Senin, 19 Oktober 2020

BS P II, PANCASILA

 

 


BS P II, PANCASILA

KULIAH II, 19 OKTOBER 2020, JAM 17.00 – 19.00

JURUSAN PEMERINTAHAN/KOMUNIKASI, FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Pengantar

Dalam kuliah I minggu lalu (12 oktober 2020) telah saya deskripsikan 3 tulisan tentang Pancasila, yakni a) Kemanusiaan Sebagai Inti Pancasila, b) Nilai Nilai Pancasila Semakin Ditinggalkan?, c) Menarik Pancasila Dari Langit Ke Bumi. Tiga tulisan yang substansinya sama, yakni mendeskripsikan sejarah lahirnya Pancasila, prakteknya selama ini, timpangnya antara teori dan praksisnya, dan kecenderungan (hanya) retorika (Azyumardi Azra)

Mungkin mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini pun sudah maklum hal demikian, bahkan mungkin, juga sudah jenuh asal dengar “Pancasila”.  Bete kata orang Jakarta/Betawi. Diomongi terus-terusan, tapi tidak diimplementasikan

Suatu suasana yang dapat ditoleransi, namun tidak bisa diteruskan. Tidak mungkin suasana demikian ditradisikan.

Dalam  mata kuliah ini mari kita kembangkan, tidak sekedar untuk melaksanakan tujuan pengajarannya (akan di tulis dibawah), namun juga untuk kepentingan pembahasan ilmiah lebih lanjut.

Pada kuliah kedua ini, kita akan membahas Argumentasi mengapa dibuat mata kuliah ini

Cat; Jika ada hal yang tidak dipahami dalam kuliah kedua ini, silakan tulis di WA grop

REVITALISASI PANCASILA

Argumentasi mengapa mata kuliah ini diwajibkan bagi seluruh mahasiswa adalah, karena nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu semakin jauh dari harapan. Dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak ditinggalkan. Masing-masing orang, kecenderungannya lebih dominan memikirkan dirinya sendiri (semakin individualistik). Tidak begitu peduli dengan sesamanya. Banyak yang munafik, enggan bertanggung jawab, feodal, wataknya lemah (Mohtar Lubis, 1977). Dalam kehidupan bernegara ditengarai kecintaanya pada negerinya (nasionalisme) semakin memudar, ekonomi-politiknya semakin liberal-kapitalistik.

Tidak kurang pentingnya adalah praktek/pelaksanan pemerintahan yang penuh dengan KKN, birokrasi yang tak melayani, partai politik yang disfungsional, hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atass, dan sebagainya adalah fakta bahwa nilai-nilai Pancasila itu masih jauh, bahkan semakin ditinggalkan.

Oleh karena itu perlu di revitalisasi. Dikembalikan kepada marwah, khittah, atau jati dirinya, yakni yang sesuai dengan kelahirannya 1 juni 1945, dan pensahannya tanggal 18 Agustus 1945.

Pionir pertama dalam penrevitalisasian (hal) ini (menurut penulis) adalah MPR, ketika dipimpin Taufik Kiemas. Ia mencanangkan 4 pilar berbangsa-bernegara , yakni “Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI)”

Secara resmi di imperatifkan oleh UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi. Dalam UU ini diwajibkan setiap mahasiswa mengambil mata kuliah ini (Pancasila), selain Kewarganegaraan, Agama, dan Bahasa Indonesia.

Adapun dasar-dasarnya adalah:

1.      Dasar Filosofis     Indonesia tidak mempraktekkan ideologi lain selain Pancasila. Indonesia tidak Liberal-Kapitalistik-Individualistik, Sosialis – Komunis – sama rata sama rasa, Khilafah dan sebagainya.

2.      Dasar Sosiologis    Indonesia sangat pluralistik, terdiri dari berbagai etnis, agama, golongan, ras dan sebagainya, tapi Bhinneka Tunggal Ika.

3.      Dasar Juridis           tujuan negara/pemerintah seperti yang termaktub dalam Alinea ke empat Pembukaan UUD 1945.

Adapun sebagai tujuan mata kuliah ini adalah:

A.      Memperkuat Pancasila sebagai dasar falsafah negara dan ideologi bangsa melalui revitalisasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai norma dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B.      Memberikan pemahaman dan penghayatan atas jiwa dan nilai-nilai Pancasila kepada mahasiswa sebagai warga negara republic Indonesia, serta membimbing untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

C.      Mempersiapkan mahasswa agar mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara melalui sistim pemikiran yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

D.     Membentuk sikap mental mahasiswa yang mampu mengapresiasi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, kecintaan pada tanah air dan kesatuan bangsa, serta penguatan masyarakat madani yang demokratis, berkeadilan, dan bermartabat berlandaskan Pancasila, untuk mampu berinteraksi dengan ddinamika internal dan eksternal masyarakat, bangsa, dan negara.

Untuk menganalisis bagaimana perjalanan revitalisasi ini, setelah sekian tahun mata kuliah Pancasila diajarakan, apakah semakin v i t a l  atau…… bacalah tulisan Prof Dr Yasraf Amir Piliang dibawah ini

Darurat Pancasila

Yasraf Amir Piliang

Pemikir Sosial dan Kebudayaan ITB

Kompas, 7 September 2020.

Hari-hari terakhir ini, pikiran dan energi anak bangsa terkuras habis dalam menghadapi aneka persoalan bangsa.

Belum pulih energi dalam perang melawan Covid-19 yang ujungnya masih gelap, kegaduhan terkait ideologi Pancasila kini kian menguras energi anak bangsa yang sudah menipis. Pancasila sebagai ideologi negara kembali menjadi isu panas karena upaya lembaga tertentu untuk menafsir ulang Pancasila berujung silang pendapat, pertentangan, dan kegaduhan. Disinformasi dan miss komunikasi abad media ssosial-digital ikut memperburuk keadaan. Sementara Gerakan masyarakat sipil menentang tafsir Pancasila sudah telanjur mengeras.

Dalam seminar Forum Guru Besar ITB pada 28 Agustus 2020 tentang Pancasila dan masalah bangsa, dengan pembicara Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Prof Jimly Assidiqie, dan saya sendiri, ada kesepakan Pancasila tengah terancam eksistensinya, bahkan sejak era reformasi, Amandemen UUD 45 tahun 2002 – sebagai amanah reformasi – yang tak di kawal baik dan tanpa kajian mendalam – justru jadi akar keterbelahan dan kegaduhan bangsa. Kehidupan social-politik – yang dilandasi UUD 45 yang sudah cacat itu – dari hari ke hari kian keras, beringas, sangar, bengis, vulgar, criminal, dan korup, jauh dari nilai Pancasila.

Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan, dan keadilan sebagai warisan Pancasila kini secara sistematis dilucuti dari system negara-bangsa, diganti nilai-nilai materialism anti Tuhan, keserakahan, ketidak pedulian, individualism, dan egoism. Ironisnya, semua nilai itu membentuk watak anak bangsa, minus jiwa kritis. Sungguh, begitu banyak komponen bangsa yang mengambil keuntungan ekonomi, social, dan politik dan menikmati “zona nyaman” dalam model kehidupan aPancasila itu. Gelimang material dan kepuasan Hasrat berkuasa telah mengancam eksistensi Pancsila ke depan sebagai ideologi negara – inilah “darurat Pancasila”

Unisitas dalam pluralitas

Kegaduhan demi kegaduhan yang menerpa bangsa ini dari hari ke hari kian memekatkan perseteruan, permusuhan, dan konflik diantara naka-anak bangsa. Ia mendorong pada perpecahan, keterbelahan, dan disintegrasi bangsa. Bila tidak ada upaya sistematis meredam konflik dan menghalangi keterbelahan, tak saja persatuan dan kesatuan bangsa yang terancam, tetapi juga eksistensi bangsa Indonesia sendiri. Pemikirandan Gerakan unuk merajut ulang kebersamaan, persaudaraan, persatuan, dan kesatuan bangsa adala tugas  sangat penting ke depan. Persatuan dan kesatuan adalah warisan luhur Pancasila yang tak saja harus di rawat, tetapi juga direvitalisasi.

Para founding fathers telah mewariskan konsep “persatuan” dan “kesatuan” sebagai sebuah paket konseptual tak terpisahkan. Konsep “persatuan” menunjuk “kehadiran Bersama”  bebagai kelompok suku, ras, budaya, adat-istiadat, dan keyakinan yang berbeda-beda dan plural, tetapi diwadahi satu wadah kebangsaan yang satu. Di pihak lain, konsep “kesauan” menunjuk pada realitas yang dihasilkan dari persatuan, yaitu sebuah bangsa yang satu, bersifat tunggal, utuh, dan terintegrasi. Bila persatuan menunjuk “wadah”, kesatuan menunjuk “isi wadah”, Semboyan Bhinneka Tunggal Ika merepresentasikan persatuan dan kesatuan secara terintegrasi.

Terkait persatuan dan kesatuan, ada du acara menghimpun unsur-unsur beragam dengan dua sifat berbeda. Pertama “kemen-satuan” atau unitas (unity), yaitu prinsip menghimpun untuk menghasilkan sisntesis tunggal dari yang beragam, apakah berupa esensi, prinsip, atau identitas. Kedua, “kemenyatuan” atau unisitas (unicity); menghimpun dalam satu wadah atau bingkai, tetapi membiarkan yang berbeda beda hadir dalam identitasnya masing-masing, tanpa perlu disatukan oleh sebuah esensi, prinsip, atau sifat tunggal. Unsur-unsur berbeda membentuk unisitas, tanpa perlu identitas tunggal (Nancy 2000:185), Bhinneka Tunggal Ika kombinasi cerdas antara konsep unitas dan unisitas.

Bila kita berbicara tentang bangsa sebagai “wadah”, kita berbicara tentang unitas, yaitu kondisi ke-satuan bangsa yang ditunjukkan melalui symbol-simbol kesatuan: lambang, bendera, dan symbol-simbol lain. Bila kita berbicara tentang bangsa sebagai “isi wadah”, kita berbicara tentang unisitas, yaitu sebuah himpunan unsur-unsur yang beraneka ragam, yang tak dapat diekspresikan melalui konsep tunggal apa pun. Maka, Ketika kita berbicara tentang identitas nasional, kita menunjuk pada “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Identitas nasional tak diungkapkan dalam modalitas tunggal, tetapi modalitas-modalitas beragam. Keragaman modalitas ini sendiri yang menjadi identitas – inilah unisitas (Deleuze, 1994:36)

Unisitas menuntut penghargaan akan pluralitas suku, ras, agama, dan budaya (Bhinneka) dalam semangat inklusivitas, sebagai jaminan terjaganya persatuan dan kesaatuan bangsa (Tunggal Ika). Ironisnya, penghargaan akan pluralitas itu yang secara massif tergerus dari arsitektur kehidupan berbangsa, yang dicatut oleh semangat permusuhan dan jiwa eksklusivitas, Amandemen UUD 4 tahun 2002 – sebagai manifestasi legal reformasi  yang diharpkan menjadi tumpuan dalam menegakkan arsitektur bangsa di atas fondasi Pancasila, nyatanya menjadi prima causa perpecahan dan kegaduhan anak bangsa, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Amandemen kelima

Dalam UUD 45 hasil amandemen 2002 setidaknya ada tiga ayat di satu pasal (Pasal 6A, Ayat 1-3) yang jadi sumber penggerusan nilai-nilai Pancasila. Ayat 1 yang mengatur pemilihan presiden dan wakil secara langsung leh rakyat – secara vulgar mengingkari asas permusyawaratan/perwakilan, sebagai amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 45. Ayat 2 yang mengatur kewenangan parpol dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil, di satu pihak telah mengebiri fungsi dan peran MPR, di pihak lain menggelembungkan fungsi dan peran partai dalam menentukan nasib negara-bangsa. Sementara Ayat 3 yang mengatur tentang presidential threshold telahmenjadi pintu gerbang bagi merajalelanya kekuasaan oligarkhi.

Ketiga Ayat itu pula yang menanggung “dosa” atas tumbuh suburnya nilai-nilai “individualisme” dalam budaya politik, yang seiring waktu mencetak perilaku dan gerak gerik vulgar actor-aktor politik. Dunia politik kini akrab denganistilah-istilah yang mengebiri jiwa permusyawaratan; pertarungan, mesin politik, tim sukses, elektabilitas, polling, pencitraan, kawan/lawan, menang/kalah. Semua itu melucuti habis istilah-istilah yang bertumpu pada nilai inti Pancasila, yaitu “komunalitas”, ketuhanan, persatuan, kekeluargaan, musyawarah, muktamar, persaudaraan, nilai moral benar/salah. Kini, ang dirayakan adalah kemenangan, biar dengan cara salah, yang melakukan cara benar justru sering kalah – inilah darurat Pancasila.

Selain itu dalam perjalanan negara-bangsa , juga ada lima komponen bangsa yang berperan penting dalam lahirnya negara – bangsa, tetapi tak diberi fungsi dan peran memadai dalam kehidupan bernegara: kaum agamawan; cendekiawan; TNI dan balatentara cadangan; raja, sultan dan pemangku adat; dan kaum professional. Para raja dan sultan – yang telah berkorban menyerahkan tanah dan wilayahnya untuk membangun negara – bangsa – hingga kini tak diberi fungsi dan peran significan dalam pembangunan negara – bangsa.

Begitu juga kaum cendekiawan,yang termarjinalkan dan suarana tak pernah di dengar, terpasung kecenderungan “anti-intelektualisme” dalam kehidupan bernegara. Merawat arsitektur bangsa ke depan – yang terancam terkoyak dalam keterbelahan lebih dalam – tak dapat melalui perbaikan struktur permukaan karena yang rusak adalah fundasi ideologisnya. Pemolesan tata kehidupan berbangsa dan bernegara secara parsial pada tingkat relasi social-politik keseharian tak akan memperbaiki kerusakan arsitektur negara-bangsa bila keusakan fundasi tak diperbaiki. Kerusakan fundasi ideologis itu dalah akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila dalam Amandemen UUD 1945 tahun 2002, dan menyusupnya berbagai nilai-nilai asing ke dalam bangunan ideologis negara-bangsa, yang rapuh terhadap perpecahan dan integrasi.

Untuk itu, seminar FGB ITB merekomendasi lima Langkah bagi perbaikan bangsa ke depan. Pertama, mengembalikan prinsip musyawarah sebagai nilai inti Pancasila, dengan menghapus system pemilihan langsung. Kedua, mengembalikan fungsi dan peran MPR sebagai Lembaga tertinggi negara untuk tegaknya Kembali prinsip musyawarah dan perwakilan. Ketiga, merasionalisasi fungsi dan wewenang parpol agar terbangun prinsip check and balance. Ke empat, memberi fungsi dan peran proporsional kaum agamawan, cendekiawan, TNI dan bala tentara cadangan, raja, sultan, dan pemangku adat; dan kaum prifesional dalam kehidupan bernegara. Kelima, melakukan Amandemen ke 5 UUD 45, agar sesuai jiwa dan nilailuhur Pancasila. Hanya melalui Langkah ini, bangsa ini bisa terbebas dari darurat Pancasila.

PERTANYAAN

1.      Tulis di WA group, hal-hal yang saudara tidak pahami dari tulisan ini.

2.      Apa yang dimaksud dengan “revitalisasi”. Jelaskan dengan bahasa yang gampang di cerna.

3.      Dari tulisan Yasraf Amir Piliang ada kata-kata atau kalimat….nilai-nilai materialisme anti -Tuhan….Jelaskan secara singkat apa maksud kalimat tersebut.

4.      Jelaskan secara singkat, apa yang dimaksud asraf Amir Piliang dengan “Unisitas dalam Pluralitas”

5.      Dalam tulisan Yasraf Amir Piliang ada kalaimat…..Ketiga  ayat itu pula yang menanggung “dosa” atas tumbuh suburnya nilai-nilai “individualism” dalam budaya politik, yang seiring waktu mencetak perilaku dan gerak gerik vulgar aktor-aktor politik…..Jelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan kalimat “nilai-nilai individualisme”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar