RELASI ASIMETRIK EKONOMI INDONESIA – JEPANG
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 26 September 2020
Relasi asimetrik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hubungan yang tidak setara antara dua negara, yakni antara Indonesia dengan Jepang, yang telah berlangsung sangat lama. Hubungan yang timpang, karena ada yang lebih dominan, atau-bahkan hegemonik, yang dalam perjalanan atau perkembangannya, seharusnya diselaraskan. Bukan dibiarkan, atau, malah dilembagakan.
Hubungan demikian adalah agresifitas investasi asing langsung (Foreign Direct Investmen/FDI) Jepang di negeri ini, yang permanen menjadikan diri-negaranya semata-mata (an sich) hanya sebagai produsen. Sebaliknya, Indonesia hanya menjadi konsumen/pasar, akan produksi-produksinya.
Produksi yang jauh lebih unggul, sebab telah melalui tahap-tahap industrialisasi yang berteknologi tinggi, seperti, industri-industri manufaktur, yang punya nilai tambah yang lebih unggul, apabila dibandingkan dengan barang-barang yang belum diolah secara manufaktur. Barang-barang yang dalam muara atau implementasinya akan mendatangkan profit yang sangat menguntungkan.
Sebaliknya bagi negara-negara yang tidak memiliki keunggulan teknologis itu, seperti Indonesia hanya akan mendapat nilai kecil atau keuntungan yang tidak sebanding. Nilai yang ibarat antara langit dan bumi, atau kakap dengan teri, yang sangat tak seimbang.
Sesuai dengan hukum, teori, atau praksis keunggulan komparatif (Comparative Advantage, CA) dalam perdagangan dunia, Indonesia hanya bisa menjual/mengekspor komoditas-komoditas yang belum melalui proses-proses teknologis, karena hanya komoditas itu yang dimiliki. Komoditas-komoditas sejenis Sumber Daya Alam (SDA), yang harga atau nilainya sudah pasti jauh lebih murah. Jelas suatu relasi (ekonomi-politik teknologis) yang timpang, alias asimetrik.
Perdagangan Asimetrik
Bagi nasionalist-nasionalist yang tinggi kesadaran/wawasan kebangsaannya, akan gusar melihat relasi asimetrik demikian. Mereka akan galau, mengapa barang-barang negeri Sakura tersebut terus-menerus mendominasi pasar negeri ini. Seluruh kenderaan/otomotif, barang-barang elektronik, optic, dan jenis-jenis lain, yang digunakan sehari-hari, nyaris hampir semua milik-dagangan Jepang. Mana buatan Indonesia?
Siapa yang tidak akrab dengan Toyota, Suzuki, Daihatsu, Honda, Mitsubishi, Hino, Isuzu, Fuso, Yamaha, Hitachi, Sony, Mazda, Nissan, Sanyo, Sharf, Toshiba, Panasonic, Canon, Nikon, JVC, Nintendo, Fujitsu dan lain-lain komoditas mereka dinegeri ini. Namun sebaliknya, adakah produk-produk sejenis tersebut, yang diproduksi Indonesia hadir/ada di Tokyo, Osaka, Kyoto, Yokohama, Sapporo, Kobe, Hiroshima, Nagoya, Sendai, Fukuoka, Nagasaki, Chiba, Yamagata, etc?
Jelas/bisa dipastikan tidak ada. Tidak akan ada, karena memang tidak pernah ada. Negeri ini hanya asyik atau keasyikan sebagai penikmat buatan asing. Bangga, terbuai, dan euforia dengan ciptaan luar. Bukan kreasi/buatan sendiri yang seharusnya lebih membanggakan dan menguntungkan. Meminjam litany Prof Dr Sri Edi Swasono (2007), bangsa ini ada kecenderungan terpenjara mental “minder – inferioritas”, yang sadar atau sebaliknya, senang hanya sebagai penikmat, bukan sebagai pencipta/innovator yang membutuhkan tindakan rasional, disiplin, dan kerja keras.
Sudah lima dekade barang-barang atau komoditas-komoditas teknologis-manufaktur Jepang membanjiri negeri ini, setelah sebelumnya dibanjiri komoditas-komoditas Eropa dan Amerika. Artinya, nyaris tanpa “alih teknologi”. Nyaris tak mau membuat komoditas sendiri. Mengapa negara-negara lain yang se level dengan kita giat melakukannya?
India mengundang Willys dari Inggris, lalu mempelajari dan menirunya dengan membuat mobil sendiri, dengan merk/nama “Tata”. Selanjutnya mengundang Piaggio (vesva) dari Italia, lalu membuat yang sejenis, yang diberi merk Bajay. Tidak ketinggalan negara-negara di Kawasan ini, seperti, Malaysia membuat Proton sebagai duplikasi, kreasi, atau inovasi dari Mitsubishi.
Yang prestisius dan gemilang adalah China. Sejak lama melakukan isolasi, yakni mengasingkan diri, alias tidak mau ikut/masuk organisasi perdagangan dunia (WTO). Akan tetapi sekali masuk merajai lembaga tersebut. Artinya, bukan saja mengikuti peraturan-peraturan yang terdapat di lembaga perdagangan dunia itu, malah sebaliknya mewarnai dan menggunakan wadah tersebut, sungguh-sungguh sebagai ajang kepentingan bisnis dan kekuatan ekonomi nasionalnya.
Dengan komoditas-komoditas yang lebih canggih - teknologis, lebih murah, dan lebih efisien, China berselancar dinegara-negara anggota WTO, yang tidak saja mendatangkan profit yang besar bagi negerinya, jauh di atas itu/terutama dan utama adalah terganggunya (tepatnya tergusurnya) komoditas-komoditas negara-negara lain yang sudah lebih dulu merajai anggota WTO.
Mereka (China) sukses, setelah membangun kekuatan-kekuatan lokalnya, seperti pembangunan mental-budaya (character and national building), kekuatan industri nan teknologis, strategi perdagangan/manajemen yang canggih, dan lain-lain kiat (art) yang berhubungan dengannya, dengan tekad (good and political will) yang sungguh-sungguh membaja.
Seujung rambutpun, negeri itu, tidak mau menjadikan pasarnya dikuasai komoditas asing, sebagaimana yang dilakukan barang-barang manufaktur Jepang di Indonesia sekian lama (bertahun-tahun). Pasar tetap terkendali dibawah otoritas pemerintahannya, sehingga hasil (out put)nya betul-betul untuk kemakmuran bangsa, masyarakat, dan negaranya (bukan unuk segelintir elit yang lazimnya menjadi komprador perusahaan-perusahaan asing).
Mereka membuka lebar-lebar investor asing masuk kenegerinya, namun tetap dibawah kontrol otoritas kekuasaannya. Tidak begitu saja diserahkan ke pasar sebagaimana dikte-dikte kaum liberal yang menganut fundamentalisme pasar (Stiglitz, 2001), melainkan dengan perjanjian yang setara antara kedua pihak. yang saling menguntungkan, dan timbal balik, sesuai dengan prinsip-prinsip atau persaingan pasar bebas (free market).
Alih Teknologi
AS yang masuk ke pasarnya disambut dengan tangan terbuka, namun dengan syarat harus melakukan alih teknologi. Yakni mengijinkan China membuat komoditas yang sama, setelah China sanggup membuatnya. Dalam bahasa lain, setelah pakar-pakar negeri Tirai Bambu ini sanggup membuat barang seperti itu, adalah hak China untuk memasarkannya di pasar domestik maupun global.
Metode (imitasi, dan inovasi) yang akhirnya membuat perekonomian China berkembang bagaikan roket membelah langit. Betapa tidak? Semua komoditas-komoditas yang sebelumnya diciptakan negara-negara lain, kini dapat diproduksi China dengan mutu yang lebih baik, harga yang lebih murah, dan lebih efisien.
Konstalasi yang akhirnya membuat Trump naik pitam/berang, ketika ia menjadi Presiden AS tahun 2016. Trump menuding China telah melakukan perdagangan curang, mencuri kekayaan properti AS, dan memaksakan alih teknologi ketika perjanjian investasi, sehingga membuat perdagangan AS dengan China mengalami deficit besar.
Sejauh mana, seperti apa, dan bagaimana deficit demikian, yang bermuara pada perang dagang antar kedua negara, bukanlah pembahasan tulisan ini. Yang pasti adalah bahwa penguasaan teknologi adalah kunci kemajuan (conditio sine quanon) ekonomi. Dengan penguasaan teknologi yang kreatif dan inovatif, komoditas-komoditas yang sebelumnya masih mentah, atau kurang berbobot, akan memiliki nilai lebih yang berlipat-lipat.
Indonesia yang sudah lebih lima dekade menjadi pasar otomotif, elektronik, optic, dan lain-lain komoditas Jepang sudah waktunya mengkaji (kalibrasi) ulang hubungan asimetrik demikian. Pola hubungan harus dirombak agar tidak terus menerus asimetrik, yakni Jepang harus memberikan alih teknologi kepada Indonesia. Bila perlu mengikuti langkah-langkah yang dilakukan China dengan investor-investor AS, yakni menyertakan alih teknologi.
Demikianlah terobosan yang perlu ditempuh pemerintahan Jokowi mengantisipasi perubahan kepemimpinan Jepang, dari Shinzo Abe yang mengundurkan diri karena sakit, dan digantikan loyalisnya, Yoshihide Suga, yang kecenderungannya akan tetap konservatif. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar