MS IV , PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
KULIAH KEEMPAT, SABTU/18 JULI 2020, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UNITAS, PALEMBANG
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat; bacalah materi kuliah keempat ini dengan
seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan (jam
10.00-11.30). Tanggapan ini sekaligus pengganti daftar hadir (absen). Selanjutnya
jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di bagian akhir, dan dikirimkan ke
WA atau e mail saya, reinhardhutapea59@gmail.com
∏
PROSES
PEMBUATAN UNDANG-UNDANG DI DPR-RI
Bagaimana, seperti apa, pembuatan
Undang-Undang (UU) di DPR-RI, itulah yang akan diuraikan dalam kuliah kali ini.
Namun sebelum sampai ke hal-hal teknis tersebut, terlebih dulu kita ikuti
perkembangan terakhir dari lembaga tersebut. Perkembangan ini adalah diskusi
virtual yang diselenggarakan oleh Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia, Jumat, 10 Juli 2020 dengan tema: Tata
Kelola Negara: Lembaga Perwakilan Yang Inklusif.
Dalam diskusi virtual tersebut,
peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro mengatakan, penataan
sistim Parlemen diharapkan bisa mengakhiri sistem yang
rancu di legislasi.
Penataan sistem parlemen perlu segera
dilakukan agar kita bisa segera mengakhiri sistem yang rancu yang membuat
proses konsolidasi demokrasi tidak jelas dan tidak pasti”, kata Siti Zuhro.
Kerancuan sistem, menurut Siti,
didasari konsep dan desain ketatanegaraan yang tidak
jelas arahnya dan apa yang akan dicapai. Ia menyoroti, jika yang dianut
sistem bicameral, harus ada penguatan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
merupakan perwakilan daerah. dengan demikian, MPR bisa berfungsi sebagai majelis
nasional. Konsekuensinya, jabatan ketua MPR harus bergantian DPD dan DPR.
Siti menyatakan, DPR cenderung
terlalu kuat dan dikuasai fraksi-fraksi. Akibatnya, keberadaannya terdistorsi
menjadi “dewan perwakilan partai”. Bahkan ,
kedaulatan anggota DPR pun terancam karena kuatnya peran fraksi sebagai alat
parpol. Di sisi lain, DPD tak mempunyai kewenangan optimal sehingga mekanisme check and balance tak jalan.
Hal senada disampaikan Ponco Sutowo
dari Aliansi Kebangsaan, “Demokrasi hari ini masih
dikuasai oligarkhi dan parpol mengabaikan kepentingan rakyat dengan kepentingan
lain”, ujarnya.
Aspek keterwakilan rakyat juga
disoroti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimli Assiddiqie. Ia menceritakan
kegagalannya memperjuangkan DPD. Aspek perwakilan yang sehat, menurut Jimly,
parlemen seharusnya terdiri dari perwakilan parpol,
daerah, dan fungsional. Karena itu, Jimly mendorong dibentuknya kembali
utusan golongan untuk keterwakilan kaum minoritas.
Analis politik dari Universitas
Diponegoro, Semarang, Teguh Yuwono, mengatakan, problem
klasik yang tidak kunjung selesai adalah aplikasi nilai-nilai Pancasila,
seperti permusyawaratan yang adil dan beradab dalam sistem politik. Realitasnya
kerap bertentangan dengan idealisme akademisi dan pakar. Bentuk demokrasi yang
saat ini diadopsi dari luar dan tak sesuai karakter bangsa.
DPR lebih suka voting karena tak sabar dengan musyawarah, ujar Teguh mencontohkan.
Ia juga menyoroti kuatnya DPR. DPD yang seharusnya jadi pelengkap DPR dan
menguatkan mekanisme check and balances
justru tak punya kekuatan. Karena itu, ia setuju perlunya amandemen konstitusi
untuk memperkuat DPD.
Adapun Direktur Eksekutif Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Philip J Vermonte
menyatakan perlu ditelaah kembali apakah dengan
terpenuhinya asas keterwakilan serta-merta menghasilkan pemerintah efektif.
Cendekiawan Yudi Latif mengatakan, tak semua negara cocok dengan sistem demokrasi. Karena
itu, Indonesia harus menemukan bentuknya. Saat ini, demokrasi yang dilaksanakan
dengan literasi buruk tak akan menghasilkan pemerintah yang baik. Salah satu
hal penting dari pemerintah yang baik ialah terpenuhinya aspek keterwakilan
(Kompas, 11 Juli 2020).
……..Kacau….betul-betul
kacau……..
Supaya
lebih afdol tentang kekacauan
ini dapat dibaca tulisan Bambang Kesowo di bawah ini……
Lamp I
Pembonceng
“Omnibus”
Bambang
Kesowo
Ketua Dewan
Penasehat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas;
Pengajar Sekolah Pasca Sarjana FH-UGM
Published
Kompas, 13 Februari 2020
“Memang
sudah biasa bila ada orang yang
mengambil
kesempatan dalam kesempitan”
Begitu
pula ihwal naik bus. Berkendara bareng-bareng dengan arah yang sama untuk
tujuan sendiri-sendiri itu biasa. Itu terjadi dengan memakai omnibus seperti zaman lama di Perancis.
Arti asli omnibus memang itu. Namun,
membonceng untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar bepergian, itu yang
nyeleneh. Apalagi kalau yang membonceng tergolong orang-orang berdasi. Mungkin
pikirnya, mumpung busnya sedang butuh muatan.
Kalau
di Indonesia, mumpung Presiden juga sedang puyeng saat membuat terobosan
kebijakan lewat omnibus demi upaya
penciptaan lapangan kerja. Apalagi jika hal itu ditempuh lewat perbaikan
perizinan berusaha, kemudahan berbisnis, percepatan investasi, dan
proyek-proyek pemerintah. Sekali lagi, Namanya juga mumpung. Syukur-syukur para
awak bus merasa bahagia karena para pembonceng merasa ikut menyukseskan trayek
dan awak bus karena berkontribusi membikin isi bus penuh.
Mengancam
kepentingan nasional
Apa
soal dan kemana arah prolog tadi? Coba amati keberadaan Pasal 111 RUU Cipta
Lapangan kerja tersebut. Cari dan cermati latar belakang pemikiran di balik itu
serta alas an kelahirannya. Pasal ada di Bab VI tentang Kemudahan Berusaha.
Demi kemudahan tadi, RUU ini merancang perubahan tujuh UU, diantaranya UU No 13
Tahun 2016 tentang Paten. Elaborasi perubahan setiap UU dirancang di bagian
tersendiri. Rumusan Pasal 111 RUU diatur di Bagian Ketiga: Ketentuan dalam
Pasal 20 UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Inonesia Nomor 5922)
dihapus.
Lantas
bagaimana kaitannya dengan hal bonceng-membonceng tadi? Rumusan dalam Pasal 111
RUU memang sederhana (konfirmasi draft final per 11 februrai). Namun, ekornya
yang tak enak dan merusak tatanan tatanan UU Paten. Anggaplah UU bias diubah
dan hukumnya mawut. Akan tetapi, dampak isi Pasal 111 RUU itu merasuk jauh,
bahkan mengancam kepentingan nasional berikut desain politik yang sedari awal
disusun untuk meindungi kepentingan pembonceng itu sendiri!. Bisa karena pintar
dan halusnya bujukan dari pihak yang membonceng, kebijakan yang maksud dan
tujuannya baik atau mungkin juga karena terlena dan kurang waspadanya pengemudi
omnibus. Pembonceng it ulet dan pintar. Mumpung pemerintah sedang butuh
investor yang digadang-gadang dapat menambah lapangan kerja.
Pasal
20 UU Paten yang dirancang akan dihapus itu menentukan; (1) pemegang Paten
wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, (2) membuat produk
atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang
transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja.
Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan dihapus adalah pengaturan dalam Bagian
Kelima tentang Hak dan Kewajiban Pemegang Paten. Bagian itu di Bab II UU Paten
yang mengatur Lingkup Perlindungan Paten.
Mengapa
ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih
teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja-dan jadi tujuan
kebijakan-malah mau dihapus? Menghapus (Ketentuan) Pasal 20 UU Paten artinya
meniadakan kewajiban penggunaannya untuk membuat produk atau menggunakan proses
yang diberi paten dan dilindungi di Indonesia. Tak hanya bagi warga Indonesia,
si pemegang paten warga asing juga punya kewajiban melaksanakan/menggunakan
patennya. Sama adil.
Namun,
baik untuk disimak, tak semua investor merupakan paten, dan tak selalu pemegang
paten adalah investor! Tak semua pemegang paten itu pengusaha, dan tak perlu
pemegang paten harus jadi pengusaha. Bila demikian halnya, dalam konteks
“Kemudahan Berusaha” seperti di atur di Bab VI RUU, dimana korelasinya sehingga
dirasa perlu mengutak-utik kewaajiban pemegang paten? Sedemikian mampatnyakah
logika sehingga harus menggunakan asumsi pemilik atau pemegang paten adalah
pengusaha atau investor?
Salah
satu prinsip UU Paten, sebagaimana dibangun dalam seluruh system HAKI, adalah
kewajiban menggunakan paten di Indonesia. Untuk apa diberikan hak kalau tak
diwajibkan menggunakannya? Manja amat. Hak diberikan melalui pendaftaran,
tetapi kewajiban juga harus dilaksanakan. Itu prinsip keseimbangan antara hak
dan kewajiban dalam hokum. Prinsip keseimbangan mendasar sifatnya, dan itu pula
yang ditanam serta akan diwujudkan di system paten. Secara substansial,
meniadakan kewajiban menggunakan paten yang di daftar dan di beri perlindungan
di Indonesia (termasuk bila investor itu
juga pemilik atau pemegang paten) hanya akan membuat investor yang di dorong
dan di elu-elukan di Indonesia berlaku sekadar sebagai agen penjulan di
Indonesia.
Sekali
lagi, itupun kalau investor. Bagaimana kalau pemegang paten asing itu bukan
investor? Patennya dilindungi di Indonesia, tetapi produk tetap dibuat sendiri oleh principal sebagai pemegang Paten
yang ada di negara asal. Sungguh lagi-lagi perlu dicermati pemegang paten belum
dan tak selalu berarti investor. Kalau bukan investor, lantas apa hubungannya
dengan kemudahan berusaha yang diberikan pemegang paten? Inikah yang Namanya
memperlancar dan meningkatkan investasi? Inikah yang dimaksud kemudahan
berusaha? Inikah tujuan penciptaan lapangan kerja?
Ada
yang lebih besar lagi. Kalau Pasal 20 UU Paten dimatikan, hilang pula makna
sejumlah rekayasa kebijakan yang di atur di Pasal 82 UU Paten itu. Pasal 82
merupakan bagian pengaturan konsepsi Lisensi Wajib, yang secara khusus di
bangun dalam Bagian Ketiga pada Bab VII UU Paten. Bab VII adalah wadah
pengaturan ihwal Pengalihan Hak, Lisensi dan Paten sebagai objek Jaminan
Fidusia. Bagian ketiga ini berisi 27 Pasal yang khusus mengatur Lisensi Wajib
(Pasal 81 hingga 107). Melalui Pasal 82, diwujudkan prinsip keseimbangan hak
dan kewajiban sebagaimana dari awal ditegaskan di Pasal 20 (yang justru akan
dihapus). Selain prinsip keseimbangan, juga soal ketertiban, disiplin, dan
kejujuran. Pasal 82 dengan sangat sadar dirancang untuk mencegah penyalahgunaan
(abuse) hak yang sudah diperoleh pemegang Paten. Dengan mematikan Pasal 20 UU
Paten, Pasal 82 kehilangan pegangan. Desain kebijakan politik yang dirancang di
Bagian Ketiga Bab VII UU Paten menjadi goyah.. system HAKI nasional
ditertawakan pembonceng. Hanya dengan sekali tepuk, Pasal 20 mati, dan rancang
bangun kebijakan politik yang dirumuskan dalam Pasal 81 hingga 107 kehilangan
makna. Malah runtuh.
Pasal
82 UU Paten mengatur: “Lisensi Wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan Paten
yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alas
an: a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk satu
menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20 ayat (1)
dalam jangka waktu 36 bulan setelah diberikan Paten; b, Telah dilaksanakan oleh
pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang
merugikan kepentingan masyarakat; atau c, Paten hasil pengembangan dari paten yang
telah diberikan sebelumnya tidak bias dilaksanakan tanpa menggunakan paten
pihak lain yang masih dalam perlindungan”.
Pasal-pasal
selanjutnya hingga Pasal 107 di Bagian Ketiga tadi berisikan jabaran dan tata
cara penerapan konsep Lisensi Wajib. Hanya dengan kata-kata sederhanan di Pasal
111 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapuskan Pasal 20, kewajiban melaksanakan
paten di Indonesia ditiadakan. Pemegang Paten (bukan selalu berarti investor)
bebas dan tak harus melaksanakan patennya di Indonesia. Lebih dari sekedar
kebebasan yang dinikmati pemegang paten, kemungkinan untuk menggunakan paten
tadi oleh pihak lain – yang sengaja dibangun melalui UU Paten untuk
menghindarkan penyalah gunaan hak – juga ditiadakan. Kata jelasnya: betapa
seluruh rancang bangun politik dalam Bagian Ketiga tentang Lisensi Wajib, tanpa
atau dengan sadar, nantinya diruntuhkan oleh pemerintah dan DPR sendiri.
Selain
hebat, pembonceng juga licin. Yang “kebangetan” jadinya ya kita sendiri.
“Nasihat” diberikan lewat Pasal 20, dan tak perlu harus lewat seluruh
pengaturan soal Lisensi Wajib. Dalam sistem
paten, konsep Lisensi Wajib (bersama konsep government use/penggunaan oleh pemerintah) memang dikenal sebagai
isu yang sensitif. Kalangan ahli HAKI sangat tahu, menyentuh langsung konsep tersebut
hanya akan mempercepat terbukanya kedok, identitas, dan niatan pembonceng.
Sebaliknya, dengan menghapus ketentuan Pasal 20 UU Paten, seluruh bangunan
konsep tentang Lisensi Wajib akan runtuh.
Kepentingan
korporasi besar
Dalam
sejarah perundingan HAKI, khususnya Paten sejak awal dekade 1980-an di World
Intelectual Property Organization (WIPO), pro-kontra tentang konsep itu selalu
melingkupi forum. Begitu pula diperundingan Putaran Uruguay di GATT/WTO. Salah
satu kompromi politik yang akhirnya ditempuh dan memungkinkan kelahiran
“persetujuan”TRIPs-WTO adalah menyerahkan ke negara anggota untuk megatur
elaborasi dan implementasi konsep Lisensi Wajib dan government use dalam sistem hukum nasional masing-masing.
Batasannya,
sejauh hal itu sesuai prinsip-prinsip dalam persetujuan TRIPs (Trade Related
Aspects of Intelectual Property Rights) itu sendiri. Dokumen TRIPs tak melarang
Lisensi Wajib ataupun government use.
Sejauh ini, semua UU di lingkup HAKI termasuk UU No 13/2016 tentang Paten telah
dibuat dengan mengindahkan prinsip-prinsip itu.
Bukan
rahasia bahwa kompromi politik itu belum memberikan kepuasan ke banyak negara
industri maju. Di belakang sikap resmi negara-negara maju ada kepentingan
perusahaan multinasional, utamanya yang bergerak di bidang farmasi/pembuatan
obat. Mengejar rasa tak puas itulah, mereka terus berusaha mewujudkan apa yang
belum bisa dicapai dalam persetujuan TRIPs lewat berbagai for a multilateral
seperti APEC dan (antar) regional seperti Uni Eropa , ASEAN, bahkan bilateral
melalui perundingan Free Trade Agreement (FTA) atau skema komprehensif lain.
Perundingan pemberian bantuan Teknik atau keuangan pun sering tak lepas dari
kepentingan tadi.
Kepentingan
ekonomi dan dagang dalam HAKI yang bermotif dan menonjolkan karakter
monopolistik itulah yang sebenarnya sangat ingin diperjuangkan dan
dipertahankan. Mereka banyak menguasai paten untuk produk-produk obat yang
sering kali dalam banyak bencana, yang mengancam kehidupan manusia, justru
diperlukan banyak negara. Kalau bisa mengendalikan pasar , volume produk, dan
harga dari negaranya, mengapa harus susah-susah membuat di negara lain? Sekali
lagi, tak selalu pemegang paten adalah investor. Mendaftarkan paten, mereka
hanya membutuhkan perlindungannya. Bukan selalu berarti akan berusaha. Karena
itu, kalau Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja menjadikannya sebagai asumsi
bahwa pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia,
disitulah mungkin pangkal kekeliruannya. Mereka senang, sedangkan kita telanjang!
Bukankah sebagai metode, omnibus bukan lantas berarti “sapu jagat”, dan jauh
pula dari arti amuk-amukan? Tiadakan sajalah perumusan Pasal 111 tersebut.
Pembahasan
RUU Cipta Lapangan Kerja mungkin masih berlangsung dalam musim wabah corona
akhir-akhir ini. Sebelumnya ada SARS dan MERS. Juga flu burung dan campak
monyet. Begitu pula HIV/AIDS. Semuanya belum ada vaksin pamungkasnya.
∏
Komplit
sudah kekacauan itu…..dari kacau ke kacau. Itulah perjalanan si DPR …si MPR…si
DPD….si legislatif, yang kalau diuraikan tak habis-habisnya.
Supaya
kita tidak ikut-ikutan kacau, kita
teruskan ke inti mata kuliah ini yakni p r o s e s pembentukan UU.
Akan
diuraikan:
·
dasar hukum
·
mekanisme/prosedur
·
pengambilan
keputusan
Cat: saya dua periode staf ahli DPR-RI
(2000-2009). Pertama di Komisi IX (keuangan, perbankan, dan pembangunan).
Kedua, di komisi II (bidang pemerintahan). Saya melihat kelemahan itu semua di
depan mata. Tidak dari cerita ke cerita….Jika adik-adik mau menanyakan tentang
DPR-RI akan saya jawab apa adanya.
∏
Proses Pembentukan Undang-Undang
Diambil dari tulisan Ilman Hadi SH, 24
maret 2020
Dasar
hukum atau landasan pembentukan UU adalah UUD 1945, UU No 12 Tahun 2011, dan
Tata Tertib DPR-RI.
Berdasarkan Pasal 20 ayat
(1) UUD 1945 dikatakan: kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Pasal 20 ayat (2) UUD
1945: bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden
untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Proses pembentukan UU
diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana yang telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Selain itu, diatur juga
dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(UU MD3) dan perubahannya
Berdasarkan Pasal 10 ayat
(1) UU No 12 Tahun 2011. Materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:
a.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
UUD 1945
b.
Perintah suatu UU untuk diatur dengan UU
c.
Pengesahan perjanjian internasional
tertentu
d.
Tindak lanjut atas putusan Mahkamah
Konstitusi, dan/atau
e.
Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat
Dalam UU No 12 Tahun 2011
dan perubahannya, proses pembuatan UU di atur dalam Pasal 16 UU No 12 tahun
2011 s.d Pasal 23 UU No 15 Tahun 2019, Pasal 43 UU No 12 tahun 2011 s.d Pasal
51 UU No 12 tahun 2011, dan Pasal 65 UU No 12 Tahun 2011 s.d Pasal 74 UU No 12
tahun 2011.
Sedangkan dalam UU MD3
dan perubahannya, pembentukan UU di atur dalam Pasal 162 s.d Pasal 173.
Berdasarkan kedua UU
tersebut, dapat disarikan proses pembentukan UU sebagai berikut:
1.
Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, DPD, dan
pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan RUU.
2.
RUU dapat berasal dari DPR, Presiden, atau
DPD.
3.
Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi
dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU, atau pencabutan Perppu
4.
RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR,
komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.
5.
RUU yang diajukan oleh Presiden diajukan
dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
6.
Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD
serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas.
RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan
DPD kepada pimpinan DPR.
7.
Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua
tingkat pembicaraan
8.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam
rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan Legislasi, rapat Badan
Anggaran, atau rapat panitia khusus
9.
Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I
meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan
penyampaian pendapat mini.
10.
Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam
rapat paripurna yang berisi :
a. Penyampaian
laporan yang berisi proses, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I
b. Pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna
c. Pendapat
akhir presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditugaskan..
11.
Bila tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
12.
RUU yang telah mendapat persetujuan
Bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi
UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta
diundangkan dalam Lembara Negara republik Indonesia.
13.
Apabila pembahasan RUU telah memasuki
pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat
itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya
dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat
dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas
tahunan.
Demikian
mekanisme, prosedur, atau teknis pembuatan UU di DPR-RI
PERTANYAAN
1. Mengapa
Siti Zuhro menyebut legislative/parlemen kita “rancu”. Jelaskan secara singkat.
2. Jelaskan
dengan sistimatis apa yang dimaksud Yudi Latif dengan “aspek keterwakilan”
3.
Mengapa RUU Omnibus Law menurut Bambang
Kesowo, (1) mengancam
kepentingan nasional, (2) kepentingan korporasi besar.
4. Apa
yang saudara/I ketahui tentang RUU-HIP?
Jelaskan secara singkat.
5. Apa
yang saudara tidak pahami dari proses pembuatan UU di DPR RI? Tulis dengan
seksama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar