BK PHA III, POLITIK HUKUM AGRARIA
KULIAH III, SENIN, 19 OKTOBER 2020, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH; REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Dalam kuliah kedua telah diuraikan;
1. Pengertian Hukum Agraria dan Hukum Tanah
2. Hubungan Politik Agraria Nasional dan UUD 1945 dalam kebijakan dengan UUD 1945
3. Ruang lingkup Pengaturan UUPA
4. Disarankan agar segera membaca UUPA, Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960
Dalam kuliah ketiga ini akan diuraikan Hukum Agraria sebelum UUPA dengan sub-sub sebagai berikut;
· Hukum Tanah yang dualistik dan pluralistik
· Hak Hak Penguasaan tanah yang bersumber pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat
· Hukum Tanah Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda
CAT: Bahan untuk kuliah ini diambil dari “I Ketut Sudiarta SH MH dkk, 2017, Hukum Agraria, FH Unud, Denpasar”.
Jawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di akhir tulisan ini via WA atau e mail saya reinhardhutapea59@gmail.com
Ayo semangat, rajin, dan rakus membaca, diskusi, dan menulis…..
⌂
HUKUM AGRARIA SEBELUM BERLAKUNYA UUPA
1 Hukum Tanah yang Dualistik dan Pluralistik
Sebagaimana halnya dalam hukum perdata yang
bersumber pada KUH Perdata, hukum agraria lama
mempunyai sifat dualistis sebagai akibat politik hukum dari
pemerintah kolonial Belanda dahulu. Dualisme dalam hukum
agraria artinya disamping berlakunya hukum agraria adat
yang bersumber pada hukum adat, saat itu juga berlaku
hukum agraria barat yang bersumber pada hukum perdata
barat.
Hak-hak atas tanah yang diatur menurut hukum adat
disebut dengan Tanah Adat atau Tanah Indonesia.
Hukum agraria adat :
Sumber pada hukum adat sifatnya tidak tertulis
jiwanya gotong royong dan kekeluargaan sesuai dengan sifat
hukum adat.
Meskipun hukum agraria adat tersebut pokok-pokok
dan asas-asasnya sama, tetapi menunjukkan juga adanya
perbedaan-perbedaan berdasarkan daerah atau masyarakat
tempat berlakunya hukum agraria adat itu. Oleh sebab itu
nampak bahwa hukum agraria adat itu isinya beraneka
ragam sehingga disebut pluralistis.
Kelemahannya disamping formulasinya tidak tertulis,
mempunyai kelemahan disamping tidak tegas juga tidak
memberikan jaminan kepastian hukum.
12
Hukum agraria barat :
Bersumber pada hukum perdata barat khususnya yang
diatur dalam KUH Perdata yang sebagian besar dimuat pada
buku II, III dan IV.
Sifatnya tertulis oleh sebab itu nampak formulasinya
tegas dan mudah untuk dipaksakan berlakunya sebagai
hukum positip.
Jiwanya liberal individualistis, berdasarkan asas
konkordansi dalam penyusunan perundang-undangan Hindia
belanda dahulu, akibatnya KUH Perdata Indonesia juga
konkordan dengan BW Negeri Belanda yang berjiwa liberal
individualistis.
Konsekuensi dari sifat dualistis :
Maka hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa
hukum yang terjadi dikalangan orang-orang dari golongan
Indonesia (asli) akan diselesaikan menurut hukum adat.
Sedangkan hubungan-hubungan dan peristiwa hukum
yang yang terjadi di kalangan orang-orang dari golongan
Eropa dan yang dipersamakan akan diselesaikan menurut
hukum barat.
Apabila terjadi hubungan-hubungan dan peristiwaperistiwa
hukum yang terjadi antara orang-orang dari
golongan Indonesia asli dengan orang-orang dari golongan
Eropa. Untuk mengatasi persoalan hukum seperti ini ada yang
disebut dengan Hukum Antar Golongan.
Berlaku asas “tanah itu mempunyai status hukum
tersendiri yang terlepas dan tidak dipengaruhi oleh status
atau hukum dari subyek yang menghendaki” . Oleh sebab itu
tanah adat (Indonesia) tetap tunduk pada hukum agraria
13
adat, meskipun dipunyai oleh golongan eropah, demikian
pula sebaliknya.
Asas hukum agraria antar golongan seperti tersebut
diatas, tidak merupakan ketentuan hukum tertulis, tetapi
diperkuat/ dipertegas dalam berbagai putusan pengadilan.
Tanah pada waktu ini mempunyai pasaran bebas,
artinya baik orang-orang dari golongan eropa dan yang
dipersamakan dapat mempunyai tanah adat. Demikian pula
sebaliknya orang-orang dari golongan bumi putera dapat
mempunyai tanah barat / eropah. Dalam perkembangan
selanjutnya bagi orang-orang bukan Indonesia asli untuk
memperoleh tanah-tanah adat (Indonesia) diadakan
pembatasan, yaitu dengan dikeluarkannya peraturan
Larangan Pengasingan Tanah (Grond vervreemdings
verbod) yang diundangkan dalam S.1875 No 179.
Maksud dikeluarkannya peraturan larangan
Pengasingan tanah :
1. Untuk melindungi bangsa Indonesia yang kedudukanya
lemah dalam
2. bidang ekonomi apabila dibandingkan dengan bukan
bangsa Indonesia asli.
3. Untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri yaitu agar
kultur kopi Gubermen dapat terlindungi, sebab
pemerintah menganggap pengusaha-pengusaha Eropa
sangat membahayakan.
Dalam larangan pengasingan tanah (S 1875 No 179) ini
ditetapkan bahwa hak milik atas tanah kepunyaan bangsa
Indonesia asli tidak dapat diasingkan oleh bangsa Indonesia
kepada bukan bangsa Indonesia, baik langsung maupun
tidak langsung.
14
Pengasingan secara langsung misalnya dengan jualbeli,
pengibahan, pewarisan dengan jalan legal atau dengan
surat wasiat. Sedangkan pengasingan secara tidak langsung
terjadi dengan penyelundupan yaitu sistem kedok atau
stroom. Akan tetapi tanah milik bangsa Indonesia dapat
dialihkan kepada bukan bangsa Indonesia dengan beberapa
cara, yaitu:
1. dengan mengadakan perkawinan campuran
2. dengan pewarisan ab intestato
3. karena perubahan status kewarganegaraannya dengan
jalan naturalisasi
Dalam mengatasi persoalan-persoalan hukum agraria
antar golongan, tanah merupakan titik pertalian sekunder,
yaitu faktor-faktor yang menentukan hukum apa yang harus
diperlakukan. Ada dua pandangan yang membahas tanah
sebagai titik pertalian sekunder.
1. Pertama, mengatakan bahwa tanah selalu merupakan
titik pertalian yang sekunder, artinya setiap pemindahan
hak atas tanah harus diperlakukan menurut hukum dari
tanahnya, serta tidak memperdulikan siapa yang
mengalihkan tanah tersebut
Contoh : Tanah adat dapat digadaikan menurut hukum
adat, tetapi tanah eigendom tidak dapat digadaikan
menurut hukum adat. Tanah eigendom dihypotikan,
sebab tanah adat tunduk pada hukum adat, sedangkan
tanah eigendom tunduk pada hukum barat.
2. Pendapat yang kedua dari Kollewijn, mengatakan bahwa
tidak selalu tanah merupakan titik pertalian sekunder
(faktor yang menentukan hukum apa yang harus
diperlakukan) karena menurut hukum agraria antar
15
golongan, banyak hal-hal yang dapat menjadi titik
pertalian sekunder misalnya:
a. kehendak pihak-pihak yang bersangkutan;
b. suasana setempat
c. status orang yang bersangkutan
Contoh: Tanah adat (Indonesia) dengan hak milik
disewakan oleh orang Indonesia asli kepada orang bukan
indonesia asli. dapat juga jawabannya seperti pendapat
pada contoh pertama, tetapi apabila pihak-pihak yang
bersangkutan dalam sewa-menyewa tanah itu
menghendaki dilakukan menurut hukum barat, dapat
juga dilaksanakan. Dalam hal ini faktor tanah
dikesampingkan, karena “kehendak yang bersangkutan”
ini merupakan titik pertalian sekunder.
Dari uraian diatas, menjadi jelas bahwa dualism dalam
hukum agrarian mengandung banyak sekali masalahmasalah
yang sulit untuk memecahkannya, meskipun hukum
agraria antar golongan akhirnya mampu untuk mengatasinya.
2 Hak-Hak penguasan tanah yang bersumber pada Hukum
Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat
Hukum perdata Barat demikian juga hukum tanahnya
bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi
(individualistis /liberalistis), sehingga pangkal dan pusat
pengaturan terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu
pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, di samping
domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah
oleh Negara.
Hukum Adat demikian juga hukum adat tanahnya
sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari
16
pemungutan kepentingan masyarakat (komonalitas) yang
berakibat senantiasa mempertimbangkan antara kepentingan
umum dan kepentingan perorangan. Dalam hukum tanah
adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum
atas tanah, merupakan pusat pengaturan. Hak perorangan
warga masyarakat adat, memperoleh hak milik garapannya,
setelah memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga
tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara
efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif
dan dapat turun temurun. Akan tetapi apabila warga tersebut
menghentikan kegiatan menggarapnya, maka tanah itu
kambali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan
hukumnya dan hak miliknya melebur.
Jadi dengan demikian ada landasan filsafat yang
berlainan antara hukum perdata barat dengan :
1. Hak-hak atas tanah yang terpenting menurut hukum
perdata barat.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang
kedudukan tanah-tanah sebelum berlakunya UUPA, perlu
diketahui terlebih dahulu macam-macam hak atas tanah
pada zaman colonial, yang dikenal dengan hak-hak Barat
diatur dalam Burgerlijk Wetboek, diantaranya hak
eigendom, hak postal, hak erfpacht dan sebagainya.
a. Hak Eigendom.
Hak eigendom adalah hak kebendaan yang
paling luas. Pasal 570 B.W. menerangkan,bahwa
eigendom adalah hak untuk dengan bebas
mempergunakan (menikmati) suatu benda sepenuhpenuhnya
dan untuk menguasainya seluas-luasnya,
asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau
17
peraturan-peraturan umum yang ditetapkan oleh
instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya,
serta tidak mengganggu hak-hak orang lain, semua itu
kecuali pencabutan eigendom (onteigening) untuk
kepentingan umum dengan pembayaran yang layak
menurut peraturan-peraturan umum.
Dalam pasal ini ditetapkan dengan tegas, bahwa
eigendom itu adalah suatu hak kebendaan (zakelijk
recht), artinya orang yang mempunyai eigendom itu
mempunyai wewenang untuk :
1) Menggunakan atau menikmati benda itu dengan
batas dan sepenuh-penuhnya;
2) Mengasai benda itu dengan seluas-luasnya.
3) Onteigening (dicabut) harus untuk kepentingan
umum dengan ganti kerugian yang layak dan
menurut peraturan-peraturan hukum.
b. Hak Erfpacht.
Dalam Pasal 720 BW Hak Erfpacht adalah hak
kebendaan untuk menikmati sepenuhnya kegunaan
sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban
untuk membayar setiap tahun sejumlah uang atau
hasil bumi kepada pemilik tanah sebagai pengakuan
atas hak eigendom dari pemilik itu.
c. Hak Opstal.
Menurut pasal 711 BW hak postal adalah suatu
hak kebendaan (zakeijk recht) untuk mempunyai
rumah-rumah, bangunan-bangunan dan tanaman
diatas tanah milik orang lain.
18
2. Hak-hak tanah yang terpenting menurut hukum Adat.
Sedangkan hukum adat mengenal peristilahan
a. Hak persekutuan atas tanah :
1) Hak ulayat;
2) Hak dari kelompok kekerabatan atau keluarga
luas.
b. Hak perorangan atas tanah :
1) Hak milik, hak yasan (inland bezetrecht),
2) Hak wewenang pilih, hak kima-cek, hak
mendahulu (voorkeursrecht),
3) Hak menikmati hasil (genotsrecht),
4) Hak pakai (gebruiksrecht), dan hak menggarap/
mengolah (ontginningsrecht),
5) Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijtrecht),
6) Hak wewenang beli (naastingsrecht).
3. Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda
1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pada zaman VOC (1602-1799) yang berkaitan
dengan politik pertanahan, telah dikenal memberlakukan
peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan
yang sangat menindas rakyat miskin.
a. “Contingenten” yaitu berupa pajak atas hasil pertanian
yang harus diserahkan kepada penguasa kolonial.
b. Peraturan “Verplichte Leverantieen” yaitu raja wajib
menyerahkan seluruh hasil pertanian dengan
pembayaran yang harganya sudah ditentukan secara
sepihak.
Pada tanggal 31 Desember 1979 VOC membubarkan
diri, maka pada tanggal 1 januari 1800 seluruh tanah
19
jajahan menjadi bagian dari wilayah Negeri Belanda
dengan status sebagai negara jajahan Hindia Belanda.
Gubernur pertama yang memerintah Hindia belanda
adalah Herman Willem Daendels (1808 – 1811). Politik
yang dijalankan berkaitan dengan tanah adalah menjual
tanah-tanah kepada pemilik modal besar terutama kepada
Cina, Arab maupun kepada bangsa Belanda. Tanah-tanah
yang dijual ini disebut dengan Tanah partikelir.
Daendels digantikan oleh Jan Willmen Janssens,
tidak beberpa lama pemerintah kolonial Belanda jatuh
ketangan Inggris, Janssens diganti oleh Stamford Raffles
(1811-1816).
Raffles dalam bidang pertanahan mewujudkan
pemikiran tentang fiscal (pajak) yang dikenal dengan
“landrent “ (pajak tanah). Landrent tersebut tidk
dibebankan langsung kepada para pemilik tanah, tetapi
ditugaskan kepada para Kepala Desa.
Pada tahun 1816 Pemerintah Inggris menyerahkan
kekuasaannya kembali kepada Pemerintah Belanda,
dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Pada tahun
1830 diadakan sistem tanam paksa (cultur stelsel).
Pada tahun 1870 pemerintah kolonial Belanda
mengesahkan undang-undang agraria yang disebut
dengan “Agrarische Wet”. Stb 1870 No 55 Undang-undang
yang dibuat di negeri Belanda ini tujuannya adalah untuk
memberi kemungkinan dan jaminan kepada modal besar
asing agar dapat berkembang di Indonesia.
a. Dasar dari hukum agraria lama adalah agrarische wet
yang dijadikan satu dalam pasal 51 IS (Indische Staats
20
Regeling) Adapun bunyi ketentuan Pasal 51 IS adalah
sebagai berikut:
1) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah
2) Didalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah
yang tidak luas, yang diperuntukan perluasan kota
dan desa serta mendirikan bangunan-bangunan
kerajinan/ industri.
3) Gubernur jenderal dapat menyewakan tanah,
menurut ketentuan-ketantuan yang ditetapkan
dengan ordonansi. Adapun tanah-tanah yang telah
dibuka oleh orang-orang Indonesia asli atau yang
dipunyai oleh desa sebagai tempat pengembalaan
umum atau atas dasar lainnya tidak boleh
dipersewakan.
4) Menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan
dengan ordonansi diberikan tanah dengan hak
erfpacht selama waktu tidak boleh lebih dari 75
tahun.
5) Gubernur jenderal menjaga jangan sampai ada
pemberian tanah yang melanggar hak-hak
penduduk Indonesia asli.
6) Gubernur jenderal tidak boleh mengambil tanahtanah
yang telah dibuka oleh orang-orang
Indonesia asli untuk keperluan mereka sendiri
atau tanah-tanah kepunyaan desa sebagai tempat
pengembalaan umum atau atas dasar lainnya.
Kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan
pasal 133 dan untuk keperluan pengusahaan yang
diselenggarakan atas perintah atasan, dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.
21
7) Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang
Indonesia asli dengan hak milik, atas permintaan
pemiliknya yang sah diberikan kepadanya hak
eigendom dengan pembatasan-pembatasan
seperlunya yang ditetapkan dengan ordonansi.
8) Menyewakan tanah atau menyerahkan tanah
untuk dipakai oleh orang-orang Indonesia asli
kepada bukan orang-orang indonesia asli
dilakukan menurut peraturan-peraturan yang
ditetapkan dengan ordonansi.
Ketentuan-ketentuan dari Agrarische Wet
pelaksanaannya diatur lebih lanjut didalam berbagai
peraturan dan keputusan. Salah satu diantaranya
yang penting ialah yang diatur dalam Koninkjlk
Besluit yang kemudian dikenal dengan nama Agrarisch
Besluit dan diundangkan dalam S 1870 No 118. Pasal
1 dari Agrarisch Besluit ini menentukan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya
ketentuan ke2 dan ke 3 dari Undang-undang tersebut
(ayat 5 dan 6 Pasal 51 IS) maka tetap dipegang teguh
dasar hukum yang menyatakan bahwa: semua tanah
yang tidak ada buktinya hak eigendom adalah
kepunyaan negara”.
b. Asas domein (domein beginsel) atau pernyataan
domein berdasarkan ketentuan pasal 20 S 1870 No
118 hanya diberlakukan di Jawa dan Madura saja.
Tetapi dengan S 1875 No 119a, pernyataan domein itu
diberlakukan juga untuk daerah luar Jawa dan
Madura. Pernyataan domein yang dimuat dalam S
1870 No 118 dan S 1875 No 119a itu bersifat umum
22
dan oleh karena itu disebut juga pernyataan domein
umum.
c. Disamping itu ada juga pernyatan domein khusus
yang pada pokoknya berbunyi: “semua tanah liar
(kosong) termasuk tanah negara, kecuali tanahtanah
yang dihaki rakyat berdasarkan atas haknya
untuk membuka tanah” Pernyataan domein khusus
ini berlaku bagi daerah Sumatera, Manado, dan
Kalimantan Selatan dan Timur, dimuat dalam Stb
1874 No 94f; Stb 1877 No 55 dan Stb 1888 No 58.
d. Kenyataan dalam praktek domein verklaring ini
mempunyai beberapa fungsi antara lain :
1) Dipakai sebagai landasan hukum bagi pemerintah
kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan
hak-hak barat, yaitu hak-hak yang diatur didalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti
Misalnya: Hak Eigendom, hak Erfpacht, hak
Opstaal.
2) Untuk keperluan pembuktian, yaitu apabila negara
berperkara, maka negara tidak perlu membuktikan
hak eigendomnya atas tanah yang diperkarakan,
tetapi pihak lainlah yang wajib untuk
membuktikan haknya.
C Van Vollenhoven mengkritik praktek-praktek
domeinverklaring ini, sebab domein verklaring ini sangat
kejam dan sangat merugikan rakyat. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa tafsiran domein verklaring itu ada
tiga, yaitu :
a. Semua tanah yang bukan tanah eigendom menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
23
b. Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula
tanah agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik
rakyat yang telah bebas dari kungkungan hak ulayat.
c. Semua tanah yang bukan tanah eigendom, bukan pula
tanah agrarisch eigendom dan bukan pula tanah milik
rakyat baik yang sudah maupun yang belum bebas
dari kungkungan hak ulayat.
Rumusan ini tidak dipergunkan oleh pemerintah
kolonial Belanda, pemerintah kolonial Belanda tetap
mempergunakan rumusannya sendiri, yaitu barang siapa
tidak dapat membuktikan hak eigendom atau hak
agrarische eigendomnya atas sebidang tanah, maka
tanah itu adalah domein negara.
2. Periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Dualisme hukum agraria ternyata masih
berlangsung meskipun negara Republik Indonesia sudah
merdeka. Ketentuan-ketentuan agraria lama terpaksa
masih diberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal II AP
UUD 1945.
Sejak berlakunya UUD 1945 politik pemerintah
kolonial Belanda ditinggalkan, diganti dengan politik
agraria yang baru seperti yang telah digariskan didalam
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat”.
PERTANYAAN
1. Jelaskan secara singkat kelemahan hukum adat dengan hukum Barat
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan a) hak eigendom, b) hak postal, c) hak erfpacht.
3. Apa yang dimaksud dengan a) Contingenten, b) Verplichte leverantieen
4. Jelaskan kebijakan Daendels tentang tanah dan pertanahan.
5. Jelaskan kebijakan Raffles tentang tana dan pertanahan.
6. Apa yang dimaksud dengan tanah negara. Uraikan secara singkat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar