Materi diskusi GmnI Kom UMSU
EUFORIA DAN TURBULENSI
RUU-HIP
9 Juli 2020 via zoom, jam
20.00 sd selesai
Pengantar
diskusi
Sebelum sampai kita ke
pembahasan : mengapa RUU HIP ditolak? Ada baiknya artikel-artikel dibawah ini
dibaca dengan seksama. Sedapat mungkin dibaca berulang-ulang…jangan
sekedar-sekedar…jangan dibuat jadi hiburan, melainkan sepenuh hati untuk
menemukan jawaban yang rasional-ilmiah, alias jawaban yang tidak kesurupan-kesetanan,
yang membabi-buta, sebagaimana yang kita saksikan/baca
akhir-akhir ini.
∏
PANCASILA
SEBAGAI IDEOLOGI DUNIA
Oleh:
Reinhard Hutapea
Staf
pengajar Fisipol UDA Medan
Published
, Waspada, 10 Juni 2020
Pidato
Bung Karno mengkritik habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme, kapitalisme,
dan kolonialisme, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai alternatifnya
Ketika
Pancasila di rumuskan pada tanggal 1 Juni 1945, suasana dunia saat itu adalah
“Imperialisme dan Kolonialisme”, yakni banyak negara yang masih terjajah. Terjajah
oleh imperium negara-negara atau bangsa-bangsa Barat/Eropa, yang kemaruk
hasil-hasil kekayaan negara jajahan. Tidak terkecuali Indonesia yang sekian
abad dijajah Belanda. Betapa pedih dan menderitanya, suatu bangsa jajahan,
rasanya tidak perlu lagi diuraikan, sebab manusia sudah memahaminya.
Semua paham bahwa imperialism-kolonialisme
adalah inhuman, melanggar kemanusiaan alias dehumanisasi. Oleh karena itulah
perumus Pancasila, khususnya Bung Karno, dengan tekad yang kuat mencantumkan “Kemanusian”
sebagai salah satu sila utamanya. Sila
yang juga diangkat dari titah-titah tokoh dunia saat itu, seperti pemikir besar
Sosialis, AA Baars, pendiri China, Dr Sun Yat Sen, yang menorehkan San Min Chui
(nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme), serta Bapak India, Mahatma Gandhi,
yang mengumandangkan “my nationalism is humanity” (nasionalisme saya adalah
kemanusiaan).
Pemikiran yang
sesungguhnya tidak baru, tidak istimewa, karena hakiki kemanusiaan sudah
melekat (inheren) pada kehidupan atau manusia itu sendiri, sebagaimana pesan
setiap “budaya”, dan titah yang diajarkan “Pencipta” dalam kitab-kitab sucinya.
Pemikiran yang biasa saja, pemikiran yang sesungguhnya, justru paling dipahami
oleh penjajah/kolonial, namun entah mengapa, mereka tetap saja melabraknya.
Mustahil/Non sense,
penjajah yang katanya adalah bangsa/negara yang berbudaya tinggi, yang
berTuhan, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologis, serta yang memiliki
kelebihan-kelebihan yang lain tidak memahami penjajahan sebagai inhuman. Namun
sebagaimana disebut sebelumnya, mereka tetap saja menabraknya. Tetap saja
birahinya lebih utama dari akal sehatnya.
Menolak
Perang Dingin
Konstatasi yang
membenarkan pandangan kaum realis, dan atau khususnya kalangan Marxis, yakni
(bahwa) kehidupan itu pada dasarnya adalah konfliktual, antagonistik, dan
anarchis, yang harus diselesaikan dengan jalan kekerasan, atau perang. Tidak
dengan jalan damai yang lebih soft, seperti dialog, bujukan, persuasi, atau
diplomasi sebagaimana diajarkan para moralis atau kaum idealis.
Fakta-empirik terhadap
pandangan ekstrim demikian, dapat dilihat, ketika Perang Dunia II selesai, yang
ditandai dengan bertekuk lututnya Jepang terhadap Sekutu, yang dipimpin AS,
tidak membuat perang selesai. Perang pembebasan kemerdekaan dimana-mana masih
terus berlangsung, pada hal setahun sebelumnya, (tahun 1944), baru saja
dibentuk Lembaga yang tujuan utamanya menghindari perang dan menciptakan
perdamaian, yakni Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/UNO).
Diseluruh penjuru dunia,
khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pendudukan (ooccupation) yang
ditopang militer masih terus berlangsung. Imperialism/Kolonialisme sebagaimana era
sebelumnya, tetap bercokol di ketiga wilayah itu. Sang kolonial terus menjajah
dengan dengan segala pola dan variannya, sebagai konsekwensi dari power
politics yang berubah, yakni tampilnya dua raksasa baru, (yang sebelumnya tidak
terlibat kolonialisme), yakni AS dan Uni Soviet.
Kedua super power ini,
diam-diam melesat syahwat kolonialnya, sebagaimana yang dipraktekkan sekutu-sekutunya.
Mereka terlibat dalam perang baru yang namanya terkenal dengan sebutan perang
dingin (cold war). Perang yang tidak frontal antar mereka, melainkan perang
yang melibatkan negara lain sebagai ajangnya. Mereka yang perang, namun negara-negara
lain yang korban utama.
Perang yang nyaris
menyeret seluruh negara terjun perang dunia III, kalau saja, Mc Arthur,
panglima perang AS dalam Perang Korea saat itu, tidak ditarik Washington pulang
ke negerinya. Arthur sebagaimana sejarahnya, telah berencana meluaskan perang
melewati Korea (hingga China), dan akan meledakkan senjata-senjata pemusnah
baru disana.
Namun sebelum ide gila itu
diwujudkan, ia (Arthur) ditarik ke Washington oleh Harry S Truman, (presiden AS
saat itu). Ia digantikan Letjen Matthew B. Ridgway, seorang militer yang lebih
memilih jalan diplomasi(soft), dialog, dan persuasi ketimbang persfektif perang.
Meminjam Clausewitz (ahli perang dari Jerman), diplomasi sebagai kelanjutan
perang
Dengan segala pertimbangan
realis dan idealisnya, yakni membludak/banyaknya manusia, dan atau khususnya
tentara yang tewas, besarnya kerugian materil/moril, plus kekuatan lawan (Korea
Utara) yang disokong China dan Uni Soviet dengan persenjataan yang semakin
besar, akhirnya memaksa kedua pihak menempuh kesepakatan, yakni gencatan
senjata (cease fire) pada tahun 1953.
Kesepakatan yang hingga
hari ini belum berubah, yakni kedua negara secara hukum masih dalam suasana
perang, belum dalam suasana damai. Suasana yang terus langgeng, karena kedua
pihak yang berseteru, yakni AS yang berpaham Liberal-Kapitalis, dan Uni Soviet
yang beraliran Sosialis-Komunis tetap menghadirkan militernya dalam jumlah
besar disana (siap-siap jika perang Meletus).
Keadaan yang dalam
perjalanan selanjutnya, terus meningkatkan ketegangan dunia. Ketegangan yang
terus tereskalasi, sebab kedua adi kuasa berlomba-lomba membangun militer dan
persenjataannya secara besar-besaran. Termasuk pembangunan pakta-pakta
pertahanan ang disponsori AS, seperti NATO di Atlantik, SEATO di Asia tenggara,
Cento di Asia Tengah, perjanjian militer AS-Jepang, yang mengijinkan Okinawa
sebagai pangkalan milter AS, dan yang disponsori seterunya, yakni Uni Sovet
membangun pakta pertahanan yang bernawa Pakta Warsawa (Warsaw pact).
Keadaan yang selanjutnya
melesatkan apa yang disebut “polisi dunia, tanpa pemerintahan dunia”. Kedua
pihak melakukan maneuver, patroli, dan menebar ancaman dimana-mana. Di seluruh
penjuru dunia yang letaknya strategis ditempatkan moncong-moncong nuklir/rudal
yang setiap saat siap diledakkan, namun tidak di ledak-ledakkan. Hanya show of
force untuk menakut-nakuti pihak lawan, dan negara-negara lain yang tak
mendukungnya. Dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua.
Ideologi
Dunia
Negara-negara lain,
khususnya Indonesia, yang tidak sepaham dengan politik jahanam demikian, dengan
perlahan menyusun perlawanan moral (moral force). Negara-negara ini
berpandangan bahwa dunia ini tidak hanya milik AS plus sekutu-sekutunya yang Liberalis-Kapitalis,
dan Uni Soviet dengan sekutu-sekutunya, yang Sosialis-Komunis, melainkan
negara-negara nasional yang cinta damai dan kemerdekaan.
Dengan dimotori
Indonesia, negara-negara yang berpaham nasionalistik ini, berketetapan hati
tidak akan terlibat perang dingin, dan tidak mengikuti pola-pola yang mereka
paksakan, yakni harus memilih salah satu diantara mereka. Tidak !. Dengan
landasan Pancasila, Indonesia menggalang negara-negara lain yang sepaham
melakukan perlawanan moral, yang diwujudkan dalam Konperensi Asia Afrika April
1955.
Sebagai manifestasi
selanjutnya, yakni dalam Sidang Umum PBB XV, 30 september 1960, dengan dorongan
Yugoslavia, Persatuan Arab, India, Ghana, dan Birma, Bung Karno, yang mewakili
mereka menyampaikan pidato yang berjudul To build Worl A New (membangun dunia
kembali).
Bung Karno mengkritik
habis-habisan konsep Barat yang membuahkan Imperialisme, Kapitalisme, dan Kolonialisme,
yang membuahkan dehumanisasi, dan menawarkan Pancasila yang humanis sebagai
alternatifnya. Alternatif yang (tetap) relevan dengan dunia saat ini, yang
didominasi ideologi neo-liberalisme, dan tertawan Covid-19. Merdeka
► Kata kunci: Kemanusiaan
∏
BERNEGARA
TANPA HALUAN
Oleh:
Yudi Latif
Published,
Kompas 18 Juni 2020
Kekisruhan
di sekitar Rancangan Undang_undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP harus
dilihat sebagai puncak gunung es dari kedalaman krisis kebangsaan. Krisis ini
terjadi karena kehidupan negara berjalan sebatas
mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah tujuan.
Kendati RUU-HIP
menyandang kata haluan, haluan sesungguhnya dalam kehidupan publik tidaklah
terletak pada huruf-huruf yang tertulis pada pasal peraturan, tetapi pada
tuntunan fajar nalar (right reason) dan bening moral (moral purpose).
Menulis dengan meratapi
krisis kehidupan politik Amerika Serikat (AS), Ben Shapiro, dalam The Right
Side of History (2019), mengajukan dua pertanyaan kunci, yakni apa yang membuat
Barat, khususnya AS, berkembang begitu baik-maju dan mengapa pula kebaikan itu
saat ini seperti dicampakkan? Jawabannya, kebaikan-kemajuan Barat (AS) itu bisa
dicapai karena memuliakan tuntunan nalar dan tujuan moral, sebagai api dan air
bagi kelangsungan kehidupan. Sementara kebaikan-kemajuan itu kini seperti pudar
karena pengabaian terhadap nalar dan moral.
Kesenangan bisa diperoleh
dari kemenangan pemilihan, kenaikan kedudukan dan pendapatan, peningkatan
popularitas dan pengikut, serta pelipatgandaan profit dan asset. Namun
kesenangan tak pernah mengenal kata cukup. Kebahagiaan abadi hanya bisa diraih
dengan mengembangkan jiwa (soul) dan
pikiran (mind) dengan tujuan moral
yang membuat kita bisa hidup dengan kehidupan yang baik.
Apa itu kehidupan yang
baik? Aristoteles dalam uraiannya tentang kebahagiaan (eudaimonia) menjelaskan bahwa sesuatu
dikatakan baik jika memenuhi tujuannya. Jam yang baik menunjukkan ketepatan
waktu, anjing yang baik dapat menjaga tuannya. Manusia baik adalah yang mampu
bertindak sesuai dengan nalar yang benar. Keunikan manusia sebagai mahluk karena
kapasitasnya untuk bernalar dan menggunakan nalar itu untuk menginvestigasi
alam serta tujuan keberadaannya di alam. Dengan demikian, kita bisa menghidupi
kehidupan yang baik tatkala mampu menemukan tujuan moral dalam mengembangkan
nalar yang benar, serta menggunakan nalar itu untuk bertindak secara bajik (virtues). Secara singkat, Aristoteles
menegaskan, bertindaklah secara baik dan benar, sejalan dengan nilai sebagai
mahluk rasional, maka kehidupan akan bahagia.
Hikmat
kebijaksanaan
Prasyarat nalar dan moral
sebagai basis kebajikan dan kebahagiaan hidup seperti itu pula yang melandasi
rumusan sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan”, Cita kerakyatan hendak menghormati suara
rakyat dalam politik; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar
yang dimainkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.
Cita permusyawaratan
memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi
paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui adanya
“kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”. Cita hikmat kebijaksanaan
merefleksikan orientasi nalar – etis bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan. Orientasi nalar-etis (hikmat kebijaksanaan) ini dihidupkan
lewat daya rasionalitas (argumentatif-deliberatif), kearifan konsensual, dan
komitmen keadilan yang bisa menghadirkan suatu sintesis terbaik.
Dalam rangka mengembangkan
nalar-etis itulah konstitusi mengamanatkan misi ketiga Pemerintah Negara Indonesia:
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dengan imperatif konstitusi itu, mestinya
pembangunan nasional harus merupakan gerak berkesinambungan dalam peningkatan
kecerdasan (nalar-etis) bangsa di berbagai bidang dan lapis kehidupan.
Yang terjadi malah cenderung
sebaliknya. Pembangunan gencar di sektor infrastruktur fisik, cenderung
menelantarkan pembangunan infrastruktur lunak (nalar dan moral). Amartya Sen, penerima penghargaan Nobel
dalam bidang ekonomi pada 1998, mengkritik pendekatan pembangunan yang terlampau
menekankan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi (GDP), komoditas, standar hidup, dan
pemahaman keadilan sebatas fairness. Baginya, ukuran yang harus dikedepankan
ialah pembangunan manusia, dalam arti bagaimana meningkatkan kualitas hidup,
isu utamanya adalah mengembangkan kapabilitas.
Sen mendefinisikan
kapabilitas sebagi “kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan bernilai (valuable acts) atau meraih kondisi
keadaan yang bernilai (valuable states of
being); yang mengkombinasikan kesempatan (opportunities) dan kebebasan (freedom)
untuk meraih apa yang dilihat seseorang secara reflektif sebagai sesuatu yang
bernilai.
Pendekatan kapabilitas
melihat manusia sebagai tujuan dalam kerangka “individu etis”(ethical individualism); suatu pendekatan
normatif yang menekankan bahwa tindakan dinilai atas efeknya terhadap setiap
individu manusia dan bahwa individu itu merupakan objek primer dari kepedulian
moral. Dalam kaitan itu, Pendidikan memainkan peranan penting dalam
mengembangkan kapabilitas bernalar (literasi, numerasi, pemikiran kritis, dan
pemecahan masalah) dan bermoral (memiliki tujuan moral dan kapasitas moral
sebagai pribadi dan warga negara)
Kehidupan publik
merefleksikan kapasitas nalar-etis waganya. Apabila kehidupan publik kita
dirayakan dengan kedangkalan, kebohongan, pertengkaran; banyak RUU dibuat dengan penalaran yang kusut; makin banyak
peraturan; makin meluas penyalahgunaan; elite negeri berlomba mengkhianati
negara dan sesamanya, yang membuat rasa saling percaya pudar, hal ini
mencerminkan terjadinya degenerasi dalam kapasitas nalar-etis bangsa kita.
Padahal, tak ada kemajuan
dan kebahagiaan paripurna tanpa kapasitas moral dan nalar. Al Quran menjanjikan ketinggian derajad manusia hanya bagi mereka
yang mampu mengombinasikan kekuatan iman (yang mengalirkan moral) dan ilmu (yang mencerahkan nalar). Itulah sejatinya
haluan.
► Kata kunci:
Krisis Kebangsaan, Fajar Nalar dan Bening moral, Aristoteles, Amartya sen
∏
ISLAM DAN PANCASILA
A Helmy Faishal Zaini
Kompas 25 Juni 2020
Riuh perdebatan seputar
isu Pancasila kembali menghangat sesaat setelah mncul draf RUU Haluan Ideologi
Pancasila atau HIP.
Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) memberi sejumlah catatan kritis dan mendesak agar proses legislasi
yang sedang berlangsunh terkait HIP segera dihentikan. Tak ada urgensi dan
signifikansi menjadi salah satu alasan utama, disamping tentu saja masih banyak
agenda kebangsaan yang harus kita bereskan di tengah pandemi yang sedang
menerpa bangsa ini.
Dalam sebuah kolom yang
akhirnya menarik perhatian Bung Karno, H Mahbub Djunaidi (1963) menegaskan,
Pancasila lebih sublime dari Declaration of independence-nya Thomas
Jefferson atau bahkan Manifesto
Komunis-nya Karl Marx dan Friedrich Engels. Pancasila dalam pengertian ini
merupakan nilai-nilai yang telah disublimasi dari bermacam-macam kemungkinan, kecenderungan, dan juga
perbedaan. Maka, tak ayal Pancasila – sebagaimana kata Mahbub – lebih
sublime jika dibandingkan Declaration of independence atau Manifesto Komunis
sekalipun. Pandangan ini dalam hemat saya bisa menjadi acuan kita Bersama bahwa
Pancasila memang memiliki basis ontologis yang sangat istimewa. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika Pancasila menjadi modal penting dalam upaya
“mendirikan” bangsa Indonesia.
Kebinnekaan oleh para
pendiri bangsa diolah dan diramu, bukan digaris bawahi dan dibesar-besarkan.
Ramuan tersebut akhirnya dapat diformulasikan menjadi sebuah kalimatun sawa yang menjadi
titik temu yang mengakomodasi kepentingan Bersama sebagai sebuah bangsa.
Disinilah letak keistimewaan Pancasila. realitas yang jamak dan tidak tunggal
dipertemukan dalam sebuah kompromi yang harmoni demi cita-cita Bersama.
Fenomena ini tentu saja mengingatkan kita pada apa yang dikakan oleh Jakob
Sumardjo (2004) sebagai watak asli bangsa Nusantara yang memiliki akar budaya
sebagai peramu. Dengan
kecanggihan khas peramu, bangsa kita bias mengelola dan meracik
perbedaan-perbedaan menjadi harmoni yang teroskertrasi dengan indah lewat
jalinan dan tenunan kebangsaan.
Pancasila merupakan lima
butir nilai yang digali dan dipilih dan kristalisasi dari sekian banyak
nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa Indonesia. Lima butir nilai itu kemudian
dirangkai untuk disepakati bersama menjadi dasar negara. Kiai Achmad Shiddiq
dalam buku Islam, Pancasila dan Ukhuwwah Islamiah (1985) menulis, “Lima butir
nilai luhur yang digali maupun dipilih itu disepakti menjadi dasar negara
nasional karena prinsip yang terkandung di dalamnya, baik satu persatu maupun dalam rangkaian sekaligus,
dapat diterima dan dibenarkan oleh semua golongan atau kelompok dari bangsa
Indonesia. Lima butir nilai menjadi kalimatun sawaa bainana wa bainakun bagi
bangsa dan negara Indonesia di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat
dengan segala kemajemukannya.
Menolak
monopoli tafsir
Sejarah mencatat,
bagaimana KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era Orde Baru acapkali
berbenturan dengan penguasa saat itu yang mencoba memonopoli tafsir Pancasila. Tindakan
itu kita pahami semata-mata karena Gus Dur melihat fenomenana penyalahgunaan
dan distorsi pemaknaan terhadap Pancasila. Pancasila direcehkan menjadi tidak
lebih hanya sebatas bemper untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru.
Pancasila tidak boleh
berhenti hanya sebatas realitas simbolik yang tidak bisa diandalkan dan hadir
dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila harus menjadi yang terdepan dalam
membela hak-hak siapa saja yang diperlakukan tidak adil. Itu sebabnya,
berdasarkan pemahaman tersebut, bisa dimaklumkan saat Gus Dur menerbitkan
Keppres No 6 Tahun 2000 dan sekaligus mencabut Inpres No 14 tahun 1967 tentang
Agama, Kepercayaan, dan adat Istiadat China. Ini adalah salah satu ikhtiar
“menghadirkan” Pancasila dalam kehidupan nyata.
Secara historis, NU
membuat keputusan fenomenal pada Munas Alim Ulama NU (Munas NU) tahun 1983 di
Situbondo. Dalam forum yang melibatkan ulama-ulama garda depan NU, dihasilkan
sebuah keputusan berisi lima poin yang disebut dengan Deklarasi Hubungan Islam
dan Pancasila.
Lima poin deklarasi itu:
(1) Pancasila sebagai dasar falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama,
tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan
kedudukan agama. (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara Republik
Indonesia menurut Pasal 29 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
Islam. (3) Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek hubungan
manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. (4) Penerimaan dan pengamalan
Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk
menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap diatas, NU
berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Tidak
ada urgensi
NU secara resmi telah
menyatakan sikapnya terhadap RUU-HIP. Setidaknya ada tiga poin filosofis dan
beberapa poin teknis yang menjadi catatan utama. Pertama, RUU HIP memiliki
potensi yang memantik konflik
ideologi. Upaya mengotak-atik Pancasila sebagai sebuah ideologi negara
dengan salah satunya dilakukan dengan mencoba memberi “tafsir” dan “haluan”
dalam konteks ini bisa digolongkan
sebagai salah satu bagian dari upaya tersebut. Kedua, RUU HIP tidak memiliki
titik signifikansi dan urgensi untuk dibahas karena dalam pandangan NU tak
diperlukan lagi tafsir tentang Pancasila. Pancasila sebagai Philosophische
Grondslag dan Staats fundamental norm merupakan pedoman yang mendasari platform
pembangunan nasional. Disamping tentu saja makna yang terkandung sila-silanya
cukup luas. Ini sejalan dengan pendapat KH Achmad Shiddiq (1985) yang
menyatakan bahwa “urut-urutan lima sila menunjukkan suatu suatu rangkaian
tingkat dalam luasnya isi. Tiap sila yang dibelakang sila lainnya merupakan pengkhususan
dari sila-sila yang dimukanya. Dalam susunan hierakhis pyramidal ini, sila pertama menjadi basis
sila kedua, ketiga, keempat, kelima, demikian selanjutnya. Dengan demikian tiap
sila di dalamnya mengandung empat sila lainnya.
Ketiga, dalam siatuasi
yang serba sulit ini, disaat kita berkonsentrasi menghadapi pandemic, energi
bangsa sebaiknya difokuskan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang lebih
urgen dan mendesak. Isu kesehatan, isu ekonomi, isu Pendidikan, dan juga isu sosial
kemasyarakatan lain harus menjadi agenda utama dibandingkan hanya membahas
persoalan yang justru memantik kontroversi dan juga memancing kegaduhan.
Selain itu, terdapat
persoalan teknis yang terdapat pada RUU-HIP, antara lain meliputi: pertama,
pada Pasal
3 Ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7, yang berdasarkan kajian NU bertentangan
dengan Pancasila sebagai consensus kebangsaan. Kedua, Pasal 13, 14, 15, 16, dan
17 justru mempersempit ruang tafsir Pancasila yang memiliki potensi untuk
memunculkan monopoli tafsir atas Pancasila. Ketiga, Pasal 48 Ayat (6) dan Pasal
49 yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
Walhasil, bagi NU,
Pancasila sudah final. Kejernihan pandangan dan kewajaran sikap menjadi dua
kata kunci dalam konteks ini. Wajar dalam melihat sesuatu (proporsional) dan
wajar bersikap atasnya serta tidak berlebih-lebihan adalah sikap moderat yang
ditanamkan oleh bapak pendiri bangsa dan juga para ulama di dalamnya. Kita
harus melihat agama secara wajar sebagai wadh’un ilahiyyun dan kita pandang
Pancasila secara wajar pula sebagai wadh’un basyariyyun, lalu kita letakkan
pada tempat tempat yang wajar dan selanjutnya kita bersikap secara wajar pula
pada keduanya. Itulah sikap moderat yang diajarkan oleh Islam.
► Kata kunci:
Sublime, Peramu, Hierarkhis Pyramidal, Pasal 3,6,7, 13, 14,15, 16,17
∏
KETUHANAN
DAN KEMANUSIAAN
Komaruddin
Hidayat
Rector
Universitas Islam Internasional Indonesia
Kompas,
6 Juli 2020
Aktor utama dalam sejarah
sesungguhnya adalah manusia
Namun dalam perjalanan
hidupnya manusia lalu meyakini, dibalik semua realitas agung yang sangat
kompleks dan tak bisa dipahami serta ditaklukkan oleh nalar ini pasti ada
subyek lain yang lebih tinggi, lebih kuasa, dan lebih cerdas yang disebut
Tuhan. Dengan demikian, yang pada mulanya manusia merasa sebagi subyek primer
dan paling super serta hebat dalam semesta ini lalu menempatkan dirinya sebagai
mahluk yang mengada dan diadakan (contingent
being) oleh aktor lain yang Mahaada, yaitu Tuhan.
Namun, dalam sejarah
selalu saja ditemukan sosok pemikir, saintis, filsuf, dan penguasa yang tak mau
mengakui Tuhan. Dengan kecerdasan otaknya, mereka berpandangan kepercayaan
kepada Tuhan itu gejala kelelahan dan ketidakmampuan bepikir memahami semesta
ini secara empiris dan rasional. Pemikir semacam ini tak bias serta merta di
cap anti Tuhan. Bias jadi karena kecerdasan otaknya belum atau tak bias
menerima berbagai argument tentang keberadaan dan kekuasaan Tuhan sehingga tak
menempatkan factor Tuhan dalam pengembaraan intelektualnya.
Bagi para teolog, baik
Kristen maupun Islam, pemikiran kritis yang kadang menyerang bangunan argument
ketuhanan diyakini tak akan bias membunuh dan melenyapkan agama dari muka bumi,
melainkan justru sebagai masukan untuk mendewasakan pilihan imannya. Dalam
tradisi teologi, nalar kritis bekerja untuk memperkuat argument keimanannya,
sedangkan tradisi filsafat dan sains, kekuatan nalar yang diutamakan. Iman
kepada Tuhan bias menyusul atau sama sekali tak ada tempat.
Homo
Deus
Pengembaraan nalar kritis
manusia telah mengantarkan dirinya mampu keluar dari kungkungan natur, lalu
naik pada tatanan kultur yang membuka pintu petualangan intelektual dan riset
ilmiah yang tak bertepi. Sebuah peta jalan re-search, sebuah pencarian
berulang-ulang dan tak henti dalam bentangan semesta yang di dorong dahaga keingintahuan (curiousity).
Oleh karena itu, manusia tidak saja disebut sebagai homo sapien, tetapi juga
homo faber, yaitu penduduk bumi yang pintar dan rajin mencipta peralaan
hidupnya dengan modal keunggulan nalarnya.
Hasil petualangan
pemikiran manusia yang berhasil membangun kaidah-kaidah sains sebagian lalu
diaplikasikan untuk mengembangkan perangkat teknis sehingga secara teknikal
hidup menjadi nyaman dan mudah dijalani. Keterbatasan jarak pendengaran
diperpanjang oleh telefon, keterbatasan mata dibantu oleh teleskop,
keterbatasan langkah kaki digantikan oleh kenderaan otomotif dan pesawat
terbang, kelemahan memori otak digantikan oleh kecerdasan buatan dan
seterusnya.
Itu semua berkat
perjalanan evolusinya berkembang melejit melampaui batas-batas natural dan
instingtif lalu menjadi homo sapien. Masyarakat modern yang maunya serba
rasional, kapitalistik, dan hedonistic sangat menikmati prestasi teknologi ini
sehingga merasa semua problem kehidupan bias, dianalisis, diterangkan, dan
dipecahkan secara saintifik, tanpa bantuan agama.
Bahkan muncul imajinasi
suatu saat nanti dengan kecerdasannya manusia bisa berevolusi bagaikan dewa.
Kematian bisa dianalisis secara saintifik, misalnya sel-sel manakah yang
menjadi penyebab kematiannya sehingga setelah teridentifikasi, maka akan bisa
diatasi akar penyebabnya.
Decade belakangan ini
didukung oleh kemajuan ilmu biologi modern, saintis kontemporer bicara secara
fasih dan penuh percaya diri tentang temuannya dalam bidang neurosains dan
segala turunannya, antara lain berupa kecerdasan artifisial yang mendorong
munculnya big data dan perangkat analisis algoritmanya. Kata algoritma sendiri
berasal dari kata alhawarizmi, seorang sarjana ahli matematika kelahiran Persia
tahun 780. Saat ini big data telah menggeser berbagai asumsi dan kepercayaan
spekulatif dalam dunia ilmu pengetahuan.
Apa yang disebut
kebenaran mesti bersifat empiris, obyektif, bias di ukur, diketahui hokum sebab
akibatnya, tak disusupi mitos, meski sains sendiri tetap mengakui
keterbatasannya. Di balik sikap yang kadang terkesan sombong dan penuh percaya
diri, sains selalu berakhir open-ended, terbuka terhadap kritik agar
berlangsung berkesinambungan dari generasi ke generasi dalam memahami fenomena
alam tak bertepi. Saintis yang selalu berinovasi menciptakan techne juga turut
berbicara topik moralitas berdasarkan kajian mendalam berdasar big data
mengenai apa yang dianggap baik dan buruk, yang berikan rasa bahagia dan
sengsara, bagi kehidupan manusia. Wilayah moral tak lagi monopoli agama dan
filsafat, sains ikut bicara urusan moralitas berdasar pendekatan empiris.
Agama
dan spiritualitas
Agama merupakan ajaran
wahyu dari Tuhan, dibawa oleh rasul-nya, lalu ajarannya dihimpun dalam kitab
suci yang pada urutannya melahirkan tradisi keagamaan yang dijaga dengan setia
oleh ummatnya. Beberapa ajaran pokok agama: percaya pada Tuhan, percaya kepada keabadian jiwa, pada
janji surga dan neraka, pedoman ritual, dan etika sosial. Semua agama
memiliki lima dimensi itu. Adapun spiritualitas ada yang berpandangan sebagai
substansi keberagamaan. Mengingat Tuhan mahagaib dan imateri, pendekatan dan
penghayatan kepada-Nya mesti naik pada tataran spiritual yang juga bersifat
immateri atau rohani. Bentuk dan aktivitas lahiriah beragama hanya sekedar
wadah dan ekspresi lahiriah, bukan substansinya.
Namun, ada pula yang
berpandangan spiritualitas tidak mesti dan tak selalu berkaitan dengan agama
formal yang telah terlembagakan, yang di atur kitab suci. Banyak kalangan
pemikir humanis mengaku tak bertuhan, tetapi mengakui dan menjunjung tinggi
nilai-nilai spiritualitas yang diyakini sebagai sumber kebaikan budi,
kelembutan hati, membuka ruang batin, yang melampaui pengalaman nalar dan
indera.
Ada juga yang mengaku
Tuhan, tetapi tak mau masuk dan terikat aturan dan doktrin agama. Agama Budha,
misalnya, sangat menjun jung tinggi perjalanan jiwa untuk memperoleh pencerahan
hidup, tetapi hamper tak mau mendiskusikan Tuhan. Kita pun tak bias menuduh
Budha tak bertuhan. Baginya, apapun yang dibahas otak mengenai Tuhan, tak lebih
hanya proyeksi pikiran, tetapi tak akan mampu menjangkau realitas agung yang
absolut sebagai sumber pencerahan jiwa karena keterbatasan pada pikiran
manusia.
Mahluk
penafsir
Aktor yang bertuhan
adalah manusia. Dengan kebebasan yang dimiliki, seseorang bebas adakah mau
percaya kepada Tuhan atau kah tidak. Begitupun yang membangun system ilmu
pengetahuan dan kebudayaan juga manusia. Capaian dalam membangun system
pengetahuan dan kebudayaan itu pada urutannya disimpan dalam system tanda
sehingga manusia juga disebut homo symbolicum. Dunia ilmu pengetahuan adalah
dunia simbolik yang menyimpan informasi keilmuan agar bias disimpan lewat
dokumen tulisan lalu disebarkan dan diwariskan secara generasional. Di sini
peran system tanda dengan Bahasa dan tulisan sangat vital. Tanpa system tanda
dan Bahasa, semesta in sulit dijelskan dan distrukturkan dalam pikran kita.
Bayangkan andaikan
manusia mundur kembali kea lam hewani yang tak mengenal Bahasa dan system
tanda, maka kebudayaan dan ilmu pengetahuan tak akan berkembang seperti
sekarang. Dalam Bahasa Arab, semesta ini disebut alam yang berarti tanda (sign)
yang menuntut pemahaman dan penafsiran di balik seluruh fenomena yang muncul
dipermukaan. Dari hasil interogasi dan eksperimentasi amnusia terhadap perilaku
alam tersusunlah ilmu pengetahuan yang berisi hokum sebab-akibat yang
menciptakan harmoni, tetapi terlalu sedikit yang bias digali manusia.
Pemahaman terhadap hokum
sebab-akibat yang matematis dan melekat pada alam merupakan fondasi sains
modern, tetapi sains terbentur pertanyaan yang sulit dijawab, apa dan siapa
penyebab kehadiran semesta yang mahabesar dan memiliki keteraturan dalam
geraknya ini. Menghadapi kemacetan ini ada yang kemudian menemukan jawaban pada
agama, ada yang puas pada mitologi, ada yang tetap menunggu perkembangan sains
untuk menjawabnya.
Sadar akan posisi dirinya
yang teramat kecil di lautan semesta yang tidak tahu garis tepinya, maka
saintis mesti berpuas diri terhadap seluruh capaiannya, dengan harapan semua
teka-teki yang belum dipecahkan akan terjawab oleh saintis generasi mendatang.
Namun, ada pula yang berpandangan wilayah sains dan ketuhanan merupakan wilayah
yang berbeda sehingga tak perlu dikompetsikan dan diperhadapkan. Masing-masing
bekerja pada arasy yang berbeda. Yang pasti manusia adalah interpreter being,
hewan berakal yang memiliki kemampuan dan senang menafsirkan lingkungannya.
Semesta ini hiperteks, mengandung penafsiran tak berujung. Agenda riset
keilmuan tak lain adalah serial penafsiran terhadap hasil penafsiran sebelumnya
sehingga sesungguhnya dunia manusia dunia simbolik yang terdiri dari serial
penafsiran atas penafsiran terhadap hiperteks yang hasilnya relative,
subyektif, dan sangat terbatas. Masih terlalu banyak misteri yang belum
tersingkap nalar manusia.
Ketuhanan
berperikemanusiaan
Adakah peran significan
Tuhan dalam perkembangan sains dan kebudayaan? Nalar
manusia hanya mampu membuat argumentasi keterlibatan Tuhan di dalamnya, tapi
tak akan mampu membuktikan secara empiris. Bagi orang beriman, sumber
kehidupan ini daya ruh yang ditiupkan Tuhan ke dalam tubuh manusia. Begitulah
pernyataan Alkitab dan Al Quran. Jika ruh telah lepas, seluruh instrument
kehidupan dalam diri manusia tak bias bekerja lagi. Ruh ini tak saja sebagai
sumber kehidupan, tetapi juga lokus pancaran dan penetrasi cahaya kebenaran
Tuhan agar manusia senantiasa ingat dan terhubung dengan sumbernya. Ruh ini
telah mendorong munculnya the will to
believe bagi setiap jiwa yang ingin menangkap kesejatian hidup di luar
dunia materi. Jadi, ruh jalan dan penuntun iman yang berpusat di hati, agar
energi iman itu memberikan penyadaran dan makna moral dalam wilayah sains dan
kebudayaan.
Sikap kebertuhanan dan
sikap kemanusiaan tak bias dipisahkan. Pancasila menempatkan ketuhanan sebagai
sila pertama dan utama, diikuti sila kemnusiaan, sungguh merupakan gagasan dan
sikap yang jenius dan rendah hati. Hanya dengan kebeningan hati yang dipenuhi
energi kasih saying Tuhan, seseorang akan senantiasa terhubung dengan kesadaran
dan getaran iman, baik dalam pengembaraan keilmuan maupun membangun peradaban.
Sekian banyak monument
sejarah peradaban manusia awalnya diinspirasi dan digerakkan oleh getaran iman.
Berbagai universitas di Barat yang sekuler pun banyak yang awalnya didirikan
karena panggilan iman. Dalam konteks berpancasila, kebertuhanan yang selalu
kita ucapkan baru valid jika termanifestasikan dalam agenda dan perilaku nyata
dalam membela nasib sesama manusia, apapun etnis dan agamanya. Sikap
kebertuhanan yang membuahkan perikemanusiaan dan kebudayaan menuju terwujudnya
keadilan dan kesejahteraan.
► Kata kunci:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Keingintahuan, Batas Nalar Manusia
EUFORIA
DAN TURBULENSI PERSOALAN
Dari tiga artikel demikian, sedikit
banyak para peserta diskusi zoom sudah memahami apa sesungguhnya yang terjadi.
Dari uraian Yudi Latif tersirat bahwa kekacauan atau turbulensi itu
sesungguhnya adalah puncak gunung es krisis kebangsaan. Masalah RUU_HIP itu
hanyalah pemantiknya. Sedangkan Haluan yang dimaksudnya adalah (1) fajar nalar,
dan (2) bening moral. A Helmy Faishal zaini, sekjen NU menekankan bahwa
Pancasila itu adalah nilai-nilai yang telah disublimasi dari bermacam-macam
kemungkinan, kecenderungan, dan juga perbedaan. Sedangkan Komaruddin Hidayat
menyimpulkan bahwa Ketuhanan dan kemanusiaan itu sudah melekat dalam kebudayaan
Indonesia, yakni pada Pancasila, sebagaimana yang saya tulis dalam artikel di
atas, yakni Inti Pancasila adalah kemanusiaan.
Namun sebagaimana dikatakan Yudi Latif
kekacauan/turbulensi ini ini terjadi karena kehidupan negara berjalan sebatas
mengikuti rutinitas prosedur dan administrasi, tanpa kejelasan arah-tujuan.
Yang seperti apa itu? Panjang uraiannya. Kita kembali ke persoalan awal, yakni
mengapa RUU_HIP ditolak. Untuk ini saya kutif keterangan Drs Zainuddin Nasution
MAP di harian Waspada…
Rakyat Indonesia, khususnya umat Islam
masih komit terhadap konsensus nasional yang telah dirumuskan para founding
fathers 18 Agustus 1945 sebagai dasar Negara RI secara utuh, tanpa mengurangi
sebutir sila-sila yang ada di dalamnya…rakyat Indonesia harus tetap kompak
menolak Pancasila diperas-peras menjadi Trisila maupun Ekasila. Pancasila bukan
cucian emak-emak yang harus diperas-peras lagi, Pancasila sudah kering dan
teruji sejak dulu.
Siapa yang mengurangi
butir-butir….memeras-meras ?
apakah DPR RI sebodo, setolol, sekeliru itu? Untuk menjawab, atau
mendialogkannyanya silahkan baca tulisan dibawah ini:…..
∏
PANCASILA-TRISILA-EKASILA:
BENARKAH PENGKHIANATAN TERHADAP BANGSA DAN NEGARA?
(Catatan
Refleksi dalam menyambut 50 tahun Haul Bung Karno)
Oleh:
Dr Bambang Noorsena
1.Catatan pendahuluan
RUU-HIP menuai polemik publik. Beberapa orang menuduh
bahwa Pancasila yang diperas menjadi Trisila dan Ekasila adalah merupakan
bentuk pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Benarkah? Tuduhan itu
khususnya berkaitan dengan Pasal 7 draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang
memuat klausul mengenai Trisila dan Ekasila, sesuai dengan usulan Bung Karno
mula-mula dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945, yang
akhirnya lebih dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila” tersebut.
Lebih jelasnya, Pasal 7 draf RUU-HIP, yang
dipersoalkan itu terdiri dari 3 ayat yang berbunyi:
(1) Ciri
pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat
kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Kesatuan,
Kerakyatan/demokrasi politik dan demokrasi ekonomi dalam kesatuan.
(2) Ciri
pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan
Ketuhanan yang berkebudayaan.
(3) Trisila
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong
royong
2.Lalu manakah yang dianggap
mengkhianati bangsa dan negara?
Faktanya, Trisila dan Ekasila justru berasal dari
dokumen “Lahirnya Pancasila”, pidato Bung Karno sebagai satu-satunya yang
dibahas dalam siding Panitian kecil yang akhirnya dicantumkan dalam Alinea 4
Pembukaan UUD 1945. Jadi Trisila dan Ekasila terdapat dalam babon atau bahan
dasar ideologi negara yang dibahas dalam sidang Panitia Kecil. Memang istilah
“diperas menjadi trisila”, diperas lagi menjadi ekasila itu bukan Bahasa hokum,
dan apa yang diucapkan Bung Karno itu baru usulan kepada siding BPUPKI, yang
akhirnya dibahas lebih mendalam dalam siding Panitia Kecil yang juga dilakukan
atas prakarsa Bung Karno.
Bung Karno tidak sedang berbicara tentang
“Stufentheory”, atau hierarkhi perundang-undangan ala Hans Kelsen. Kata
“diperas” bukan Bahasa hokum, tetapi harus dimaknai sebagai upaya mencari
“meeting point” dalam proses dinamis
pembahasan dasar negara untuk Indonesia merdeka yang akan didirikan
Bersama-sama. Lagi pula substansi pidato 1 Juni 1945 itu juga bukan hal yang
mendadak dantiba-tiba muncul, melainkan lahir dari pergulatan pemikiran Bung
Karno mengenai proses Panjang sejarah perjuangan bangsa, khususnya berangkat
dari fakta kemajemukan Indonesia.
Kita harus melihat pidato 1 Juni 1945 sebagai “helaan
mandat sejarah” yang memang tidak bisa dilepaskan dari situasi zaman saat itu,
yang tidak bisa lihat dari “kacamata” kita sekarang. Misalnya, mengapa Bung
Karno mengusulkan sila pertama Kebangsaan? Karena menyebut Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai sila pertama, mungkin untuk konteks zaman saat itu, bias-bisa
disalah mengerti sebagai system Theokrasi oleh kaum kebangsaan yang menghendaki
sistim legitimasi “non agamis”. Sebab saat itu belum lama munculnya sekularsme
Turki yang lahir sebagai kritik kebablasan terhadap system kekhalifahan
Utsmani, yang sebelumnya telah banyak dikritik oleh negara-negara Arab sendiri.
Sebaliknya, kalau Bung Karno berbicara tentang
Nasionalisme an sich, rawan disalahfahami sebagai “chauvinism” yang lagi
panas-panasnya mengudara di langit Eropa. Itu gara-gara “sakit gila” Hitler
dengan dalilnya “Deutschland Uber Alles (tiada bangsa setinggi Jerman). Karena
itu Bung Karno menegaskan “Nasionalisme harus tumbuh di tamansarinya
Internasionalisme”. Inilah yang disebut Bung Karno sebagai Sosio-Nasionalisme.
Begitu pula, berbicara Demokrasi an sich akan dibaca sebagai kelemahan
demokrasi liberal, yang hanya mengandung demokrasi politik tanpa keadilan
social.
Karena itu, Bung Karno menggagas demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi yang harus berjalan bersamaan. Itulah yang disebutnya
Sosio-demokrasi. Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-Nasionalisme dan Sosio
Demokrasi adalah embrionya Pancasila yang akhirnya diusulkan oleh Bung Karno
dalam pidatonya tanggal 1 juni 1945. Trisila dan Pancasila itu laksana “pedhet”
(anak sapi) dan sapinya. Runutannya, Trisila lahir dari semangat ekasila atau
gotong royong, dan Pancasila adalah wujud pendewasaan Trisila setelah melalui penggodogan
dalam kawah “candradimuka”-nya perjuangan rakyat Indonesia.
3.Apakah
“Ekasila” Gotong Royong menghapuskan Ketuhanan Yang Maha Esa?
Tuduhan bahwa “Ekasila” Gotong Royong akan
menghapuskan Ketuhanan Yang Maha Esa ini adalah bias Orde Baru yang berusaha
melakukan “DeSukarnoisasi”, dengan cara melepaskan Pancasila dari penggalinya.
Mengapa? Gotong Royong itu semangat dinamis dan tekad bulat segenap rakyat
untuk bersatu dan bersama-sama mendirikan negara-kebangsaan (National Staat),
mengatasi sekat-sekat perbedaan dalam suku, adat-istiadat, bahasa-bahasa
daerah, agama, dan perbedaan primordial lainnya.
Pancasila tidaklah muncul tiba-tiba. Puluhan tahun
dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu, kata Bung Karno dalam
pidato Lahirnya Pancasila. Ya, kita bisa melacaknya dari jejak juang bangsa
Indonesia yang diformulasikan dalam ideologi perjuangan Bung Karno. Gagasan
Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi telah menghiasi surat-surat kabar Hindia
Belanda jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Karena itu, tuduhan bahwa ekasila
akan menghapuskan Ketuhanan, sulit dimengerti akal sehat.
Bacalah , artikel “Sukarno” oleh Sukarno, yang dimuat
surat kabar Pemandangan, 14 Juli 1941:
“…dalam cita-cita politikku, aku ini seorang
nasionalis, dalam cita-cita sosialku aku ini sosialis, dalam cita-cita sukmaku
aku ini sama sekali theis. Sama sekali percaya pada Tuhan, sama sekali mengabdi
kepada Tuhan. Jadi Bung Karno dengan penghayatannya yang unik tentang agamanya
dalam konteks kemajemukan, benar-benar seorang yang amat religious.
Sebab, ditengah-tengah berkecamuknya perang dingin
antara “blok Kapitalis” dan “blok Komuis”, yang saat itu laksana membelah
dunia, dengan lantang Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai “ hoggere
optreking (sublimasi, pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi) dari Declaration
of Independence”-nya Amerika dan Manifesto Komunis. Kritik bahwa demokrasi
politik harus berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi disuarakannya dalam To
Build The World a New (Membangun dunia kembali), di depan siding Umum PBB,
tanggal 30 September 1960.
Declaration of independence, tegas Bung Karno
“menuntut life, liberty, and the pursuit of happiness, yaiu hak hidup, hak
kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan bagi semua manusia. Pada hal pursuit of
happiness pengejaran kebahagiaan) belum berarti reality of happieness
(kenyataan kebahagaan). Lalu manakah yang lebih baik? Kita bangsa Indonesia,
lagi kata Bung Karno dalam Jalannya Revolusi Kita, 17 Agustus 1960, melihat
bahwa Declaration of independence itu tidak mengandung keadilan social atau
sosialisme dan kita melihat bahwa Manifesto Komunis itu masih harus di
sublimir, dipertinggi jiwanya dengan Ketuhanan yang Maha Esa.
Apa yang disuarakan Bung Karno bukan sekedar
propaganda, melainkan benar-benar “praxis” kehidupan bangsa-bangsa seperti yang
dibuktikan dengan diselenggarakannya Konperensi Asia Afrika, di Bandung, 18 –
24 April 1955. Gaung Konperensi yang digagas Bung Karno ini membahana di langit
Timur dan Barat, sehingga mata dunia terus menatap takjub kepada Indonesia.
Karena spirit revolusi Indonesia, di Mesir pidato Bung Karno “penemuan kembali
revolusi kita”, 17 Agustus 1959, telah diterjemahkan dalam Bahasa Arab
“al-Audah ila iktisyaf Tsauratina”, diterbitkan oleh Dar al-Arabiyyah
lial-Ulum, Cairo, 1959. Pada bagan akhir terbitan pidato Bung Karno dalam
Bahasa Arab ini, dicantumkan glossary tentang falsafah bangsa Indonesia.
Dalam glossary buku tersebut, Pancasila
dialih-bahasakan al Mabadi al-Khamsah, Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan al- Ta’addud fi al-Wihdah, dan
dijabarkan maknanya “ay’an Indunisiya bi ragmi min ta’addud aqalimiha wa
qabailiha takunu wahdatam mutamasikatan (yaitu bahwa Indonesia meskipun terdiri
dari berbagai wilayah dan suku bangsa yang berbeda-beda tetapi bersatu-padu
dalam kesatuan yang teguh). Sedangkan yang lagi viral, kata gotong royong, yang
dalam pidato Lahirnya Pancasila disebut ekasila, dalam Al-Audah ila Iktisyaf
Tsauratina, diterjemahkan dengan al-Ta awun al-Musytarak (AG Syaban, 2015)
4.Catatan Penutup
Sekali lagi jangan curiga dengan kata “diperas”, dan
jangan salah membacanya sebagai Bahasa hukum. Berbeda dengan kata kekeluargaan
yang statis, gotong royong adalah gawe, amal, karya bersama-sama yang dinamis,
kristalisasi keringat, pembantingan tulang bersama demi cita-cita seluruh
rakyat. Itulah bahasa roh yang menyala-nyala, bukan bahasa hukum yang baku dan
kaku. Seperti adagium suci bahasa Yunani “Gargramma apoktennei to de pneuma
zopoiiei (Huruf itu mematikan tetapi roh itu menghidupkan)
Sekali lagi, dalam pidato Lahirnya Pancasila Bung Karno yang gandrung persatuan, di depan
sidang Dokuritsy Zyunbi Tyosa Kai saat itu menawarkan “philosophie grondslag
dalam sistematik Pancasila, Trisila, Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-Tuan
pilih. Trisila, Pancasila, atau Ekasia, kata Bung Karno. Sidang panitia kecil
akhirnya memilih lima sila itu, dengan beberapa perbaikan redaksional, lalu
mencantumkannya dalam Pembukaan UUD 1945, meskipun tidak menyebut Pancasila. Jadi,
hanya dengan membaca pidato “Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 dan notulen sidang
di Panitia Kecil kita bisa membaca “suasana batin” para bapa bangsa waktu itu,
sebelum semua menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara.
De Museum Café, Malang, 21 Juni 2020
Sampai sini
dulu…..mari kita diskusi dengan nalar….bukan kegenitan, kesurupan, atau mabuk
kepayang
MERDEKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar