti menyatakan, DPR cenderung terlalu kuat dan dikuasai fraksi-fraksi. Akibatnya, keberadaannya terdistorsi menjadi “dewan perwakilan partai”. Bahkan , kedaulatan anggota DPR pun terancam karena kuatnya peran fraksi sebagai alat parpol. Di sisi lain, DPD tak mempunyai kewenangan optimal sehingga mekanisme check and balance tak jalan.
Hal senada disampaikan Ponco Sutowo dari Aliansi Kebangsaan, “Demokrasi hari ini masih dikuasai oligarkhi dan parpol mengabaikan kepentingan rakyat dengan kepentingan lain”, ujarnya.
Aspek keterwakilan rakyat juga disoroti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimli Assiddiqie. Ia menceritakan kegagalannya memperjuangkan DPD. Aspek perwakilan yang sehat, menurut Jimly, parlemen seharusnya terdiri dari perwakilan parpol, daerah, dan fungsional. Karena itu, Jimly mendorong dibentuknya kembali utusan golongan untuk keterwakilan kaum minoritas.
Analis politik dari Universitas Diponegoro, Semarang, Teguh Yuwono, mengatakan, problem klasik yang tidak kunjung selesai adalah aplikasi nilai-nilai Pancasila, seperti permusyawaratan yang adil dan beradab dalam sistem politik. Realitasnya kerap bertentangan dengan idealisme akademisi dan pakar. Bentuk demokrasi yang saat ini diadopsi dari luar dan tak sesuai karakter bangsa.
DPR lebih suka voting karena tak sabar dengan musyawarah, ujar Teguh mencontohkan. Ia juga menyoroti kuatnya DPR. DPD yang seharusnya jadi pelengkap DPR dan menguatkan mekanisme check and balances justru tak punya kekuatan. Karena itu, ia setuju perlunya amandemen konstitusi untuk memperkuat DPD.
Adapun Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Philip J Vermonte menyatakan perlu ditelaah kembali apakah dengan terpenuhinya asas keterwakilan serta-merta menghasilkan pemerintah efektif.
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, tak semua negara cocok dengan sistem demokrasi. Karena itu, Indonesia harus menemukan bentuknya. Saat ini, demokrasi yang dilaksanakan dengan literasi buruk tak akan menghasilkan pemerintah yang baik. Salah satu hal penting dari pemerintah yang baik ialah terpenuhinya aspek keterwakilan (Kompas, 11 Juli 2020).
……..Kacau….betul-betul kacau……..
Supaya lebih afdol tentang kekacauan ini dapat dibaca tulisan Bambang Kesowo di bawah ini……
Lamp I
Pembonceng “Omnibus”
Bambang Kesowo
Ketua Dewan Penasehat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas;
 Pengajar Sekolah Pasca Sarjana FH-UGM
Published Kompas, 13 Februari 2020

“Memang sudah biasa bila ada orang yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan”
Begitu pula ihwal naik bus. Berkendara bareng-bareng dengan arah yang sama untuk tujuan sendiri-sendiri itu biasa. Itu terjadi dengan memakai omnibus seperti zaman lama di Perancis. Arti asli omnibus memang itu. Namun, membonceng untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar bepergian, itu yang nyeleneh. Apalagi kalau yang membonceng tergolong orang-orang berdasi. Mungkin pikirnya, mumpung busnya sedang butuh muatan.
Kalau di Indonesia, mumpung Presiden juga sedang puyeng saat membuat terobosan kebijakan lewat omnibus demi upaya penciptaan lapangan kerja. Apalagi jika hal itu ditempuh lewat perbaikan perizinan berusaha, kemudahan berbisnis, percepatan investasi, dan proyek-proyek pemerintah. Sekali lagi, Namanya juga mumpung. Syukur-syukur para awak bus merasa bahagia karena para pembonceng merasa ikut menyukseskan trayek dan awak bus karena berkontribusi membikin isi bus penuh.
Mengancam kepentingan nasional
Apa soal dan kemana arah prolog tadi? Coba amati keberadaan Pasal 111 RUU Cipta Lapangan kerja tersebut. Cari dan cermati latar belakang pemikiran di balik itu serta alas an kelahirannya. Pasal ada di Bab VI tentang Kemudahan Berusaha. Demi kemudahan tadi, RUU ini merancang perubahan tujuh UU, diantaranya UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten. Elaborasi perubahan setiap UU dirancang di bagian tersendiri. Rumusan Pasal 111 RUU diatur di Bagian Ketiga: Ketentuan dalam Pasal 20 UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Inonesia Nomor 5922) dihapus.
Lantas bagaimana kaitannya dengan hal bonceng-membonceng tadi? Rumusan dalam Pasal 111 RUU memang sederhana (konfirmasi draft final per 11 februrai). Namun, ekornya yang tak enak dan merusak tatanan tatanan UU Paten. Anggaplah UU bias diubah dan hukumnya mawut. Akan tetapi, dampak isi Pasal 111 RUU itu merasuk jauh, bahkan mengancam kepentingan nasional berikut desain politik yang sedari awal disusun untuk meindungi kepentingan pembonceng itu sendiri!. Bisa karena pintar dan halusnya bujukan dari pihak yang membonceng, kebijakan yang maksud dan tujuannya baik atau mungkin juga karena terlena dan kurang waspadanya pengemudi omnibus. Pembonceng it ulet dan pintar. Mumpung pemerintah sedang butuh investor yang digadang-gadang dapat menambah lapangan kerja.
Pasal 20 UU Paten yang dirancang akan dihapus itu menentukan; (1) pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, (2) membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan dihapus adalah pengaturan dalam Bagian Kelima tentang Hak dan Kewajiban Pemegang Paten. Bagian itu di Bab II UU Paten yang mengatur Lingkup Perlindungan Paten.
Mengapa ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja-dan jadi tujuan kebijakan-malah mau dihapus? Menghapus (Ketentuan) Pasal 20 UU Paten artinya meniadakan kewajiban penggunaannya untuk membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten dan dilindungi di Indonesia. Tak hanya bagi warga Indonesia, si pemegang paten warga asing juga punya kewajiban melaksanakan/menggunakan patennya. Sama adil.
Namun, baik untuk disimak, tak semua investor merupakan paten, dan tak selalu pemegang paten adalah investor! Tak semua pemegang paten itu pengusaha, dan tak perlu pemegang paten harus jadi pengusaha. Bila demikian halnya, dalam konteks “Kemudahan Berusaha” seperti di atur di Bab VI RUU, dimana korelasinya sehingga dirasa perlu mengutak-utik kewaajiban pemegang paten? Sedemikian mampatnyakah logika sehingga harus menggunakan asumsi pemilik atau pemegang paten adalah pengusaha atau investor?
Salah satu prinsip UU Paten, sebagaimana dibangun dalam seluruh system HAKI, adalah kewajiban menggunakan paten di Indonesia. Untuk apa diberikan hak kalau tak diwajibkan menggunakannya? Manja amat. Hak diberikan melalui pendaftaran, tetapi kewajiban juga harus dilaksanakan. Itu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hokum. Prinsip keseimbangan mendasar sifatnya, dan itu pula yang ditanam serta akan diwujudkan di system paten. Secara substansial, meniadakan kewajiban menggunakan paten yang di daftar dan di beri perlindungan di Indonesia  (termasuk bila investor itu juga pemilik atau pemegang paten) hanya akan membuat investor yang di dorong dan di elu-elukan di Indonesia berlaku sekadar sebagai agen penjulan di Indonesia.
Sekali lagi, itupun kalau investor. Bagaimana kalau pemegang paten asing itu bukan investor? Patennya dilindungi di Indonesia, tetapi produk tetap dibuat  sendiri oleh principal sebagai pemegang Paten yang ada di negara asal. Sungguh lagi-lagi perlu dicermati pemegang paten belum dan tak selalu berarti investor. Kalau bukan investor, lantas apa hubungannya dengan kemudahan berusaha yang diberikan pemegang paten? Inikah yang Namanya memperlancar dan meningkatkan investasi? Inikah yang dimaksud kemudahan berusaha? Inikah tujuan penciptaan lapangan kerja?
Ada yang lebih besar lagi. Kalau Pasal 20 UU Paten dimatikan, hilang pula makna sejumlah rekayasa kebijakan yang di atur di Pasal 82 UU Paten itu. Pasal 82 merupakan bagian pengaturan konsepsi Lisensi Wajib, yang secara khusus di bangun dalam Bagian Ketiga pada Bab VII UU Paten. Bab VII adalah wadah pengaturan ihwal Pengalihan Hak, Lisensi dan Paten sebagai objek Jaminan Fidusia. Bagian ketiga ini berisi 27 Pasal yang khusus mengatur Lisensi Wajib (Pasal 81 hingga 107). Melalui Pasal 82, diwujudkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban sebagaimana dari awal ditegaskan di Pasal 20 (yang justru akan dihapus). Selain prinsip keseimbangan, juga soal ketertiban, disiplin, dan kejujuran. Pasal 82 dengan sangat sadar dirancang untuk mencegah penyalahgunaan (abuse) hak yang sudah diperoleh pemegang Paten. Dengan mematikan Pasal 20 UU Paten, Pasal 82 kehilangan pegangan. Desain kebijakan politik yang dirancang di Bagian Ketiga Bab VII UU Paten menjadi goyah.. system HAKI nasional ditertawakan pembonceng. Hanya dengan sekali tepuk, Pasal 20 mati, dan rancang bangun kebijakan politik yang dirumuskan dalam Pasal 81 hingga 107 kehilangan makna. Malah runtuh.
Pasal 82 UU Paten mengatur: “Lisensi Wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alas an: a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk satu menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20 ayat (1) dalam jangka waktu 36 bulan setelah diberikan Paten; b, Telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau c, Paten hasil pengembangan dari paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bias dilaksanakan tanpa menggunakan paten pihak lain yang masih dalam perlindungan”.
Pasal-pasal selanjutnya hingga Pasal 107 di Bagian Ketiga tadi berisikan jabaran dan tata cara penerapan konsep Lisensi Wajib. Hanya dengan kata-kata sederhanan di Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapuskan Pasal 20, kewajiban melaksanakan paten di Indonesia ditiadakan. Pemegang Paten (bukan selalu berarti investor) bebas dan tak harus melaksanakan patennya di Indonesia. Lebih dari sekedar kebebasan yang dinikmati pemegang paten, kemungkinan untuk menggunakan paten tadi oleh pihak lain – yang sengaja dibangun melalui UU Paten untuk menghindarkan penyalah gunaan hak – juga ditiadakan. Kata jelasnya: betapa seluruh rancang bangun politik dalam Bagian Ketiga tentang Lisensi Wajib, tanpa atau dengan sadar, nantinya diruntuhkan oleh pemerintah  dan DPR sendiri.
Selain hebat, pembonceng juga licin. Yang “kebangetan” jadinya ya kita sendiri. “Nasihat” diberikan lewat Pasal 20, dan tak perlu harus lewat seluruh pengaturan soal Lisensi Wajib. Dalam sistem  paten, konsep Lisensi Wajib (bersama konsep government use/penggunaan oleh pemerintah) memang dikenal sebagai isu yang sensitif. Kalangan ahli HAKI sangat tahu, menyentuh langsung konsep tersebut hanya akan mempercepat terbukanya kedok, identitas, dan niatan pembonceng. Sebaliknya, dengan menghapus ketentuan Pasal 20 UU Paten, seluruh bangunan konsep tentang Lisensi Wajib akan runtuh.
Kepentingan korporasi besar
Dalam sejarah perundingan HAKI, khususnya Paten sejak awal dekade 1980-an di World Intelectual Property Organization (WIPO), pro-kontra tentang konsep itu selalu melingkupi forum. Begitu pula diperundingan Putaran Uruguay di GATT/WTO. Salah satu kompromi politik yang akhirnya ditempuh dan memungkinkan kelahiran “persetujuan”TRIPs-WTO adalah menyerahkan ke negara anggota untuk megatur elaborasi dan implementasi konsep Lisensi Wajib dan government use dalam sistem hukum nasional masing-masing.
Batasannya, sejauh hal itu sesuai prinsip-prinsip dalam persetujuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) itu sendiri. Dokumen TRIPs tak melarang Lisensi Wajib ataupun government use. Sejauh ini, semua UU di lingkup HAKI termasuk UU No 13/2016 tentang Paten telah dibuat dengan mengindahkan prinsip-prinsip itu.
Bukan rahasia bahwa kompromi politik itu belum memberikan kepuasan ke banyak negara industri maju. Di belakang sikap resmi negara-negara maju ada kepentingan perusahaan multinasional, utamanya yang bergerak di bidang farmasi/pembuatan obat. Mengejar rasa tak puas itulah, mereka terus berusaha mewujudkan apa yang belum bisa dicapai dalam persetujuan TRIPs lewat berbagai for a multilateral seperti APEC dan (antar) regional seperti Uni Eropa , ASEAN, bahkan bilateral melalui perundingan Free Trade Agreement (FTA) atau skema komprehensif lain. Perundingan pemberian bantuan Teknik atau keuangan pun sering tak lepas dari kepentingan tadi.
Kepentingan ekonomi dan dagang dalam HAKI yang bermotif dan menonjolkan karakter monopolistik itulah yang sebenarnya sangat ingin diperjuangkan dan dipertahankan. Mereka banyak menguasai paten untuk produk-produk obat yang sering kali dalam banyak bencana, yang mengancam kehidupan manusia, justru diperlukan banyak negara. Kalau bisa mengendalikan pasar , volume produk, dan harga dari negaranya, mengapa harus susah-susah membuat di negara lain? Sekali lagi, tak selalu pemegang paten adalah investor. Mendaftarkan paten, mereka hanya membutuhkan perlindungannya. Bukan selalu berarti akan berusaha. Karena itu, kalau Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja menjadikannya sebagai asumsi bahwa pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia, disitulah mungkin pangkal kekeliruannya. Mereka senang, sedangkan kita telanjang! Bukankah sebagai metode, omnibus bukan lantas berarti “sapu jagat”, dan jauh pula dari arti amuk-amukan? Tiadakan sajalah perumusan Pasal 111 tersebut.
Pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja mungkin masih berlangsung dalam musim wabah corona akhir-akhir ini. Sebelumnya ada SARS dan MERS. Juga flu burung dan campak monyet. Begitu pula HIV/AIDS. Semuanya belum ada vaksin pamungkasnya.
Komplit sudah kekacauan itu…..dari kacau ke kacau. Itulah perjalanan si DPR …si MPR…si DPD….si legislatif, yang kalau diuraikan tak habis-habisnya.
Supaya kita tidak ikut-ikutan  kacau, kita teruskan ke inti mata kuliah ini yakni p r o s e s  pembentukan UU.
Akan diuraikan:
·        dasar hukum
·        mekanisme/prosedur
·        pengambilan keputusan
Cat: saya dua periode staf ahli DPR-RI (2000-2009). Pertama di Komisi IX (keuangan, perbankan, dan pembangunan). Kedua, di komisi II (bidang pemerintahan). Saya melihat kelemahan itu semua di depan mata. Tidak dari cerita ke cerita….Jika adik-adik mau menanyakan tentang DPR-RI akan saya jawab apa adanya.

Proses Pembentukan Undang-Undang
Diambil dari tulisan Ilman Hadi SH, 24 maret 2020
Dasar hukum atau landasan pembentukan UU adalah UUD 1945, UU No 12 Tahun 2011, dan Tata Tertib DPR-RI.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 dikatakan: kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945: bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Proses pembentukan UU diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Selain itu, diatur juga dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan perubahannya
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011. Materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:
a.       Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945
b.      Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU
c.       Pengesahan perjanjian internasional tertentu
d.      Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/atau
e.       Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
Dalam UU No 12 Tahun 2011 dan perubahannya, proses pembuatan UU di atur dalam Pasal 16 UU No 12 tahun 2011 s.d Pasal 23 UU No 15 Tahun 2019, Pasal 43 UU No 12 tahun 2011 s.d Pasal 51 UU No 12 tahun 2011, dan Pasal 65 UU No 12 Tahun 2011 s.d Pasal 74 UU No 12 tahun 2011.
Sedangkan dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU di atur dalam Pasal 162 s.d Pasal 173.
Berdasarkan kedua UU tersebut, dapat disarikan proses pembentukan UU sebagai berikut:
1.      Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, DPD, dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.
2.      RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
3.      Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU, atau pencabutan Perppu
4.      RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.
5.      RUU yang diajukan oleh Presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
6.      Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
7.      Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan
8.      Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus
9.      Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
10.  Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna yang berisi :
a.       Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I
b.      Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna
c.       Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditugaskan..
11.  Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
12.  RUU yang telah mendapat persetujuan Bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembara Negara republik Indonesia.
13.  Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas tahunan.
Demikian mekanisme, prosedur, atau teknis pembuatan UU di DPR-RI
PERTANYAAN
1.      Mengapa Siti Zuhro menyebut legislative/parlemen kita “rancu”. Jelaskan secara singkat.
2.      Jelaskan dengan sistimatis apa yang dimaksud Yudi Latif dengan “aspek keterwakilan”
3.      Mengapa RUU Omnibus Law menurut Bambang Kesowo, (1) mengancam kepentingan nasional, (2) kepentingan korporasi besar.
4.      Apa yang saudara/I ketahui tentang RUU-HIP? Jelaskan secara singkat.
5.      Apa yang saudara tidak pahami dari proses pembuatan UU di DPR RI? Tulis dengan seksama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar