Kamis, 09 Juli 2020

MATERI DISKUSI ZOOM GMNI UMSU, 9 JULI 2020, JAM 20.00 WIB



Materi diskusi GmnI Kom UMSU
EUFORIA DAN TURBULENSI RUU-HIP
 9 Juli 2020 via zoom, jam 20.00 sd selesai
Pengantar diskusi
Sebelum sampai kita ke pembahasan : mengapa RUU HIP ditolak? Ada baiknya artikel-artikel dibawah ini dibaca dengan seksama. Sedapat mungkin dibaca berulang-ulang…jangan sekedar-sekedar…jangan dibuat jadi hiburan, melainkan sepenuh hati untuk menemukan jawaban yang rasional-ilmiah, alias jawaban yang tidak kesurupan-kesetanan, yang membabi-buta, sebagaimana yang kita saksikan/baca akhir-akhir ini.
PANCASILA SEBAGAI  IDEOLOGI DUNIA
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published , Waspada, 10 Juni 2020
Pidato Bung Karno mengkritik habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme, kapitalisme, dan kolonialisme, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai alternatifnya

Ketika Pancasila di rumuskan pada tanggal 1 Juni 1945, suasana dunia saat itu adalah “Imperialisme dan Kolonialisme”, yakni banyak negara yang masih terjajah. Terjajah oleh imperium negara-negara atau bangsa-bangsa Barat/Eropa, yang kemaruk hasil-hasil kekayaan negara jajahan. Tidak terkecuali Indonesia yang sekian abad dijajah Belanda. Betapa pedih dan menderitanya, suatu bangsa jajahan, rasanya tidak perlu lagi diuraikan, sebab manusia sudah memahaminya.
Semua paham bahwa imperialism-kolonialisme adalah inhuman, melanggar kemanusiaan alias dehumanisasi. Oleh karena itulah perumus Pancasila, khususnya Bung Karno, dengan tekad yang kuat mencantumkan “Kemanusian” sebagai salah satu sila utamanya.  Sila yang juga diangkat dari titah-titah tokoh dunia saat itu, seperti pemikir besar Sosialis, AA Baars, pendiri China, Dr Sun Yat Sen, yang menorehkan San Min Chui (nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme), serta Bapak India, Mahatma Gandhi, yang mengumandangkan “my nationalism is humanity” (nasionalisme saya adalah kemanusiaan).
Pemikiran yang sesungguhnya tidak baru, tidak istimewa, karena hakiki kemanusiaan sudah melekat (inheren) pada kehidupan atau manusia itu sendiri, sebagaimana pesan setiap “budaya”, dan titah yang diajarkan “Pencipta” dalam kitab-kitab sucinya. Pemikiran yang biasa saja, pemikiran yang sesungguhnya, justru paling dipahami oleh penjajah/kolonial, namun entah mengapa, mereka tetap saja melabraknya.
Mustahil/Non sense, penjajah yang katanya adalah bangsa/negara yang berbudaya tinggi, yang berTuhan, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologis, serta yang memiliki kelebihan-kelebihan yang lain tidak memahami penjajahan sebagai inhuman. Namun sebagaimana disebut sebelumnya, mereka tetap saja menabraknya. Tetap saja birahinya lebih utama dari akal sehatnya.
Menolak Perang Dingin
Konstatasi yang membenarkan pandangan kaum realis, dan atau khususnya kalangan Marxis, yakni (bahwa) kehidupan itu pada dasarnya adalah konfliktual, antagonistik, dan anarchis, yang harus diselesaikan dengan jalan kekerasan, atau perang. Tidak dengan jalan damai yang lebih soft, seperti dialog, bujukan, persuasi, atau diplomasi sebagaimana diajarkan para moralis atau kaum idealis.
Fakta-empirik terhadap pandangan ekstrim demikian, dapat dilihat, ketika Perang Dunia II selesai, yang ditandai dengan bertekuk lututnya Jepang terhadap Sekutu, yang dipimpin AS, tidak membuat perang selesai. Perang pembebasan kemerdekaan dimana-mana masih terus berlangsung, pada hal setahun sebelumnya, (tahun 1944), baru saja dibentuk Lembaga yang tujuan utamanya menghindari perang dan menciptakan perdamaian, yakni Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/UNO).
Diseluruh penjuru dunia, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pendudukan (ooccupation) yang ditopang militer masih terus berlangsung. Imperialism/Kolonialisme sebagaimana era sebelumnya, tetap bercokol di ketiga wilayah itu. Sang kolonial terus menjajah dengan dengan segala pola dan variannya, sebagai konsekwensi dari power politics yang berubah, yakni tampilnya dua raksasa baru, (yang sebelumnya tidak terlibat kolonialisme), yakni AS dan Uni Soviet.
Kedua super power ini, diam-diam melesat syahwat kolonialnya, sebagaimana yang dipraktekkan sekutu-sekutunya. Mereka terlibat dalam perang baru yang namanya terkenal dengan sebutan perang dingin (cold war). Perang yang tidak frontal antar mereka, melainkan perang yang melibatkan negara lain sebagai ajangnya. Mereka yang perang, namun negara-negara lain yang korban utama.
Perang yang nyaris menyeret seluruh negara terjun perang dunia III, kalau saja, Mc Arthur, panglima perang AS dalam Perang Korea saat itu, tidak ditarik Washington pulang ke negerinya. Arthur sebagaimana sejarahnya, telah berencana meluaskan perang melewati Korea (hingga China), dan akan meledakkan senjata-senjata pemusnah baru disana.
Namun sebelum ide gila itu diwujudkan, ia (Arthur) ditarik ke Washington oleh Harry S Truman, (presiden AS saat itu). Ia digantikan Letjen Matthew B. Ridgway, seorang militer yang lebih memilih jalan diplomasi(soft), dialog, dan persuasi ketimbang persfektif perang. Meminjam Clausewitz (ahli perang dari Jerman), diplomasi sebagai kelanjutan perang
Dengan segala pertimbangan realis dan idealisnya, yakni membludak/banyaknya manusia, dan atau khususnya tentara yang tewas, besarnya kerugian materil/moril, plus kekuatan lawan (Korea Utara) yang disokong China dan Uni Soviet dengan persenjataan yang semakin besar, akhirnya memaksa kedua pihak menempuh kesepakatan, yakni gencatan senjata (cease fire) pada tahun 1953.
Kesepakatan yang hingga hari ini belum berubah, yakni kedua negara secara hukum masih dalam suasana perang, belum dalam suasana damai. Suasana yang terus langgeng, karena kedua pihak yang berseteru, yakni AS yang berpaham Liberal-Kapitalis, dan Uni Soviet yang beraliran Sosialis-Komunis tetap menghadirkan militernya dalam jumlah besar disana (siap-siap jika perang Meletus).
Keadaan yang dalam perjalanan selanjutnya, terus meningkatkan ketegangan dunia. Ketegangan yang terus tereskalasi, sebab kedua adi kuasa berlomba-lomba membangun militer dan persenjataannya secara besar-besaran. Termasuk pembangunan pakta-pakta pertahanan ang disponsori AS, seperti NATO di Atlantik, SEATO di Asia tenggara, Cento di Asia Tengah, perjanjian militer AS-Jepang, yang mengijinkan Okinawa sebagai pangkalan milter AS, dan yang disponsori seterunya, yakni Uni Sovet membangun pakta pertahanan yang bernawa Pakta Warsawa (Warsaw pact).
Keadaan yang selanjutnya melesatkan apa yang disebut “polisi dunia, tanpa pemerintahan dunia”. Kedua pihak melakukan maneuver, patroli, dan menebar ancaman dimana-mana. Di seluruh penjuru dunia yang letaknya strategis ditempatkan moncong-moncong nuklir/rudal yang setiap saat siap diledakkan, namun tidak di ledak-ledakkan. Hanya show of force untuk menakut-nakuti pihak lawan, dan negara-negara lain yang tak mendukungnya. Dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua.
Ideologi Dunia
Negara-negara lain, khususnya Indonesia, yang tidak sepaham dengan politik jahanam demikian, dengan perlahan menyusun perlawanan moral (moral force). Negara-negara ini berpandangan bahwa dunia ini tidak hanya milik AS plus sekutu-sekutunya yang Liberalis-Kapitalis, dan Uni Soviet dengan sekutu-sekutunya, yang Sosialis-Komunis, melainkan negara-negara nasional yang cinta damai dan kemerdekaan.
Dengan dimotori Indonesia, negara-negara yang berpaham nasionalistik ini, berketetapan hati tidak akan terlibat perang dingin, dan tidak mengikuti pola-pola yang mereka paksakan, yakni harus memilih salah satu diantara mereka. Tidak !. Dengan landasan Pancasila, Indonesia menggalang negara-negara lain yang sepaham melakukan perlawanan moral, yang diwujudkan dalam Konperensi Asia Afrika April 1955.
Sebagai manifestasi selanjutnya, yakni dalam Sidang Umum PBB XV, 30 september 1960, dengan dorongan Yugoslavia, Persatuan Arab, India, Ghana, dan Birma, Bung Karno, yang mewakili mereka menyampaikan pidato yang berjudul To build Worl A New (membangun dunia kembali).
Bung Karno mengkritik habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme, Kapitalisme, dan Kolonialisme, yang membuahkan dehumanisasi, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai alternatifnya. Alternatif yang (tetap) relevan dengan dunia saat ini, yang didominasi ideologi neo-liberalisme, dan tertawan Covid-19. Merdeka   
 Kata kunci: Kemanusiaan

BERNEGARA TANPA HALUAN
Oleh: Yudi Latif
Published, Kompas 18 Juni 2020
Kekisruhan di sekitar Rancangan Undang_undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP harus dilihat sebagai puncak gunung es dari kedalaman krisis kebangsaan. Krisis ini terjadi karena kehidupan negara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah tujuan.
Kendati RUU-HIP menyandang kata haluan, haluan sesungguhnya dalam kehidupan publik tidaklah terletak pada huruf-huruf yang tertulis pada pasal peraturan, tetapi pada tuntunan fajar nalar (right reason) dan bening moral (moral purpose).
Menulis dengan meratapi krisis kehidupan politik Amerika Serikat (AS), Ben Shapiro, dalam The Right Side of History (2019), mengajukan dua pertanyaan kunci, yakni apa yang membuat Barat, khususnya AS, berkembang begitu baik-maju dan mengapa pula kebaikan itu saat ini seperti dicampakkan? Jawabannya, kebaikan-kemajuan Barat (AS) itu bisa dicapai karena memuliakan tuntunan nalar dan tujuan moral, sebagai api dan air bagi kelangsungan kehidupan. Sementara kebaikan-kemajuan itu kini seperti pudar karena pengabaian terhadap nalar dan moral.
Kesenangan bisa diperoleh dari kemenangan pemilihan, kenaikan kedudukan dan pendapatan, peningkatan popularitas dan pengikut, serta pelipatgandaan profit dan asset. Namun kesenangan tak pernah mengenal kata cukup. Kebahagiaan abadi hanya bisa diraih dengan mengembangkan jiwa (soul) dan pikiran (mind) dengan tujuan moral yang membuat kita bisa hidup dengan kehidupan yang baik.
Apa itu kehidupan yang baik? Aristoteles dalam uraiannya tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjelaskan bahwa sesuatu dikatakan baik jika memenuhi tujuannya. Jam yang baik menunjukkan ketepatan waktu, anjing yang baik dapat menjaga tuannya. Manusia baik adalah yang mampu bertindak sesuai dengan nalar yang benar. Keunikan manusia sebagai mahluk karena kapasitasnya untuk bernalar dan menggunakan nalar itu untuk menginvestigasi alam serta tujuan keberadaannya di alam. Dengan demikian, kita bisa menghidupi kehidupan yang baik tatkala mampu menemukan tujuan moral dalam mengembangkan nalar yang benar, serta menggunakan nalar itu untuk bertindak secara bajik (virtues). Secara singkat, Aristoteles menegaskan, bertindaklah secara baik dan benar, sejalan dengan nilai sebagai mahluk rasional, maka kehidupan akan bahagia.
Hikmat kebijaksanaan
Prasyarat nalar dan moral sebagai basis kebajikan dan kebahagiaan hidup seperti itu pula yang melandasi rumusan sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.
Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”. Cita hikmat kebijaksanaan merefleksikan orientasi nalar – etis bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi nalar-etis (hikmat kebijaksanaan) ini dihidupkan lewat daya rasionalitas (argumentatif-deliberatif), kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang bisa menghadirkan suatu sintesis terbaik.
Dalam rangka mengembangkan nalar-etis itulah konstitusi mengamanatkan misi ketiga Pemerintah Negara Indonesia: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan imperatif konstitusi itu, mestinya pembangunan nasional harus merupakan gerak berkesinambungan dalam peningkatan kecerdasan (nalar-etis) bangsa di berbagai bidang dan lapis kehidupan.
Yang terjadi malah cenderung sebaliknya. Pembangunan gencar di sektor infrastruktur fisik, cenderung menelantarkan pembangunan infrastruktur lunak (nalar dan moral). Amartya Sen, penerima penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi pada 1998, mengkritik pendekatan pembangunan yang terlampau menekankan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi (GDP), komoditas, standar hidup, dan pemahaman keadilan sebatas fairness. Baginya, ukuran yang harus dikedepankan ialah pembangunan manusia, dalam arti bagaimana meningkatkan kualitas hidup, isu utamanya adalah mengembangkan kapabilitas.
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagi “kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi keadaan yang bernilai (valuable states of being); yang mengkombinasikan kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedom) untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang bernilai.
Pendekatan kapabilitas melihat manusia sebagai tujuan dalam kerangka “individu etis”(ethical individualism); suatu pendekatan normatif yang menekankan bahwa tindakan dinilai atas efeknya terhadap setiap individu manusia dan bahwa individu itu merupakan objek primer dari kepedulian moral. Dalam kaitan itu, Pendidikan memainkan peranan penting dalam mengembangkan kapabilitas bernalar (literasi, numerasi, pemikiran kritis, dan pemecahan masalah) dan bermoral (memiliki tujuan moral dan kapasitas moral sebagai pribadi dan warga negara)
Kehidupan publik merefleksikan kapasitas nalar-etis waganya. Apabila kehidupan publik kita dirayakan dengan kedangkalan, kebohongan, pertengkaran; banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak peraturan; makin meluas penyalahgunaan; elite negeri berlomba mengkhianati negara dan sesamanya, yang membuat rasa saling percaya pudar, hal ini mencerminkan terjadinya degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita.
Padahal, tak ada kemajuan dan kebahagiaan paripurna tanpa kapasitas moral dan nalar. Al Quran menjanjikan ketinggian derajad manusia hanya bagi mereka yang mampu mengombinasikan kekuatan iman (yang mengalirkan moral) dan ilmu (yang mencerahkan nalar). Itulah sejatinya haluan.  
Kata kunci: Krisis Kebangsaan, Fajar Nalar dan Bening moral, Aristoteles, Amartya sen

ISLAM DAN PANCASILA
A Helmy Faishal Zaini
Kompas 25 Juni 2020
Riuh perdebatan seputar isu Pancasila kembali menghangat sesaat setelah mncul draf RUU Haluan Ideologi Pancasila atau HIP.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberi sejumlah catatan kritis dan mendesak agar proses legislasi yang sedang berlangsunh terkait HIP segera dihentikan. Tak ada urgensi dan signifikansi menjadi salah satu alasan utama, disamping tentu saja masih banyak agenda kebangsaan yang harus kita bereskan di tengah pandemi yang sedang menerpa bangsa ini.
Dalam sebuah kolom yang akhirnya menarik perhatian Bung Karno, H Mahbub Djunaidi (1963) menegaskan, Pancasila lebih sublime dari Declaration of independence-nya Thomas Jefferson atau bahkan Manifesto Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Pancasila dalam pengertian ini merupakan nilai-nilai yang telah disublimasi dari bermacam-macam kemungkinan, kecenderungan, dan juga perbedaan. Maka, tak ayal Pancasila – sebagaimana kata Mahbub – lebih sublime jika dibandingkan Declaration of independence atau Manifesto Komunis sekalipun. Pandangan ini dalam hemat saya bisa menjadi acuan kita Bersama bahwa Pancasila memang memiliki basis ontologis yang sangat istimewa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Pancasila menjadi modal penting dalam upaya “mendirikan” bangsa Indonesia.
Kebinnekaan oleh para pendiri bangsa diolah dan diramu, bukan digaris bawahi dan dibesar-besarkan. Ramuan tersebut akhirnya dapat diformulasikan menjadi sebuah kalimatun sawa yang menjadi titik temu yang mengakomodasi kepentingan Bersama sebagai sebuah bangsa. Disinilah letak keistimewaan Pancasila. realitas yang jamak dan tidak tunggal dipertemukan dalam sebuah kompromi yang harmoni demi cita-cita Bersama. Fenomena ini tentu saja mengingatkan kita pada apa yang dikakan oleh Jakob Sumardjo (2004) sebagai watak asli bangsa Nusantara yang memiliki akar budaya sebagai peramu. Dengan kecanggihan khas peramu, bangsa kita bias mengelola dan meracik perbedaan-perbedaan menjadi harmoni yang teroskertrasi dengan indah lewat jalinan dan tenunan kebangsaan.
Pancasila merupakan lima butir nilai yang digali dan dipilih dan kristalisasi dari sekian banyak nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Lima butir nilai itu kemudian dirangkai untuk disepakati bersama menjadi dasar negara. Kiai Achmad Shiddiq dalam buku Islam, Pancasila dan Ukhuwwah Islamiah (1985) menulis, “Lima butir nilai luhur yang digali maupun dipilih itu disepakti menjadi dasar negara nasional karena prinsip yang terkandung di dalamnya, baik satu persatu maupun dalam rangkaian sekaligus, dapat diterima dan dibenarkan oleh semua golongan atau kelompok dari bangsa Indonesia. Lima butir nilai menjadi kalimatun sawaa bainana wa bainakun bagi bangsa dan negara Indonesia di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya.
Menolak monopoli tafsir
Sejarah mencatat, bagaimana KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era Orde Baru acapkali berbenturan dengan penguasa saat itu yang mencoba memonopoli tafsir Pancasila. Tindakan itu kita pahami semata-mata karena Gus Dur melihat fenomenana penyalahgunaan dan distorsi pemaknaan terhadap Pancasila. Pancasila direcehkan menjadi tidak lebih hanya sebatas bemper untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru.
Pancasila tidak boleh berhenti hanya sebatas realitas simbolik yang tidak bisa diandalkan dan hadir dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus menjadi yang terdepan dalam membela hak-hak siapa saja yang diperlakukan tidak adil. Itu sebabnya, berdasarkan pemahaman tersebut, bisa dimaklumkan saat Gus Dur menerbitkan Keppres No 6 Tahun 2000 dan sekaligus mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan adat Istiadat China. Ini adalah salah satu ikhtiar “menghadirkan” Pancasila dalam kehidupan nyata.
Secara historis, NU membuat keputusan fenomenal pada Munas Alim Ulama NU (Munas NU) tahun 1983 di Situbondo. Dalam forum yang melibatkan ulama-ulama garda depan NU, dihasilkan sebuah keputusan berisi lima poin yang disebut dengan Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila.
Lima poin deklarasi itu: (1) Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Tidak ada urgensi
NU secara resmi telah menyatakan sikapnya terhadap RUU-HIP. Setidaknya ada tiga poin filosofis dan beberapa poin teknis yang menjadi catatan utama. Pertama, RUU HIP memiliki potensi yang memantik konflik ideologi. Upaya mengotak-atik Pancasila sebagai sebuah ideologi negara dengan salah satunya dilakukan dengan mencoba memberi “tafsir” dan “haluan” dalam konteks ini bisa  digolongkan sebagai salah satu bagian dari upaya tersebut. Kedua, RUU HIP tidak memiliki titik signifikansi dan urgensi untuk dibahas karena dalam pandangan NU tak diperlukan lagi tafsir tentang Pancasila. Pancasila sebagai Philosophische Grondslag dan Staats fundamental norm merupakan pedoman yang mendasari platform pembangunan nasional. Disamping tentu saja makna yang terkandung sila-silanya cukup luas. Ini sejalan dengan pendapat KH Achmad Shiddiq (1985) yang menyatakan bahwa “urut-urutan lima sila menunjukkan suatu suatu rangkaian tingkat dalam luasnya isi. Tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Dalam susunan hierakhis pyramidal ini, sila pertama menjadi basis sila kedua, ketiga, keempat, kelima, demikian selanjutnya. Dengan demikian tiap sila di dalamnya mengandung empat sila lainnya.
Ketiga, dalam siatuasi yang serba sulit ini, disaat kita berkonsentrasi menghadapi pandemic, energi bangsa sebaiknya difokuskan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang lebih urgen dan mendesak. Isu kesehatan, isu ekonomi, isu Pendidikan, dan juga isu sosial kemasyarakatan lain harus menjadi agenda utama dibandingkan hanya membahas persoalan yang justru memantik kontroversi dan juga memancing kegaduhan.
Selain itu, terdapat persoalan teknis yang terdapat pada RUU-HIP, antara lain meliputi: pertama, pada Pasal 3 Ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7, yang berdasarkan kajian NU bertentangan dengan Pancasila sebagai consensus kebangsaan. Kedua, Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 justru mempersempit ruang tafsir Pancasila yang memiliki potensi untuk memunculkan monopoli tafsir atas Pancasila. Ketiga, Pasal 48 Ayat (6) dan Pasal 49 yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Walhasil, bagi NU, Pancasila sudah final. Kejernihan pandangan dan kewajaran sikap menjadi dua kata kunci dalam konteks ini. Wajar dalam melihat sesuatu (proporsional) dan wajar bersikap atasnya serta tidak berlebih-lebihan adalah sikap moderat yang ditanamkan oleh bapak pendiri bangsa dan juga para ulama di dalamnya. Kita harus melihat agama secara wajar sebagai wadh’un ilahiyyun dan kita pandang Pancasila secara wajar pula sebagai wadh’un basyariyyun, lalu kita letakkan pada tempat tempat yang wajar dan selanjutnya kita bersikap secara wajar pula pada keduanya. Itulah sikap moderat yang diajarkan oleh Islam.
Kata kunci: Sublime, Peramu, Hierarkhis Pyramidal, Pasal 3,6,7, 13, 14,15, 16,17
KETUHANAN DAN KEMANUSIAAN
Komaruddin Hidayat
Rector Universitas Islam Internasional Indonesia
Kompas, 6 Juli 2020
Aktor utama dalam sejarah sesungguhnya adalah manusia
Namun dalam perjalanan hidupnya manusia lalu meyakini, dibalik semua realitas agung yang sangat kompleks dan tak bisa dipahami serta ditaklukkan oleh nalar ini pasti ada subyek lain yang lebih tinggi, lebih kuasa, dan lebih cerdas yang disebut Tuhan. Dengan demikian, yang pada mulanya manusia merasa sebagi subyek primer dan paling super serta hebat dalam semesta ini lalu menempatkan dirinya sebagai mahluk yang mengada dan diadakan (contingent being) oleh aktor lain yang Mahaada, yaitu Tuhan.
Namun, dalam sejarah selalu saja ditemukan sosok pemikir, saintis, filsuf, dan penguasa yang tak mau mengakui Tuhan. Dengan kecerdasan otaknya, mereka berpandangan kepercayaan kepada Tuhan itu gejala kelelahan dan ketidakmampuan bepikir memahami semesta ini secara empiris dan rasional. Pemikir semacam ini tak bias serta merta di cap anti Tuhan. Bias jadi karena kecerdasan otaknya belum atau tak bias menerima berbagai argument tentang keberadaan dan kekuasaan Tuhan sehingga tak menempatkan factor Tuhan dalam pengembaraan intelektualnya.
Bagi para teolog, baik Kristen maupun Islam, pemikiran kritis yang kadang menyerang bangunan argument ketuhanan diyakini tak akan bias membunuh dan melenyapkan agama dari muka bumi, melainkan justru sebagai masukan untuk mendewasakan pilihan imannya. Dalam tradisi teologi, nalar kritis bekerja untuk memperkuat argument keimanannya, sedangkan tradisi filsafat dan sains, kekuatan nalar yang diutamakan. Iman kepada Tuhan bias menyusul atau sama sekali tak ada tempat.
Homo Deus
Pengembaraan nalar kritis manusia telah mengantarkan dirinya mampu keluar dari kungkungan natur, lalu naik pada tatanan kultur yang membuka pintu petualangan intelektual dan riset ilmiah yang tak bertepi. Sebuah peta jalan re-search, sebuah pencarian berulang-ulang dan tak henti dalam bentangan semesta yang di dorong dahaga keingintahuan (curiousity). Oleh karena itu, manusia tidak saja disebut sebagai homo sapien, tetapi juga homo faber, yaitu penduduk bumi yang pintar dan rajin mencipta peralaan hidupnya dengan modal keunggulan nalarnya.
Hasil petualangan pemikiran manusia yang berhasil membangun kaidah-kaidah sains sebagian lalu diaplikasikan untuk mengembangkan perangkat teknis sehingga secara teknikal hidup menjadi nyaman dan mudah dijalani. Keterbatasan jarak pendengaran diperpanjang oleh telefon, keterbatasan mata dibantu oleh teleskop, keterbatasan langkah kaki digantikan oleh kenderaan otomotif dan pesawat terbang, kelemahan memori otak digantikan oleh kecerdasan buatan dan seterusnya.
Itu semua berkat perjalanan evolusinya berkembang melejit melampaui batas-batas natural dan instingtif lalu menjadi homo sapien. Masyarakat modern yang maunya serba rasional, kapitalistik, dan hedonistic sangat menikmati prestasi teknologi ini sehingga merasa semua problem kehidupan bias, dianalisis, diterangkan, dan dipecahkan secara saintifik, tanpa bantuan agama.
Bahkan muncul imajinasi suatu saat nanti dengan kecerdasannya manusia bisa berevolusi bagaikan dewa. Kematian bisa dianalisis secara saintifik, misalnya sel-sel manakah yang menjadi penyebab kematiannya sehingga setelah teridentifikasi, maka akan bisa diatasi akar penyebabnya.
Decade belakangan ini didukung oleh kemajuan ilmu biologi modern, saintis kontemporer bicara secara fasih dan penuh percaya diri tentang temuannya dalam bidang neurosains dan segala turunannya, antara lain berupa kecerdasan artifisial yang mendorong munculnya big data dan perangkat analisis algoritmanya. Kata algoritma sendiri berasal dari kata alhawarizmi, seorang sarjana ahli matematika kelahiran Persia tahun 780. Saat ini big data telah menggeser berbagai asumsi dan kepercayaan spekulatif dalam dunia ilmu pengetahuan.
Apa yang disebut kebenaran mesti bersifat empiris, obyektif, bias di ukur, diketahui hokum sebab akibatnya, tak disusupi mitos, meski sains sendiri tetap mengakui keterbatasannya. Di balik sikap yang kadang terkesan sombong dan penuh percaya diri, sains selalu berakhir open-ended, terbuka terhadap kritik agar berlangsung berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam memahami fenomena alam tak bertepi. Saintis yang selalu berinovasi menciptakan techne juga turut berbicara topik moralitas berdasarkan kajian mendalam berdasar big data mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, yang berikan rasa bahagia dan sengsara, bagi kehidupan manusia. Wilayah moral tak lagi monopoli agama dan filsafat, sains ikut bicara urusan moralitas berdasar pendekatan empiris.
Agama dan spiritualitas
Agama merupakan ajaran wahyu dari Tuhan, dibawa oleh rasul-nya, lalu ajarannya dihimpun dalam kitab suci yang pada urutannya melahirkan tradisi keagamaan yang dijaga dengan setia oleh ummatnya. Beberapa ajaran pokok agama: percaya pada Tuhan, percaya kepada keabadian jiwa, pada janji surga dan neraka, pedoman ritual, dan etika sosial. Semua agama memiliki lima dimensi itu. Adapun spiritualitas ada yang berpandangan sebagai substansi keberagamaan. Mengingat Tuhan mahagaib dan imateri, pendekatan dan penghayatan kepada-Nya mesti naik pada tataran spiritual yang juga bersifat immateri atau rohani. Bentuk dan aktivitas lahiriah beragama hanya sekedar wadah dan ekspresi lahiriah, bukan substansinya.
Namun, ada pula yang berpandangan spiritualitas tidak mesti dan tak selalu berkaitan dengan agama formal yang telah terlembagakan, yang di atur kitab suci. Banyak kalangan pemikir humanis mengaku tak bertuhan, tetapi mengakui dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritualitas yang diyakini sebagai sumber kebaikan budi, kelembutan hati, membuka ruang batin, yang melampaui pengalaman nalar dan indera.
Ada juga yang mengaku Tuhan, tetapi tak mau masuk dan terikat aturan dan doktrin agama. Agama Budha, misalnya, sangat menjun jung tinggi perjalanan jiwa untuk memperoleh pencerahan hidup, tetapi hamper tak mau mendiskusikan Tuhan. Kita pun tak bias menuduh Budha tak bertuhan. Baginya, apapun yang dibahas otak mengenai Tuhan, tak lebih hanya proyeksi pikiran, tetapi tak akan mampu menjangkau realitas agung yang absolut sebagai sumber pencerahan jiwa karena keterbatasan pada pikiran manusia.
Mahluk penafsir
Aktor yang bertuhan adalah manusia. Dengan kebebasan yang dimiliki, seseorang bebas adakah mau percaya kepada Tuhan atau kah tidak. Begitupun yang membangun system ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga manusia. Capaian dalam membangun system pengetahuan dan kebudayaan itu pada urutannya disimpan dalam system tanda sehingga manusia juga disebut homo symbolicum. Dunia ilmu pengetahuan adalah dunia simbolik yang menyimpan informasi keilmuan agar bias disimpan lewat dokumen tulisan lalu disebarkan dan diwariskan secara generasional. Di sini peran system tanda dengan Bahasa dan tulisan sangat vital. Tanpa system tanda dan Bahasa, semesta in sulit dijelskan dan distrukturkan dalam pikran kita.
Bayangkan andaikan manusia mundur kembali kea lam hewani yang tak mengenal Bahasa dan system tanda, maka kebudayaan dan ilmu pengetahuan tak akan berkembang seperti sekarang. Dalam Bahasa Arab, semesta ini disebut alam yang berarti tanda (sign) yang menuntut pemahaman dan penafsiran di balik seluruh fenomena yang muncul dipermukaan. Dari hasil interogasi dan eksperimentasi amnusia terhadap perilaku alam tersusunlah ilmu pengetahuan yang berisi hokum sebab-akibat yang menciptakan harmoni, tetapi terlalu sedikit yang bias digali manusia.
Pemahaman terhadap hokum sebab-akibat yang matematis dan melekat pada alam merupakan fondasi sains modern, tetapi sains terbentur pertanyaan yang sulit dijawab, apa dan siapa penyebab kehadiran semesta yang mahabesar dan memiliki keteraturan dalam geraknya ini. Menghadapi kemacetan ini ada yang kemudian menemukan jawaban pada agama, ada yang puas pada mitologi, ada yang tetap menunggu perkembangan sains untuk menjawabnya.
Sadar akan posisi dirinya yang teramat kecil di lautan semesta yang tidak tahu garis tepinya, maka saintis mesti berpuas diri terhadap seluruh capaiannya, dengan harapan semua teka-teki yang belum dipecahkan akan terjawab oleh saintis generasi mendatang. Namun, ada pula yang berpandangan wilayah sains dan ketuhanan merupakan wilayah yang berbeda sehingga tak perlu dikompetsikan dan diperhadapkan. Masing-masing bekerja pada arasy yang berbeda. Yang pasti manusia adalah interpreter being, hewan berakal yang memiliki kemampuan dan senang menafsirkan lingkungannya. Semesta ini hiperteks, mengandung penafsiran tak berujung. Agenda riset keilmuan tak lain adalah serial penafsiran terhadap hasil penafsiran sebelumnya sehingga sesungguhnya dunia manusia dunia simbolik yang terdiri dari serial penafsiran atas penafsiran terhadap hiperteks yang hasilnya relative, subyektif, dan sangat terbatas. Masih terlalu banyak misteri yang belum tersingkap nalar manusia.
Ketuhanan berperikemanusiaan
Adakah peran significan Tuhan dalam perkembangan sains dan kebudayaan? Nalar manusia hanya mampu membuat argumentasi keterlibatan Tuhan di dalamnya, tapi tak akan mampu membuktikan secara empiris. Bagi orang beriman, sumber kehidupan ini daya ruh yang ditiupkan Tuhan ke dalam tubuh manusia. Begitulah pernyataan Alkitab dan Al Quran. Jika ruh telah lepas, seluruh instrument kehidupan dalam diri manusia tak bias bekerja lagi. Ruh ini tak saja sebagai sumber kehidupan, tetapi juga lokus pancaran dan penetrasi cahaya kebenaran Tuhan agar manusia senantiasa ingat dan terhubung dengan sumbernya. Ruh ini telah mendorong munculnya the will to believe bagi setiap jiwa yang ingin menangkap kesejatian hidup di luar dunia materi. Jadi, ruh jalan dan penuntun iman yang berpusat di hati, agar energi iman itu memberikan penyadaran dan makna moral dalam wilayah sains dan kebudayaan.
Sikap kebertuhanan dan sikap kemanusiaan tak bias dipisahkan. Pancasila menempatkan ketuhanan sebagai sila pertama dan utama, diikuti sila kemnusiaan, sungguh merupakan gagasan dan sikap yang jenius dan rendah hati. Hanya dengan kebeningan hati yang dipenuhi energi kasih saying Tuhan, seseorang akan senantiasa terhubung dengan kesadaran dan getaran iman, baik dalam pengembaraan keilmuan maupun membangun peradaban.
Sekian banyak monument sejarah peradaban manusia awalnya diinspirasi dan digerakkan oleh getaran iman. Berbagai universitas di Barat yang sekuler pun banyak yang awalnya didirikan karena panggilan iman. Dalam konteks berpancasila, kebertuhanan yang selalu kita ucapkan baru valid jika termanifestasikan dalam agenda dan perilaku nyata dalam membela nasib sesama manusia, apapun etnis dan agamanya. Sikap kebertuhanan yang membuahkan perikemanusiaan dan kebudayaan menuju terwujudnya keadilan dan kesejahteraan.
Kata kunci: Ketuhanan, Kemanusiaan, Keingintahuan, Batas Nalar Manusia

EUFORIA DAN TURBULENSI PERSOALAN
Dari tiga artikel demikian, sedikit banyak para peserta diskusi zoom sudah memahami apa sesungguhnya yang terjadi. Dari uraian Yudi Latif tersirat bahwa kekacauan atau turbulensi itu sesungguhnya adalah puncak gunung es krisis kebangsaan. Masalah RUU_HIP itu hanyalah pemantiknya. Sedangkan Haluan yang dimaksudnya adalah (1) fajar nalar, dan (2) bening moral. A Helmy Faishal zaini, sekjen NU menekankan bahwa Pancasila itu adalah nilai-nilai yang telah disublimasi dari bermacam-macam kemungkinan, kecenderungan, dan juga perbedaan. Sedangkan Komaruddin Hidayat menyimpulkan bahwa Ketuhanan dan kemanusiaan itu sudah melekat dalam kebudayaan Indonesia, yakni pada Pancasila, sebagaimana yang saya tulis dalam artikel di atas, yakni Inti Pancasila adalah kemanusiaan.
Namun sebagaimana dikatakan Yudi Latif kekacauan/turbulensi ini ini terjadi karena kehidupan negara berjalan sebatas mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah-tujuan. Yang seperti apa itu? Panjang uraiannya. Kita kembali ke persoalan awal, yakni mengapa RUU_HIP ditolak. Untuk ini saya kutif keterangan Drs Zainuddin Nasution MAP di harian Waspada…
Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam masih komit terhadap konsensus nasional yang telah dirumuskan para founding fathers 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI secara utuh, tanpa mengurangi sebutir sila-sila yang ada di dalamnya…rakyat Indonesia harus tetap kompak menolak Pancasila diperas-peras menjadi Trisila maupun Ekasila. Pancasila bukan cucian emak-emak yang harus diperas-peras lagi, Pancasila sudah kering dan teruji sejak dulu.
Siapa yang mengurangi butir-butir….memeras-meras ? apakah DPR RI sebodo, setolol, sekeliru itu? Untuk menjawab, atau mendialogkannyanya silahkan baca tulisan dibawah ini:…..
PANCASILA-TRISILA-EKASILA:
BENARKAH PENGKHIANATAN TERHADAP BANGSA DAN NEGARA?
(Catatan Refleksi dalam menyambut 50 tahun Haul Bung Karno)
Oleh: Dr Bambang Noorsena
1.Catatan pendahuluan
RUU-HIP menuai polemik publik. Beberapa orang menuduh bahwa Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Benarkah? Tuduhan itu khususnya berkaitan dengan Pasal 7 draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang memuat klausul mengenai Trisila dan Ekasila, sesuai dengan usulan Bung Karno mula-mula dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, yang akhirnya lebih dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila” tersebut.
Lebih jelasnya, Pasal 7 draf RUU-HIP, yang dipersoalkan itu terdiri dari 3 ayat yang berbunyi:
(1)   Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan, Kerakyatan/demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam kesatuan.
(2)   Ciri pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan Ketuhanan yang berkebudayaan.
(3)   Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong
2.Lalu manakah yang dianggap mengkhianati bangsa dan negara?
Faktanya, Trisila dan Ekasila justru berasal dari dokumen “Lahirnya Pancasila”, pidato Bung Karno sebagai satu-satunya yang dibahas dalam siding Panitian kecil yang akhirnya dicantumkan dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Jadi Trisila dan Ekasila terdapat dalam babon atau bahan dasar ideologi negara yang dibahas dalam sidang Panitia Kecil. Memang istilah “diperas menjadi trisila”, diperas lagi menjadi ekasila itu bukan Bahasa hokum, dan apa yang diucapkan Bung Karno itu baru usulan kepada siding BPUPKI, yang akhirnya dibahas lebih mendalam dalam siding Panitia Kecil yang juga dilakukan atas prakarsa Bung Karno.
Bung Karno tidak sedang berbicara tentang “Stufentheory”, atau hierarkhi perundang-undangan ala Hans Kelsen. Kata “diperas” bukan Bahasa hokum, tetapi harus dimaknai sebagai upaya mencari “meeting point” dalam proses dinamis  pembahasan dasar negara untuk Indonesia merdeka yang akan didirikan Bersama-sama. Lagi pula substansi pidato 1 Juni 1945 itu juga bukan hal yang mendadak dantiba-tiba muncul, melainkan lahir dari pergulatan pemikiran Bung Karno mengenai proses Panjang sejarah perjuangan bangsa, khususnya berangkat dari fakta kemajemukan Indonesia.
Kita harus melihat pidato 1 Juni 1945 sebagai “helaan mandat sejarah” yang memang tidak bisa dilepaskan dari situasi zaman saat itu, yang tidak bisa lihat dari “kacamata” kita sekarang. Misalnya, mengapa Bung Karno mengusulkan sila pertama Kebangsaan? Karena menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, mungkin untuk konteks zaman saat itu, bias-bisa disalah mengerti sebagai system Theokrasi oleh kaum kebangsaan yang menghendaki sistim legitimasi “non agamis”. Sebab saat itu belum lama munculnya sekularsme Turki yang lahir sebagai kritik kebablasan terhadap system kekhalifahan Utsmani, yang sebelumnya telah banyak dikritik oleh negara-negara Arab sendiri.
Sebaliknya, kalau Bung Karno berbicara tentang Nasionalisme an sich, rawan disalahfahami sebagai “chauvinism” yang lagi panas-panasnya mengudara di langit Eropa. Itu gara-gara “sakit gila” Hitler dengan dalilnya “Deutschland Uber Alles (tiada bangsa setinggi Jerman). Karena itu Bung Karno menegaskan “Nasionalisme harus tumbuh di tamansarinya Internasionalisme”. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai Sosio-Nasionalisme. Begitu pula, berbicara Demokrasi an sich akan dibaca sebagai kelemahan demokrasi liberal, yang hanya mengandung demokrasi politik tanpa keadilan social.
Karena itu, Bung Karno menggagas demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang harus berjalan bersamaan. Itulah yang disebutnya Sosio-demokrasi. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi adalah embrionya Pancasila yang akhirnya diusulkan oleh Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 juni 1945. Trisila dan Pancasila itu laksana “pedhet” (anak sapi) dan sapinya. Runutannya, Trisila lahir dari semangat ekasila atau gotong royong, dan Pancasila adalah wujud pendewasaan Trisila setelah melalui penggodogan dalam kawah “candradimuka”-nya perjuangan rakyat Indonesia.
3.Apakah  “Ekasila” Gotong Royong menghapuskan Ketuhanan Yang Maha Esa?
Tuduhan bahwa “Ekasila” Gotong Royong akan menghapuskan Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah bias Orde Baru yang berusaha melakukan “DeSukarnoisasi”, dengan cara melepaskan Pancasila dari penggalinya. Mengapa? Gotong Royong itu semangat dinamis dan tekad bulat segenap rakyat untuk bersatu dan bersama-sama mendirikan negara-kebangsaan (National Staat), mengatasi sekat-sekat perbedaan dalam suku, adat-istiadat, bahasa-bahasa daerah, agama, dan perbedaan primordial lainnya.
Pancasila tidaklah muncul tiba-tiba. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu, kata Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila. Ya, kita bisa melacaknya dari jejak juang bangsa Indonesia yang diformulasikan dalam ideologi perjuangan Bung Karno. Gagasan Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi telah menghiasi surat-surat kabar Hindia Belanda jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Karena itu, tuduhan bahwa ekasila akan menghapuskan Ketuhanan, sulit dimengerti akal sehat.
Bacalah , artikel “Sukarno” oleh Sukarno, yang dimuat surat kabar Pemandangan, 14 Juli 1941:
“…dalam cita-cita politikku, aku ini seorang nasionalis, dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, dalam cita-cita sukmaku aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya pada Tuhan, sama sekali mengabdi kepada Tuhan. Jadi Bung Karno dengan penghayatannya yang unik tentang agamanya dalam konteks kemajemukan, benar-benar seorang yang amat religious.
Sebab, ditengah-tengah berkecamuknya perang dingin antara “blok Kapitalis” dan “blok Komuis”, yang saat itu laksana membelah dunia, dengan lantang Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai “ hoggere optreking (sublimasi, pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi) dari Declaration of Independence”-nya Amerika dan Manifesto Komunis. Kritik bahwa demokrasi politik harus berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi disuarakannya dalam To Build The World a New (Membangun dunia kembali), di depan siding Umum PBB, tanggal 30 September 1960.
Declaration of independence, tegas Bung Karno “menuntut life, liberty, and the pursuit of happiness, yaiu hak hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan bagi semua manusia. Pada hal pursuit of happiness pengejaran kebahagiaan) belum berarti reality of happieness (kenyataan kebahagaan). Lalu manakah yang lebih baik? Kita bangsa Indonesia, lagi kata Bung Karno dalam Jalannya Revolusi Kita, 17 Agustus 1960, melihat bahwa Declaration of independence itu tidak mengandung keadilan social atau sosialisme dan kita melihat bahwa Manifesto Komunis itu masih harus di sublimir, dipertinggi jiwanya dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Apa yang disuarakan Bung Karno bukan sekedar propaganda, melainkan benar-benar “praxis” kehidupan bangsa-bangsa seperti yang dibuktikan dengan diselenggarakannya Konperensi Asia Afrika, di Bandung, 18 – 24 April 1955. Gaung Konperensi yang digagas Bung Karno ini membahana di langit Timur dan Barat, sehingga mata dunia terus menatap takjub kepada Indonesia. Karena spirit revolusi Indonesia, di Mesir pidato Bung Karno “penemuan kembali revolusi kita”, 17 Agustus 1959, telah diterjemahkan dalam Bahasa Arab “al-Audah ila iktisyaf Tsauratina”, diterbitkan oleh Dar al-Arabiyyah lial-Ulum, Cairo, 1959. Pada bagan akhir terbitan pidato Bung Karno dalam Bahasa Arab ini, dicantumkan glossary tentang falsafah bangsa Indonesia.
Dalam glossary buku tersebut, Pancasila dialih-bahasakan al Mabadi al-Khamsah, Bhinneka Tunggal Ika  diterjemahkan al- Ta’addud fi al-Wihdah, dan dijabarkan maknanya “ay’an Indunisiya bi ragmi min ta’addud aqalimiha wa qabailiha takunu wahdatam mutamasikatan (yaitu bahwa Indonesia meskipun terdiri dari berbagai wilayah dan suku bangsa yang berbeda-beda tetapi bersatu-padu dalam kesatuan yang teguh). Sedangkan yang lagi viral, kata gotong royong, yang dalam pidato Lahirnya Pancasila disebut ekasila, dalam Al-Audah ila Iktisyaf Tsauratina, diterjemahkan dengan al-Ta awun al-Musytarak (AG Syaban, 2015)
4.Catatan Penutup
Sekali lagi jangan curiga dengan kata “diperas”, dan jangan salah membacanya sebagai Bahasa hukum. Berbeda dengan kata kekeluargaan yang statis, gotong royong adalah gawe, amal, karya bersama-sama yang dinamis, kristalisasi keringat, pembantingan tulang bersama demi cita-cita seluruh rakyat. Itulah bahasa roh yang menyala-nyala, bukan bahasa hukum yang baku dan kaku. Seperti adagium suci bahasa Yunani “Gargramma apoktennei to de pneuma zopoiiei (Huruf itu mematikan tetapi roh itu menghidupkan)
Sekali lagi, dalam pidato Lahirnya Pancasila  Bung Karno yang gandrung persatuan, di depan sidang Dokuritsy Zyunbi Tyosa Kai saat itu menawarkan “philosophie grondslag dalam sistematik Pancasila, Trisila, Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-Tuan pilih. Trisila, Pancasila, atau Ekasia, kata Bung Karno. Sidang panitia kecil akhirnya memilih lima sila itu, dengan beberapa perbaikan redaksional, lalu mencantumkannya dalam Pembukaan UUD 1945, meskipun tidak menyebut Pancasila. Jadi, hanya dengan membaca pidato “Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 dan notulen sidang di Panitia Kecil kita bisa membaca “suasana batin” para bapa bangsa waktu itu, sebelum semua menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara.
De Museum Café, Malang, 21 Juni 2020
Sampai sini dulu…..mari kita diskusi dengan nalar….bukan kegenitan, kesurupan, atau mabuk kepayang  MERDEKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar