Minggu, 27 September 2020

MARHAENISME BAGI GENERASI MUDA; PENGANTAR DISKUSI

 


 

MARHAENISME BAGI GENERASI MUDA;

PENGANTAR DISKUSI

Oleh: Reinhard Hutapea

Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI, Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Disampaikan dalam KTD GMNI SIANTAR, 29 September 2020, via zoom

 

PENDAHULUAN

Masalah utama yang dihadapi kaum muda atau millenial[1], seperti adik-adik yang hadir dalam pertemuan KTD  saat ini adalah(1) keterbatasan lapangan kerja, (2) tingginya harga kebutuhan pokok, dan (3) kemiskinan (Survey CSIS, 2017 dalam Pramudito, Kompas, 8 oktober 2018)

Masalah-masalah lama, aktual, dan klasik yang tak pernah terselesaikan. Masalah-masalah yang sudah menyeruak sejak era penjajahan/kolonial, namun entah mengapa tetap tak terselesaikan. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, dekade ke dekade, dari satu suasana ke suasana lain, dari satu pemerintahn ke pemerintahan lain, tetap saja dan permanen tidak ada perubahan yang berarti/significan. Begitu terus yang terjadi

Adik-adik yang hadir dalam KTD ini setelah lulus, bahkan mungkin lulus dengan IPK setinggi langit (melewati angka 4, sum cum laude), sejauh mata memandang tidak ada jaminan, akan diterima di dunia kerja. Rata-rata mereka menganggur. Sebagaimana pemantauan/fenomena yang sudah lazim kita lihat sehari-hari, mereka berbondong-bondong membawa surat lamaran kerja ke berbagai instansi. Ada yang diterima, namun jauh lebih banyak yang ditolak. Tidak sebanding dengan mereka yang melamar.

Ironisnya dari mereka yang diterima kerja demikian mayoritas tidak mendapat penghasilan/upah/gaji yang layak. Gajinya sangat kecil, tidak sesuai dengan kebutuhan, maupun tenaga yang dikeluarkan. Banyak yang masih dibawah upah minimum.

Mari kita perhatikan/simak dengan seksama mereka-mereka yang bekerja di perusahaan swasta, banyak berpenghasilan yang memilukan, menyedihkan, alias tak manusiawi. Sebaliknya pemilik perusahaan/majikan mendapat keuntungan yang sangat besar, yang membuatnya semakin kaya raya.

Disisi lain sebagai mana realitas-faktualnya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari tetap tinggi, semakin hari/lama semakin naik. Kenaikan harga barang/komoditas selalu lebih besar/tinggi dari penghasilan. Penghasilan sekian, kenaikan harga sekian kali naiknya…Bagaimana hidup layak kalau suasanya begini?

Jangankan hidup layak, hidup sederhana sekalipun tak akan tergapai. Malah yang mencuat kemudian adalah sebaliknya, yakni apa yang disebut dengan “kemiskinan”, alias kesengsaraan. Semakin lama berlangsung prosesnya, semakin banyak orang yang melarat. Kemiskinan terus melesat…..terus menghantui kehidupan.

Ini realitas empirik yang kita hadapi, yang ada di depan mata/hidung kita, meski ada pihak, lembaga, atau siapapun yang membantahnya[2]. Ayo mari kita adu argumen, adu data, atau fakta, terbukti bahwa kemiskinan itu sangat besar. Kemiskinan itu ada di hadapan kita. Kemiskinan yang pada muara atau derivasinya, akhirnya melahirkan “kesenjangan, ketidak adilan, atau keterasingan sosial”.

Sinyalemen demikian paling tidak dapat dilihat (antara lain) dari laporan OXFAM dan INFID tanggal 23 Juli 2017 yang lalu. Kedua Lembaga ini mensitir betapa kesenjangan (gap) antara segelintir orang terkaya dan mayoritas penduduk masih lebar. Tercatat bagaimana kekayaan empat orang terkaya setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Dalam angka lain Survey Credit Suisse, Januari 2017 menemukan bahwa 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.

World Bank dalam laporannya “Indonesia Rising Divide” 2018, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berlangsung satu dekade terakhir hanya menguntungkan 20 persen orang paling kaya di Indonesia. Adapun faktor yang mendorong terjadinya ketidak adilan ini adalah (1) ketimpangan kesempatan, (2) ketimpangan upah, (3) pemusatan kekayaan, 10 persen orang kaya memiliki 77 persen seluruh kekayaan negara, (4) guncangan (Tirto id 26 feb 2018, M Ikhsan Modjo[3] dalam Kompas,31 agustus 2019)[4]

Kacau atau mirisnya lagi, lembaga[5] yang seharusnya meretas ketimpangan demikian, dengan jungkir balik bak sirkus, malah berkolaborasi (kong kali kong) dengannya, sebab  kalangan kaya/ kelompok nan milyarder ini meraup 2/3 kekayaannya atas dasar bisnis kroni, dengan kedekatannya dengan pemerintah/kekuasaan (state).

Kalangan bisnis, saudagar, atau pedagang demikian, cincai-cincai/kong kali kong/sekongkol dengan pemerintah,kekuasaan, atau birokrasi, yang sebagai kelanjutan/konsekwensi logisnya akan meminggirkan fungsinya sebagai pelayan rakyat.

Rakyat hanya asesoris, penggembira, kalau bukan sekedar objek dalam relasi timpang tersebut. Nuansa yang tak perlu kita ulas sampai dahi berkerut/lebih jauh, sebab itulah suasananya. Suasana yang didominasi atau pemberhalaan kepada materi, uang, atau kapital. Bagi kalangan tertentu sering dikonotasikan dengan sebutan “Mammonisme” (uang menjadi ukuran segala-galanya). Menghamba kepada kapital, bukannya kepada kemanusiaan.

 Istilah ilmiah, politis, atau kerennya…”k a p i t a l i s m e[6], yang dalam perkembangannya berbuah “lmperialisme[7], kolonialisme”. Suatu paham/mazhab yang menjadi musuh dari apa yang kita bicarakan saat ini “M a r h a e n i s m e”. Untuk lebih jelasnya apa yang disebut dengan Marhaenisme itu akan diuraikan dibawah ini

A r t i

1.      Wikipedia : Marhaenisme adalah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Ideologi yang dikembangkan Bung Karno dari pemikiran Marxisme yang diterapkan sesuai natur dan kultur Indonesia. Soekarno mencetuskan Marhaenisme yakni untuk mengangkat harkat hidup Massa Marhaen (terminologi lain dari rakyat Indonesia), yang memiliki alat produksi namun (masih tertindas). Meski demikian, pengertian Marhaen juga ditujukan kepada seluruh golongan rakyat kecil yang dimaksud ialah petani dan buruh yang hidupnya selalu dalam cengkeraman orang-orang kaya dan penguasa/borjuis/kapitalis (Wikipedia)

2.      Basuki Tjahaja Purnama/Ahok: Paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil

3.      Kongres Partindo 1933:  Marhaenisme di definisikan (a) sosio nasionalisme dan sosio demokrasi[8], (b) yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain, (c) pakai marhaen, bukan proletar, sebab proletar sudah termaktub dalam marhaen, (d) adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan marhaen, (e) adalah cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang karenanya harus perjuangan revolusioner, (f) oleh karena itu Marhaen adalah cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap tiap kapitalisme dan imperialisme, (g) Marhaenis adalah tiap tiap orang bangsa Indonesia yang menyelamatkan marhaen

4.      Konferensi GMNI 1959 Kaliurang, Yogyakarta. Dalam konperensi ini Bung Karno mengatakan (a) Marhaen adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan marhaen, (b) adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya, (c) adalah asas dan cara perjuangan menuju hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme

Lebih jauh dengan kapitalisme

Bung Karno telah mengartikan Kapitalisme secara gamblang (catatan kaki/footnotes no 6 dan 7), namun untuk pendalaman lebih lanjut akan kita hubungkan dengan beberapa pakar/tokoh yang pendapatnya sudah banyak diakui. Pakar ini antara lain adalah Dawam Rahardjo, J Verkuyl.

Menurut Dawam, istilah kapitalisme mulai diperkenalkan di Eropa Barat pada abad XVIII dan XIX. Namun demikian pengertian istilah tersebut masih sangat kabur dan simpang siur karena dipakai di dalam berbagai versi. Kapitalisme dipakai untuk menyebut sebuah sistem pemikiran (ideologi Laissez Faire), sebuah sistem sosial, sistem ekonomi, dan sebuah tahapan sejarah yang dialami oleh suatu masyarakat. Istilah ini juga sering dikaitkan dengan konsep etika sehingga kapitalisme sering dikonotasikan sebagai sebuah hal yang jahat seperti yang dicerminkan oleh kondisi kaum buruh yang serba kekurangan di Eropa Barat pada abad XIX, kolonialisme, maupun imperialism yang dianggap sebagai dampak dari kapitalisme. Akhir-akhir ini sesuai dengan perkembangan zaman, pengertian kapitalisme juga mengalami perkembangan. Kini kapitalisme  kerap dipakai untuk menyebut sebuah sistem industri modern

Banyaknya definisi tentang kapitalisme tersebut disebabkan karena masing-masing akhli memberikan penekanan yang berbeda. Misalnya Warner Sombart melihat esensi sistem kapitalisme pada unsur kapital, sedangkan Braudel Frank, dan Wallerstein melihat esensinya pada unsur pasar. Namun kiranya pandangan Karl Marx lah yang lebih tepat, yang menganggap kapitalisme sebagai sebuah moda (cara) produksi yang berintikan konsep pemilikan produksi dan hubungan sosial yang dihasilkan dalam produksi sebagi locus esensi kapitalisme. Meskipun Marx bukan orang pertama yang menemukan istilah kapitalisme, tetapi istilah ini selalu diasosiasikan dengan Marx, karena dialah yang mampu menangkap fenomena kapitalisme sebagai sebuah gejala baru yang terjadi di Eropa Barat pada abad XIX yang ditandai dengan munculnya Revolusi Industri. Sebelum abad tersebut gejala semacam itu tidak pernah ditemukan dimanapun. Dengan demikian Marx melihat kapitalisme sebagai sebuah tahapan sejarah yang dialami oleh suatu masyarakat.

Karena begitu banyaknya definisi tentang kapitalisme, yang masing-masing mungkin juga mempunyai kebenaran, maka akan lebih mudah jika melihat pada ciri-ciri kapitalisme saja. Sebagaimana dikemukakan oleh Megnod Desai, sebagai mode produksi kapitalisme bercirikan:

1.      Produksi untuk dijual dipasar, bukan dikonsumsi sendiri

2.      Adanya pasar, sebagai tempat jual beli tenaga kerja dengan sistem upah dan kontrak kerja

3.      Penggunaan uang sebagai alat tukar. Hal ini kemudian menumbuhkan peranan yang besar kepada bank dan lembaga keuangan lainnya.

4.      Proses produksi atau proses kerja berada dalam kontrol para pemilik modal dan agen-agen manajerialnya.

5.      Pengambilan keputusan tentang keuangan berada di tangan pemilik modal, bukan ditangan para pekerja.

6.      Berlakunya sistem persaingan bebas diantara para pemilik kapital (Rahardjo D, 1987:VIII-XIX)

Untuk memahami lebih jauh/dinamis/seksama tentang kapitalisme demikian akan kita uraikan pendapat Dr J. Verkuyil (1956:145-153) dibawah ini.

Latar belakang, Perkembangan, dan Ekses Kapitalisme.

Pada abad pertengahan hidup sosial dan ekonomi di Eropa diatur oleh suatu suatu organisasi yang disebut gilde, yakni organisasi pertukangan atau rukun kerja.

Penghasilan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat di atur olehnya. Ditentukan pula barang-barang apa yang perlu bagi masyarakat. Jumlah pekerja-pekerja dalam suatu perusahaan ditentukan. Begitu pula kedudukan para pekerja itu. Ada bagian yang mendidik pekerja-pekerja baru, harga-harga ditetapkan, demikian pula gaji para pekerja.

            Model, metode, atau konsep yang dalam perkembangannya banyak mengalami penentangan, dan pada abad pertengahan sistem itu tak dapat dipertahankan lagi. Dalam sistem ini masyarakat tak dapat berkembang, lalu timbullah di Eropa gerakan penentangannya, yakni gerakan untuk memberikan kemerdekaan pada orang seorang (individu), termasuk/include/juga dilapangan ekonomi dan sosial.

            Khusus dilapangan ekonomi, beberapa tokoh, seperti, Hobbes, Locke, Mandeville memberi catatan atau pendapat yang lucu dan mengejek. Mereka mengejek kemerdekaan dalam bidang ekonomi tersebut. Locke misalnya mengutarakan that government is the best which governs least (pemerintah yang paling baik adalah pemerintah yang paling sedikit memerintah). Katanya/sambungnya pula, tiap orang harus mendapat equal opportunity, kesempatan yang sama. Rupanya para penentang tersebut tidak mengerti bahwa dalam praktek ini berarti the survival of the fittest, alias yang kuatlah yang hidup, yang lemah akan tenggelam.

            Para pembaharu ekonomi ini nyerocos bahwa tiap orang harus bebas menggunakan uangnya sesuka hatinya. Tiap orang/pengusaha bebas memperlakukan pekerja/buruhnya menurut kehendaknya sendiri. Buruh tidak diizinkan membuat perkumpulan/serikat kerja. Fungsi negara hanya untuk melindungi milik orang seorang. Negara yang dianggap terbaik ialah negara yang paling sedikit mencampuri kehidupan sosial dan ekonomi.

            Pendapat lain yang memperkuatnya dikemukakan oleh Leibniz. Menurut beliau bahwa barang siapa mencari untung bagi diri sendiri, ia juga mencari untung bagi masyarakatnya. Terdapat harmoni antara kepentingan diri sendiri dan kepentingan umum

            Kapitalisme/liberalism ini sangat berjaya, sangat dinamis dengan pemakaian mesin-mesin. Perkembangan mesin-mesin, pengangkutan, dan perluasan perhubungan antar negara-negara di dunia ini menyebabkan tampilnya perusahaan besar-besar yang modern dan mahal, serta perdagangan besar-besaran. Karena itu makin lenyaplah kesatuan tenaga pemilikan alat-alat produksi, dan sistem tukar menukar.

            Perusahaan-perusahan besar menelan alat-alat produksi yang kecil-kecil. Rakyat jelata (murba, marhaen) makin kehilangan hak-haknya, alat-alat produksi dikuasai oleh maskapai-maskapai (perusahaan-perusahaan) yang besar, concern-concern, dan para pemegang saham (andil)

Sebagai konsekwensinya muncullah lapisan keempat dalam masyarakat, kaum proletar, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan tertentu dalam perusahaan. Mereka itu hanya mempunyai proles, yaitu anak-anaknya.

Dengan Generasi Muda

            Uraian demikian masih dapat dilanjutkan sekian panjang lagi (hingga tak terbatas). Namun untuk pertemuan singkat ini dianggap sudah memadai, yakni sedikit banyak peserta telah memahami apa itu Marhaenisme (cat: anti kapitalisme-imperialisme-kolonialisme sebagaimana diajarkan Bung Karno).

Selanjutnya, sebagai sejarah, atau praksisnya, ada baiknya kita baca ulang bagaimana perlawanan terhadapnya sejak Indonesia merdeka hingga hari ini. Artinya bagaimana perlawanan terhadap kapitalisme di era:

·         Bung Karno/Orde Lama

·         Soeharto/Orde Baru, dan

·         Era Reformasi.

Pada era Bung Karno, perlawanan terhadap kapitalisme sangat dan tetap bergelora hingga ia dilengserkan. Dalam era ini, Bung Karno, konsisten terhadap ajaran-ajarannya, seperti:

Ø  Pancasila 1 juni 1945

Ø  Nation And Character Building

Ø  Kebijakan Manipol-USDEK[9],

Ø  Menolak modal asing → Go To Hell With Your Aid

Ø  Trisakti (berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan)

Sebaliknya pada era Soeharto, seluruh ajaran Bung Karno dibumi hanguskan (DeSukarnoisasi), dan membuka diri lebar-lebar kepada kapitalis Internasional via UU No 1 Tahun 1967 Tentang PMA → Open door policy. Tidak cukup disitu, dalam perkembangannya dijerumuskan lebih dalam dengan menerima dikte-dikte Konsensus Washington/Neolib (Stiglitz, 2007) akhir 70-an /awal 190-an.

Consensus yang ditelorkan Ronald Reagan dan Margareth Thatcher tahun 1979, yang memaksakan perekonomian harus seluruhnya diserahkan kepada pasar. Tidak ada lagi campur tangan atau intervensi negara (Keynesian) sebagaimana yang berlangsung sebelumnya. Sering juga disebut sebagai fundamentalisme pasar (market fundamentalism)[10]

Pamungkasnya adalah pada era reformasi, dimana ekonomi-politik kita sungguh-sungguh sudah super liberal, khususnya setelah Amademen UUD 1945 hingga 4 kali (UUD 2002)…..

Para mahasiswa/GmnI Siantar yang melakukan KTD hari ini, mungkin tidak memahami sejarah demikian (karena masih belia-belia). Namun, sebagaimana konsep Bung Karno, Jas Merah, jangan sekali kali meninggalkan sejarah, para generasi muda, khususnya yang ikut acara ini diharapkan dapat menghayati dan menguasainya, meski penuh dengan keterbatasan (teknis, maupun substantive/hakiki).

Sebab, sebagaimana pendapat Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono diatas (footnotes no 1), generasi millennial saat ini adalah generasi yang tak sabaran, tertabrak perubahan yang begitu cepat, sangat lentur, anti kemapanan, anti sistem (prosedur dan birokrasi), anti senioritas. singkatnya ada gap, jurang, bahkan perang antara generasi, yakni antara generasi senior dengan generasi millennial, dimana generasi millennial ini sudah tidak begitu tertarik dengan hal-hal yang ideologis, karena sudah terjerembab dengan pragmatis-hedonis-konsumtif.

Akan tetapi sebagai calon-calon Intelektual Nasionalis/Marhaenis dan pemimpin bangsa ke depan, tiada lain, tiada bukan, masalah ideologi[11] Marhaenisme ini harus dikuasai. Harus dipahami luar dalam (filosofis). Jangan setengah-setengah…. Jika setengah-setengah malah bisa jadi racun….minum satu sloki mabuk satu botol.

Dengan tidak mencampuri urusan internal GmnI, kedangkalan ideologi yang adik-adik alami saat ini, adalah akibat dari kaderisasi yang tidak professional. Dominan hanya secara administrative, yakni PPAB 2 hari, KTD 2 hari, KTM 2 hari, setelah itu minus kegiatan. Apa yang didapat dari metodologi seperti itu? Muaranya jelas, kasat mata, dan pasti, GmnI terbelah pasca Kongres Ambon. Semakin memprihatinkan, karena Menkumham memihak salah satu yang berkonflik……

Saya yakin haqul yakin, jika GmnI kuat ideologinya, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan itu. Dengan kata lain tidak akan ada yang ditarik-tarik kepentingan sempit (vested interest), seperti yang dilakukan senior-senior, sebab senior yang kita ikuti hanya satu, yakni Bung Karno. Bung Karno dengan ajaran-ajarannya…..Bung Karno dengan Marhaenismenya. Bukan si A, si B, si C dan seterusnya.

Sebagai catatan akhir dari pertemuan ini dapatlah ditarik beberapa kesimpulan:

·         Marhaenisme adalah paham yang menentang penindasan terhadap rakyat kecil.

·         Marhaenisme adalah socio-nasionalisme, socio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang maha Esa

·         Marhaenisme adalah paham yang menentang kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme

·         Jurang atau perang antar generasi sudah factual/antara millennial dengan yang tua

·         Tantangan Marhaenisme secara substantif belum berubah

·         Sistim dan elit yang menakhodai pemerintahan/Negara belum sebagaimana yang diharapkan. Baik secara Pancasila, UUD 1945, dan khususnya secara Marhaenisme

·         Perlu perubahan mendasar, keteladanan, dan……disinilah relevansinya Marhaenisme itu.                                                                       

 

R E F E R E N S I

Hutapea, Reinhard, 1999,Sukarno, Nasionalisme, Dan Globalisasi, PKNWK, Jakarta

Heryanto, Ariel, Kompas, 8 Agustus 2020, Pancasila, Jakarta

Modjo M Ikhsan, 31 Agust 2019, Ketimpangan di Era Digital, Kompas, Jakarta

Pramudito, 8 okt 2018, Kompas, Jakarta

Rahardjo MD, 1987, Esei-Esei Ekonomi Politik, LP3ES, Jakarta

Sarwono Sarlito Wirawan, 21 Maret 2016, Perang Antar Generasi, Kompas, Jakarta

Sukarno, 1989, Indonesia Menggugat, CV Haji Masagung, Jakarta

Soekarnoputra, Guntur, Kompas, 15 September 2020, Pancasila dan Sosialisme Indonesia

Stiglitz, J, 2007, Making Globalization Work, Mizan, Jakarta

Stiglitz, J, 2003, Globalisasi dan Kegagalan Lembaga-Lembaga Keuangan Internasional, PT. INA Publikatama, Jakarta.

Tanpa Penulis, 1960, VII Bahan Indoktrinasi (Tubapi)

Verkuyl J, 1957, Injil, Kapitalisme, dan Komunisme, BPK, Jakarta



[1] Sarlito Wirawan Sarwono menggambarkan generasi millennial ini sebagai berikut:…..maka watak generasi X dan Y tak sabaran. Mereka bukan hanya mendambakan perubahan, tetapi betul-betul ditabrak oleh perubahan yang sangat cepat, sehingga kalau tidak ikut berubah, mereka akan digilas oleh perubahan itu sendiri. Generasi X dan Y sangat lentur, cepat menyesuaikan diri, anti kemapanan, siapa yang mau maju cepat akan berlari kencang, tidak peduli dengan senioritas, kurang peduli pada sistem, prosedur, birokrasi, berganti ganti pekerjaan tidak masalah selama pendapatannya meningkat terus. Mereka tak lagi percaya pada satu sumber informasi karena bisa mengakses informasi dari 1001 sumber hanya dengan memencet tombol-tombol telefon seluler dengan jari jempol. Jaringan mereka terbangun melalui dunia maya, yang lebih impersonal dan jauh dari primordialisme dan feodalisme (Kompas, 21 maret 2016). Mereka hidup di era pasca ideologi, (Pramudito, dlm Kompas 8 Okt 2018)

[2] Katanya kemiskinan berkurang

[3] Menurut Iksan Modjo, ketimpangan terjadi sangat terkait dengan relasi industrial yang tak adil, akses yang tak merata ke peluang kerja, dan layanan publik.

[4] Diskursus tentang ketidak adilan ini sudah sering kita dengar. Bagaimana korporasi/perusahaan yang menguasai sekian ha tanah, sementara beribu-ribu rakyat tak memiliki tanah. Kisah-kisah ini masih berlangsung, dan belum ada tanda-tanda akan teretas.

[5] Pemerintah/birokrasi

[6] Kapitalisme menurut Bung Karno adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai lebih tidak jatuh didalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital, konsentrasi kapital, sentralisasi kapital dan industriel reserve-armee. Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung (memelaratkan kaum buruh) (Sukarno,1989, Indonesia Menggugat, hal 13-14)

[7] Imperalisme adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, - suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain (idem hal14).

[8] Setelah kemerdekaan pengertian ini ditambah dengan satu unsur lagi, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sering juga disebut dengan Trisila. Jika dipress lagi ia menjadi hanya satu kata, yakni gotong royong (eka ila). Menurut Bung Karno gotong royong ialah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.

[9] Untuk memahami Manipol USDEK ini baca penjelasan H. Ruslan Abdulgani dalam VII Bahan Indoktrinasi. Secara singkat dikatakan Manipol ini adalah; (1) keseluruhan isi pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959, (2) Manipol tidaklah dapat dipisahkan dari Dekrit 5 Juli 1959, (3) adalah penjelasan resmi daripada dekrit, (4) adalah sebuah dokumen bersejarah yang menjelaskan untuk pertama kalinya sejak Republik Indonesia berumur 14 tahun persolan-persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh, (5) adalah garis-garis besar Haluan negara; dan dengan demikian Negara dan Rakyat kita mempunyai pedoman resmi dalam menyelesaikan Revolusinya. Sedangkan USDEK adalah singkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

[10] Stiglitz J mengatakan, dalam consensus Washington ini ada tiga pilar, yakni, pengetatan fiscal, privatisasi, dan liberalisasi. Kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya dirancang untuk merespons masalah-masalah yang terjadi di Amerika Latin, bukan untuk disamaratakan di seluruh dunia. Pada waktu itu (1980-an), pemerintah dinegara-negara tersebut selalu mengalami deficit yang sangat besar. Kerugian yang dialami oleh perusahaan-perusaan milik negara  juga turut andil dalam dalam menimbulkan deficit. Terisolasi dari persaingan karena adanya Langkah-langkah proteksi, perusahaan-perusahaan milik negara telah memaksa konsumen untuk membayar dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan moneter yang longgar menyebabkan inflasi diluar kendali (2003: hal 75)

[11] Ideologi menurut Bung Karno adalah pandangan hidup atau realitas dari suatu masyarakat atau bangsa yang terjadi akibat dari cara mereka berproduksi dan melakukan aktifitas sehari-hari (Guntur Soekarnoputra, Pancasila dan Sosialisme Indonesia, Kompas, 15 September 2020. Bandingkan dengan pendapat Ariel Heryanto dalam Kompas, 8 Agustus 2020, yang mengatakan; ideologi itu adalah kumpulan ide, perasaan, selera, angan, dan harapan berskala besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar