Jumat, 16 Oktober 2020

BK SPO I, SISTIM PEMERINTAHAN INDONESIA

 

 


 

BK SPO I, SISTIM PEMERINTAHAN INDONESIA

KULIAH I, 17 OKTOBER 2020, JAM 08.30 SD 10.30

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

CAT: kuliah daring/virtual/on line, sebelum Covid-19 sudah banyak dipraktekkan komunitas, lembaga, dan institusi-institusi lain. Yang pasti sejak dibentuknya Universitas Terbuka (UT), metode perkuliahannya sudah on line. Beberapa perguruan tinggi ternama yang lain, juga sudah banyak yang mempraktekkannya.

Kuliah daring sudah keniscayaan, mengikuti perkembangan yang ada. Kunci atau kiat utamanya tetap seperti kuliah biasa, yakni ada “minat untuk belajar, ingin tahu, dan berfikir bebas”. Oleh karena itu rajin, bahkan rakuslah membaca……

Sebagai awal kuliah pertama ini bacalah materi di bawah ini secara seksama (tidak sekedar-sekedar, apalagi terpaksa). Jika ada yang tidak dipahami, mau ditanggapi, komentari, atau mau didiskusikan, silakan tulis melalui WA group kita.

Saya mulai dengan mendeskripsikan “sillabus mata kuliah, garis besar perkuliahan, referensi/buku yang disarankan, arti/definisi/pemerintah dan pemerintahan, serta tulisannya Prof Dr Sofian Effendi.

SILLABUS

Mata kuliah ini membahas spemahaman tentang sistim pemerintahan Indonesia dengan menekankan pemahaman tentang ruang lingkup pendekatan teoritis, latar belakang kebijakan dan praktek pemerintahan daerah yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sistim Pemerintahan Indonesia pada dasarnya terdiri dari dari dua system besar yang saling terkait, yakni sistim pemerintahan nasional dan sistim pemerintahan daerah. Dua sistim ini memiliki landasan teori dan prakteknya masing-masing, baik yang menyangkut ruang lingkup, sejarah, kelembagaan, dan proses. Untuk memahami sebuah sistim diperlukan pula suatu perbandingan sehingga membedakannya dengan sistim pemerintahan dalam beragam bentuk negara yang berbeda

Dalam garis besarnya sillabus ini diturunkan dalam pertemuan-pertemuan kuliah pertama hingga akhir, sebagai berikut:

·         Gambaran umum pemerintahan

·         Konteks dasar Sistim Pemerintahan Indonesia

·         Sejarah ketatanegaraan Indonesia

·         Bentuk negara dan pemerintahan

·         Azas-azas penyelenggaraan pemerintahan

·         Perbandingan pemerintahan

·         Dinamika perubahan hukum dasar negara

·         Landasan hukum pelaksanaan pemerintahan daerah

·         Lembaga-lembaga negara

·         Lembaga-lembaga independent

·         Birokrasi pemerintah

·         Sistim penyelenggaraan daerah

·         Pemerintahan desa

·         Sistim keuangan daerah

 

Referensi/daftar Pustaka

1.      Prof Dr Ryaas Rasjid, Sistem Pemerintahan Indonesia, IIP, Jakarta

2.      Dr Innu Kencana, Sistim Pemerintahan Indonesia, IPDN, Bandung

3.      Prof Dr Sofian Effendi, 2006, Mencari Sistem Pemerintahan Negara, Orasi, Universitas Pancasila , Jakarta

4.      Prof Dr Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

5.      Miriam Budiardjo, 2008, Dasar_dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

6.      SP Varma, 1999, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta.

7.      David Mathews, 2018, Ekologi Demokrasi, Para Syndicate, Jakarta.

8.      UU Otonomi Daerah

9.      UU Pilkada

10.  UU Keuangan Daerah

Gambaran Umum Pemerintahan

Arti Sistim, Pemerintah dan Pemerintahan

Cat: Bahan diambil dari bukunya Prof Dr Ramlan Surbakti, Bab 10, hal 167 - 169

 

Pengantar

Seluruh kegiatan politik berlangsung dalam suatu “sistem”. Sistem politik ini bukan suatu tempat yang jelas batas teritorialnya. Namun sistem politik merupakan suatu konstruksi analisis, yaitu suatu istilah yang digunakan untuk memudahkan analisis atas berbagai hal yang kongkrit. Politik dipandang sebagai sistim karena politik merupakan interaksi antar unsur, unsur yang satu dengan unsur yang lain saling berkaitan. Seluruh interaksi dan interdependensi dimaksudkan untuk mencapai tujuan sistem, memelihara dirinya, serta menyesuaikan dirinya dengan perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman.

Yang membedakan antara sistim politik dari sistem yang lain ialah pola-pola interaksi yang dalam sistem politik melibatkan kekuasaan dan kewenangan. Apa yang diputuskan melalui proses politik mempunyai kekuatan mengikat (otoritatif). Unsur utama sistem politik ialah pemerintah yang diberikan kewenangan memonopoli penggunaan paksaan fisik sesuai dengan undang-undang. Walaupundemikian, selain faktor kekuasaan dan kewenangan yang otoritataif, sistem politik memiliki batas yang bersifat analitis dengan sistem sosial yang lain.

Sebelum tahun 1960-an yang dipelajari dalam ilmu politik terfocus pada kegiatan pemerintah. Namun, sejak tahun 1960-an para ahli melihat kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat (di luar pemerintah), seperti partai politik, kelompok kepentingan, pers, dan golongan dalam masyarakat. Itu sebabnya, mengapa politik dirumuskan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

Pemerintah

Pemerintah (government) secara etimologis berasal dari kata Yunani, kubernan atau nakhoda kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu “memerintah” berarti melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untukmenyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ke tujuan yang ditetapkan.

Oleh karena itu, kegiatan pemerintah lebih menyangkut pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik dalam rangka mencapai tujuan masyarakat-negara. Sementara itu, istilah pemerintah dan pemerintahan berbeda artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan negara.

Yang dimaksud dengan tugas ialah segala kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Maksudnya, setiap masyarakat – negara memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan sifatnya statis, sedangkan tugas sifatnya dinamis. Seseorang untuk melaksanakan tugas harus mempunyai kewenangan, yakni hak untuk melaksanakan tugas. Tugas dan kewenangan negara disebut fungsi negara.

Pengertian pemerintahan dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu dari segi kegiatan (dinamika), structural fungsional, dan dari segi tugas dan kewenangan (fungsi)

Apabila ditinjau dari segi dinamika, pemerintahan berarti segala kegiatan atau usaha yang terorganisasikan, bersumber pada kedaulatan dan berlandaskan dasar negara, mengenai rakyat dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara.

Segala kegiatan yang terorganisasikan, berarti kegiatan-kegiatan yang memenuhi syarat-syarat organisasi. Artinya, kelompok manusia yang mempunyai tujuan bersama, yang dapat dilakukan dengan bekerja sama. Lalu agar kerja sama itu berjalan dengan baik maka diadakan pembagian kerja di bawah satu pimpinan. Pengertian bersumber pada kedaulatan ialah bersumber pada pemegang kedaulatan dalam negara, misalnya rakyat yang memegang kedaulatan di Indonesia. Selanjutnya berlandaskan pada dasar negara, berarti semua kegiatan pemerintahan dilandasi ideologi dan falsafah negara, misalnya Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia. Mengenai rakyat berarti semua warga negara yang bersangkutan. Tentang wilayah berarti seluruh wilayah negara yang bersangkutan yang mencakup darat, laut, dan udara sesuai dengan batas-batas yang diakui dunia internasional. Akhirnya, tujuan negara berarti kegiatan pemerintahan diarahkan untuk mencapa tujuan masyarakat – negara yang disepakati bersama, umpamanya Indonesia mempunyai empat tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Ditinjau dari segi “structural-fungsional”, pemerintahan berarti seperangkat fungsi negara, yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional, dan melaksanakan fungsinya atas dasar-dasar tertentu demi tercapaina tujuan negara. Lalu ditinjau dari aspek tugas dan kewenangan negara maka pemerintahan berarti seluruh tugas dan kewenangan negara. Menurut ketiga batasan di atas dapatlah disimpulkan pemerintahan merupakan segala kegiatan yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan negara (fungsi negara). Yang melaksanakan tugas dan kewenangan negara ialah pemerintah.

Sehubungan dengan pengertian pemerintahan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan fungsi negara maka perlu dikemukakan pengertian pemerintahan dalam arti luas dan sempit. Pemerintahan dalam arti luas berarti seluruh fungsi negara, seperti legislative, eksekutif, dan judicative. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif saja. Demikian pula dengan pengertian pemerintah dalam arti luas yang berarti seluruh aparat yang melaksanakan fungsi-fungsi negara, sedangkan pemerintah dalam arti sempit menyangkut aparat eksekutif, yakni kepala pemerintahan dan kabinetnya.

Selanjutnya kita teruskan ke konsep “masyarakat”. (Di ambil dari bukunya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik hal41-42)

Masyarakat

Masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan-hubungan antar manusia. Robert Mc Iver mengatakan: “masyarakat adalah suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (Society means a system of ordered relations)

Biasanya anggota-anggota masyarakat menghuni suatu wilayah geografis yang mempunyai kebudayaan-kebudayaan dan Lembaga-lembaga yang kira-kira sama. Masyarakat dapat menunjuk pada masyarakat kecil, misalnya, masyarakat kelompok etnis Batak di Sumatera Utara, atau suatu masyarakat ang lebih luas nation state seperti masyarakat Indonesia. Dalam masarakat seperti ini anggota masyarakat dapat berinteraksi satu sama lain karena factor budaya dan factor agama, dan/atau etnis.

Semua ilmu social mempelajari manusia sebagai anggota kelompok. Timbulnya kelompok-kelompok itu ialah karena dua sifat manusia yang bertentangan satu sama lain; di satu pihak ia ingn Kerjasama, di pihak lain cenderung untuk bersaing dengan sesame manusia.

Manusia mempunyai naluri (instinct) untuk hidup Bersama dengan orang lain secara harmonis. Setiap manusia mempunyai kebutuhan fisik maupun mental yang sukar dipenuhinya seorang diri, makai a bekerja sama untuk mencapai beberapa nilai (value). Ia perlu makan, minum, berkeluarga dan bergerak secara aman, dan sebagainya. Untuk memenuhi kepentingan keperluan dan kepentingan-kepentingan itu ia mengadakan hubungan dan interaksi dengan orang lain dengan jalan mengorganisir bermacam-macam kelompok dan asosiasi. Kelompok yang paling pokok ialah keluarga, tetapi masih banak asosiasi lain yang memenuhi bermacam-macam kebutuhan manusia. Misalnya , untuk mengejar kepentingannya di bidang ekonomi didirikan asosiasi ekonomi seperti koperasi, perkumpulan perdagangan, perkumpulan nelayan dan sebagainya. Untuk memenuhi kebutuhan di bidang spiritual diadakan perkumpulan agama, perkumpulan kebatinan, dan sebagainya; untuk memenuhi kebutuhan menambah pengetahuan didirikan sekolah-sekolah, kursus-kursus, dan sebagainya.

Di dalam kehidupan berkelompok dan dalam hubungannya dengan manusia yang lain, pada dasarnya setiap manusia menginginkan beberapa nilai. Dalam mengamati masyarakat disekelilingnya, yaitu masyarakat Barat, Harold Laswell merinci delapan nilai, yaitu:

·         Kekuasaan

·         Kekayaan

·         Penghormatan

·         Kesehatan

·         Kejujuran

·         Keterampilan

·         Pendidikan/penerangan

·         Kasih sayang.

Fungsi-Fungsi Pemerintahan

……  Gabriel Almond membuat tiga fungsi pemerintahan….rule making, rule application, and rule adjudication (dalam Ramlan Surbakti, halaman 173)

Fungsi-fungsi negara (pemerintahan) dilakukan dengan beberapa struktur yang tida tergantung satu sama lain. Selain itu, fungsi ini dapat dilakukan dengan satu struktur. Secara teoritis terdapat dua kemungkinan pelaksanaan fungsi negara, yakni “pemusatan fungsi-fungsi negara” pada satu tangan atau struktur dan “pemencaran fungsi-fungsi negara” kepada beberapa organ atau struktur pemerintahan.

Pemusatan fungsi-fungsi negara pada satu struktur biasanya ditemui pada seorang dictator atau kerajaan absolut Ketika semua tugas dan kewenangan negara dipegang dengan satu tangan. Pemegangnya dapat saja menugaskan beberapa fungsinya secara vertical ke bawah, tetapi semua bagian di bawahnya tunduk dan bertanggung jawab kepada organ yang satu.

Pemencaran fungsi-fungsi negara dapat berwujud “pembagian fungsi” dan dapat berupa “pemisahan fungsi”. Pembagian fungsi negara berarti pemencaran fungsi negara pada berbagai struktur pemerintahan yang satu dan ang lain mempunyai hubungan sederajad, tidak saling membawahkan, tetapi berhubungan secara fungsional dalam usaha Bersama mencapai tujuan negara. Lalu pemisahan fungsi negara berarti pemencaran fungsi negara kepada beberapa struktur pemerintahan yang satu sama lain terpisah dan berdiri sendiri, tetapi yang satu melakukan control terhadap yang lain sebagai pengimbang (check and balance)

Di samping tu, pemencaran fungsi negara dapat dilakukan secara horizontal maupun vertical. Kedua bentuk pemencaran fungsi negara di atas pada dasarnya merupakanpemencaran secara horizontal, atau acapkali disebut pemencaran secara fungsonal (pembagian kekuasaan)

Salah satu struktur pemerintahan yang mendapatkan fungsi itu dalam rangka pembagian pembagian maupun pemisahan mungkin mendelegasikan Sebagian tugas dan kewenaanganna kepada daerah tingkat yang lebih rendah. Hal ini dinamakan pemencaran fungsi negara secara vertical, atau disebut pemencaran secara territorial (pembagian kekuasaan secara territorial)

Pemencaran fungsi negara secara territorial dibedakan menjadi tiga, yaitu, sentralisasi, dekonsentrasi, dan desentralisasi. Dalam asas sentralisasi, pemerintah local yang menerima tugas dan kewenangan negara merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, bertanggung jawab penuh kepada pemerintah pusat.

  Apabila pemerintah local yang menerima tugas dan kewenangan negara itu, selain tetap tunduk dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, tetapi memiliki sejumlah keleluasaan dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan (sesuai dengan karakteristik daerah) maka pemencaran fungsi ini disebut dekonsentrasi.

Lalu yang dimaksud dengan desentralisasi ialah pemencaran fungsi negara kepada pemerintah local yang berhak mengurus rumah tangga sendiri (otonomi). Pemerinta local yang memiliki otonomi ini menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang secara terinci diserahkan oleh pemerinta pusat, tetapi ia tidak bertanggung jawab kepada pemerinta pusat.

Karena fungsi itu berasal dari pemerintah pusat maka pemerinta pusat dengan alas an yang secara hukum dan politik dapat dipertanggungjawabkan dapat saja mencabut Sebagian atau seluruh fungsi yang otonom tersebut.

Dalam hal ini, orang biasanya berpaling kepada Montesquieu yang berkaitan dengan fungsi negara. Filosof berkebangsaan Perancis ini membagi tugas dan kewenangan negara ke dalam tuga jenis, yaitu; legislative, eksekutif, dan judicative.

Ketiga istilah ini mengandung kelemahan karena mempunyai pengertian struktur mapan yang terspesialisasikan untuk melaksanakannya, dan proses yang eksplisit untuk melaksanakannya. Sebaliknya pada pelbagai masyarakat fungsi itu tidak dilaksanakan oleh satu struktur, dan adakalanya prosedur pelaksanaannya cenderung bersifat informal.

Oleh karena itu, lebih tepat digunakan pembagian fungsi yang dikemukakan oleh Almond. Ia membagi fungsi pemerintahan menjadi tiga, denganmenggunakan istilah peraturan, yaitu pembuatan peraturan (rule making), penerapan peraturan (rule application), dan penghakiman peraturan (rule adjudication)

Peraturan berarti keputusan politik karena semua keputusan politik biasanya dirumuskan dalam eraturan perundang-undangan, seperti UU, PP, keputusan Presiden, keputusanmenteri, peraturan daerah, dan peraturan desa.

Sebagaimana dikemukakan Almond, pembagian fungsi itu cenderung bersifat multifungsional. Artinya, satu fungsi dapat dilaksanakan oleh lebih dari satu struktur, sebaliknya satu struktur dapat melaksanakan lebih dari satu fungsi.

Sampai sini dulu. Selanjutnya jawablah pertanyaan-pertanyaan dibawah ini

 

PERTANYAAN

1.      Jelaskan secara singkat apa yang disebut dengan, a)sistim politik, b) pemerintah, c) masyarakat, dan, d) pemerintahan.

2.      Jelaskan secara singkat perbedaan teori Montesquieu dengan Almond.

3.      Apa yang disebut dengan a) fungsi, b) struktur. Jelaskan secara singkat

4.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan a)sentralisasi, b)dekonsentrasi, c) desentralisasi

5.      Jelaskan nilai-nilai masyarakat menurut Harold D Laswell

 Jawaban di kirim ke WA atau e mail saya .

Tulisan dibawah ini (Prof Dr Sofian Effendi, mantan rector UGM, Kepala BKN ) sebagai bacaan di rumah…..dua minggu lagi akan ditanyakan.


 

MENCARI SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA

Prof. Dr. Sofian Effendi

 Assamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua Terlebih dulu saya ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Rektor dan Ketua Senat Universitas Pancasila yang telah memberi kehormatan kepada saya untuk menyampaikan Orasi pada majelis yang terhormat ini dalam rangka memperingati Dies Natalis Universitas Pancasila yang ke 40 dan Upacara Wisuda Semester Genap Tahjun Akademik 2006/2007.

Perkenankanlah saya mengawali uraian saya dengan menyampaikan ucapan Selamat Dies Natalis ke 40 kepada Pimpinan Universitas, Ketua dan anggota Senat, serta seluruh civitas akademica Universitas Pancasila. Saya juga menyamapaikan ucapan selamat kepada para wisudawan dan widuawati semua yang pagi ini tentunya mamat berbahagia karena semua kerjakeras mereka selama ini telah membuahkan hasil yang sangat membanggakan diri sendiri serta keluarga mereka. Semoga Universitas Pancasila selalu jaya dalam mengembann misinya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dijiwai oleh nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah dasar negara Republik Indonesia, dan selalu berada dalam lindungan dan ridlo Allah subhanahu wa taala. Amin ya rabbal alamin.

 Orasi ini saya beri judul „Mencari Sistem Pemerintahan Negara“ karena didorong oleh keprihatinan yang mendalam mengikuti perjalanan kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia setelah MPR-RI dalam waktu 4 tahun sejak 2001 telah mengadakan perubahan mendasar terhadap Undang Undang Dasar 1945. Masalah Sistem Pemerintahan Negara tersebut saya pandang perlu disampaikan pada majelis yang mulia ini karena selama ini pemahaman praktisi dan teoritisi Indonesia tentang bentuk dan susunan pemerintahan yang melandasi perubahan UUD 1945 terlalu didorong oleh semangat untukk menjungkirbalikkan Orde Baru dengan seluruh tatanannya dan sistemnya, tetapi kurang didukung oleh pengetahuan konseptual tentang sistem pemerintahan negara. 2

 Sebagai warga bangsa kita menyaksikan dan merasakan berbagai perkembangan yang menghawatirkan dalam kehidupan kenegaraan setelah UUD hasil 4 kali amandemen dilaksanakan. Kekuasaan legislatif yang „too strong“ ternyata telah berkembang menjadi salah satu faktor penyebab lambannya pelaksanaan berbagai kebijakan dan program eksekutif yang pernah dijanjikan selama masa kampanye Calon Presiden dan Wakil Presiden. Posisi politik Presiden SBY yang amat lemah, karena diusung oleh partai minoritas, telah menyebabkan beliau haurs mengadakan akomodasi politik dengan partai politik yang berakibat Kabinet Indonesia Bersatu tidak didukung sepenuhnya oleh perofesional seperti yang semula diinginkan oleh Presiden. Pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) sempat mendominasi pemberitaan di berbagai media di tanah air pada akhir Oktober dan awal November, dan sempat menjadi ganjelan dalam hubungan antara Presiden dan Wakil Presiden, seperti nampak dari wajah-wajah tegang beliau berdua ketika duduk berdampingan dalam kereta golf di halaman Istana Negara. Political gridlock atau kebuntuan politik seperti yang kita alami sekarang ini telah menjadi pertimbangan utama para Bapak Bangsa sehingga pada Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 14 Juli 1945 ditetapkan Negara Republik Indonesia tidak akan menggunakan Sistem Parlementer dan Sistem Presidensial karena masing-masng mengandung kelemahan dan kekurangan. Pada Sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 dengan pokok pembahasan Undang-Undang Dasar, Dr. Soekiman memprediksikan kalau Sistem Presidensial diterapkan dalam konteks politik multi partai, stabiliteit pemerintahan akan tidak tercapai apabila Presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan DPR dikuasai oleh partai mayoritas. Agar kondisi seperti itu tidak terjadi dalam penyelenggaraan Negara Repbulik Indonesia, beliau mengusulkan agar Indonesia menerapkan susunan pemerintahan „sistem sendiri“.

 Sebagai bangsa, kita nampaknya harus terus mencari sosok Sistem Pemerintahan Negara yang mampu menciptakan stabiliteit politik yang diperlukan sebagai landasan pembangunan nasional. Padahal tanpa pembangunan yang masih sangat memerlukan investasi modal dan teknologi dari luar negeri Pemerintah tidak mungkin dapat menciptkan kesejahteraan untuk seluruh bangsa Indonesia sebagaimana yang dicitacitakan oleh para Pendiri Negara.

Para Wisudawan dan Hadirin yang saya muliakan.

 Sejak UUD 1945 diberlakukan pada 18 Agustus 1945, konstitusi pertama tersebut telah ditafsirkan secara berbeda-beda oleh pemerintah yang menjalankannya. Antara 1945 sampai 1949 dan antara 1959 sampai 1966, UUD 1945 telah dilaksanakan dengan beberapa modifikasi dalam susunan pimpinan pemerintahan negara. Indonesia pernah menggunakan dual-executive sistem, dengan Presiden sebagai Kepala Negara dan perdana menteri sebagai Kepala Pemerintahan. UUD yang sama pernah ditafsirkan sebagai single-executive sistem, sesuai ketetapan Pasal 4 sampai 15 dan Presiden menjabat sebagai Kepala Negara serta sekaligus Kepala Pemerintahan. Antara 1966 sampai 1998, berlaku sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi kekuasaan amat besar pada Presiden (too stong presidency). Sejak 2002, dengan berlakunya UUD hasil amandemen, berlaku sistem presidensial. Posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bi-kameral dengan keuasaan yang lebih besar (stong legislative). Antara 1949 sampai 1959 Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer yang terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahn yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu 4 tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).

 Apakah cita-cita para pendiri negara bangsa untuk membentuk pemerintahan negara konstitusional yang demokratis serta yag sesuai dengan corak hidup bangsa dapat tercapai apabila rel – UUD setiap bangsa dapat diibaratkan sebagai rel yang menuju ke tujuan yang dicita-citakan oleh suatu bangsa – yang mengatur perjalanan pemerintahan bangsa tersebut setiap kali diubah arahnya dan dibelokkan? Kondisi seperti itulah yang sedang kita alami sebagai bangsa pada saat ini setelah MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945.

Hadirin yang saya muliakan.

Gerakan reformasi yang diawali di beberapa kampus utama di seluruh Indonesia, adalah upaya untuk mengadakan peataan kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat di bidnag politik, ekonomi, hukum dan social. Menurut Imawan (Yogyakarta, UGM, 2004) tujuan utama gerakan reformasi 1998 dalam bidang politik adalah meningkatkan 4 demokratisasi kehidupan politik dan perbaikan hubungan politik. Karena itu salah satu agenda utama reformasi politik adalah mengadakan amademen terhadap UUD 1945 untuk meningkatkan demokratisasi hubungan politik antara penyelenggara negara dengan rakyat, dan menciptakan distribusi kekuasaan (distribution of power) yang lebih efektif antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan mekanisme check and balances dalam proses politik.

Sebetulnya Gerakan Reformasi tersebut merupakan momentum yang amat baik bagi MPR sebagai lembaga pemegang kekuasaan tertinggi untuk mengadakan amendemen UUD 1945 untuk menciptakan sistem pemerintahan negara yang lebih dapat menjamin kehidupan politik yang lebih demokratis. Sayangnya peluang emas tersebut tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Bahkan sebaliknya, amandemen UUD telah menghasilkan sistem pemerintahan baru, sistem presidensial, yang menyimpang dari bentuk dan susunan negaara kekeluargaan yang merupakan salah satu staats fundamental norm sistem pemerintahan Indonesia.

 Tujuan gerakan reformasi 1998 bukannya tercapai, malahan sebaliknya UUD 2002 hasil amandemen bahkan telah menimbulkan kompleksitas baru dalam hubungan eksekutif dan legislative, bila presiden yang dipilih langsung dan mendapat dukungan popular yang besar tidak mampu menjalankan pemerintahannya secara efektif karena tidak mendapat dukungan penuh dari koalisi partai-partai mayoritas di DPR. Political gridlocks semacam itu telah diperkirakan dan karenanya ingin dihindari oleh para perancang UUD 1945, hampir 6 dekade yang lalu, sehingga akhirnya tidak memilih sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan untuk negara Indonesia yang baru merdeka. (Setneng RI, 1998 dan Kusuma, FH-UI, 2004).

Hadirin dan \wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

Negara Kekeluargaan

 Pembentukan negara-negara moderen tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya dua faham atau mazhab pemikiran tentang hubungan negara dengan warga negara. 1 Uraian lengkap tentang konsep Negara Kekeluargaan dapat dibaca dalam tulisan Dr. Bur Rasuanto, “Negara Kekeluargaan: Soepomo vs Hatta” dalam Kompas, 1999. 5 Penindasan para raja – yang seringkali mempersonfikasikan diri sebagai negara, l’etat c’est moi -- selama berabad-abad di Eropah telah mendorong kelahiran Gerakan Renaissance, yang memberikan pengakuan hak individu dari setiap warganegara. Faham individualisme yang dikembangkan oleh Thomas Hobbes, John Locke. Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, telah mewarnai seluruh aspek kehidupan bangsa-bangsa Barat dan menjadi nilai dasar dari sistem politik demokrasi yang berkembang, setelah bangsa-bangsa tersebut mengalami penindasan oleh para penguasa absolut dalam negara monarki absolut. Menurut faham individualisme, negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract).

 Aliran kedua adalah faham kolektivisme, yang tidak mengakui hak-hak dan kebebasan individu, beranggapan persatuan yang dilandaskan pada ikatan kesamaan ideologi atau keunggulan ras sebagai dasar dalam penyusunan negara yang terdiri atas pimpinan atau partai sebagai suprastruktur dan masyarakat madani sebagai struktur. Faham kolektivisma kemudian cenderung berkembang menjadi pemerintah diktator totaliter seperti dialami bangsa Jerman di bawah Hitler, Uni Soviet di bawah pemerintahan komunis, Italia di bawah Mussolini, dan RRC di bawah pimpinan Mao Zedong.

 Faham kolektivisme mempunyai beberapa cabang pemikiran, diantaranya yang dikenal sebagai teori kelas (class theory) yang dikembangkan oleh Marx, Engels dan Lenin. Negara dianggap sebagai alat oleh suatu kelas untuk menindas kelas yang lain. Negara ialah alat golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat untuk menindas golongan atau kelas ekonomi lemah. Negara kapitalistik adalah alat golongan bourgeoisi untuk menindas kaum buruh, oleh karena itu para Marxis menganjurkan revolusi politik kaum buruh dan kelompok tertindas lainnya untuk merebut kekuasaan negara dan menggantikan kaum bourgeoisi. Cabang yang lain adalah seperti yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Mueller, Hegel dan Gramschi yang dikenal sebagai teori integralistik. Menurut pandangan teori ini, negara didirikan buknalaah untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, akan tetapi menjamin masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Negara adalah suatu masyarkat yang integral, segala golongan, bagian dan anggotanya satu dengan lainnya dan merupakan kesatuan masyarakat yang organis Yang 6 terpenting dalam kehidupan bernegara menurut teori integral adalah kehidupan dan kesejahteraan bangsa seluruhnya.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

Harus kita fahami, gerakan kemerdekaan Indonesia memandang faham individualisme yang dipeluk oleh bangsa-bangsa Barat adalah sumber dari kapitalisme, kolonialisme/imprealisme yang mereka tentang habis-habisan. Para founding fathers nampaknya mempunyai interpretasi yang berbeda tentang faham kekeluargaan. Bung Karno yang menangkap kekeluargaan bangsa Indonesia lebih dari dinamika dan semangatnya. Hatta memaknai kekeluargaan secara etis. Sedangkan Prof. Soepomo menafsirkan kekeluargaan lebih sebagai konsep organis-biologis. Hampiran metateoretikal yang berbeda tersebut menghasilkan interpretasi yang berbeda pula tentang konsep kekeluargaan. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat gotong royong, Bung Hatta memandang kekeluargaan secara etis sebagai interaksi sosial dan kegiatan produksi dalam kehidupan desa, yang bersifat tolong menolong antar sesama.

 Dasar dan bentuk susunan susunan suatu negara secara teoritis berhubungan erat dengan riwayat hukum dan stuktur sosial dari suatu bangsa. Karena itulah setiap negara membangun susunan negaranya selalu dengan memperhatikan kedua konfigurasi politik, hukum dan struktur sosialnya. Atas dasar pemikiran tersebut, Soepomo dalam rapat BPUPK tanggal 31 Mei 1945 mengusulkan agar sistem pemerintahan negara Indnesia yang akan dibentuk “… harus berdasar atas aliran fikiran negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongangolongannya dalam lapangan apapun” (Setneg, 1998: 55). Dalam negara yang integralistik tersebut, yang merupakan sifat tata pemerintahan yang asli Indonesia, menurut Soepomo, para pemimpin bersatu-jiwa dengan rakyat dan pemimpin wajib memegang teguh persatuan dan menjaga keseimbangan dalam masyarakatnya. Inilah interpretasi Soepomo tentang konsep manunggaling kawulo lan gusti. Persatuan antara pemimpin dan rakyat, antara golongan-golongan rakyat, diikat oleh semangat yang dianut oleh masyarakat Indonesia, yaitu semangat kekeluargaan dan semangat gotong-royong. 7 Dalam pemikiran organis-biologis Soepomo, kedudukan pemimpin dalam negara Indonesia dapat disamakan dengan kedudukan seorang Bapak dalam keluarga.

 Hatta, berbeda dengan Sukarno dan Soepomo, menerjemahkan faham kolektivisme sebagai interaksi sosial dan proses produksi di pedesaan Indonesia. Intinya adalah semangat tolong menolong atau gotong royong. Karena itu dalam pemikiran Hatta, kolektivisme dalam konteks Indonesia mengandung dua elemen pokok yaitu milik bersama dan usaha bersama. Dalam masyarakat desa tradisional, sifat kolektivisme a la Indonesia tersebut nampak dari kepemilikan tanah bersama yang dikerjakan bersama. Jadi, kolektivisme oleh Hatta diterjemahkan menjadi kepemilikan kolektif atas alat-alat produksi, yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama (Hatta, Bulan Bintang, 138-144).

Hadirin dan Wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

 Demokrasi asli Indonesia yang merupakan kaidah dasar penyusunan negara Indonesia masih mengandung dua unsur lain, yakni rapat atau syura, suatu forum untuk musyawarah, tempat mencapai kesepakatan yang ditaati oleh semua, dan massa protest, suatu cara rakyat untuk menolak tindakan tidak adil oleh penguasa. Negara kekeluargaan dalam versi Hatta, yang disebutnya Negara Pengurus, adalah proses suatu wadah konstitusional untuk mentransformasikan demokrasi asli tersebut ke konteks moderen (Rasuanto, Kompas, 1999). Pada negara moderen, lembaga syura ditransformasikan menjadi majelis permusyawaratan rakyat dan badan perwakilan rakyat, tradisi massa protest merupakan landasan bagi kebebasan hak berserikat, hak berkumpul, dan hak menyatakan pendapat, dan kolektivisme diwujudkan dalam bentuk ekonomi nasional yang berasaskan kekeluargaan, dalam bentuk koperasi serta tanggungjawab pemerintah dalam menciptakan keadilan dalam kegiatan ekonomi rakyat.

Dalam perkembangan negara kekeluargaan tersebut, Hatta telah memprediksikan akan terjadinya tarikan kearah semangat individualisme yang semakin kuat dalam segala kehidupan rakyat, khususnya dalam ekonomi. Individualisme, menurut Hatta, jangan dilawan dengan kembali ke kolektivisma tua, melainkan dengan “mendudukkan cita-cita kolektivisma itu pada tingkat yang lebih tinggi dan moderen, yang lebih efektif dari individualisme“ (Hatta, Demokrasi Ekonomi, UI Press, 192, 147). 8

 Dari notulen rapat-rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) ketika membahas dasar negara pada 28 Mei - 1 Juli dan dari 10 - 17 Juli 1945, dan rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18-22 Agusutus 1945, dapat kita ikuti perkembangan pemikiran para pemimpin bangsa tentang dasar negara (Setneg, 1998: 7-147). Bung Karno, bung Hatta dan Prof. Soepomo adalah tiga tokoh yang menyatakan pembentukan negara Repbulik Indonesia didasarkan atas corak hidup bangsa Indonesia yaitu kekeluargaan, yang dalam wacana gerakan pro-proklamasi kemerdekaan diartikan sama dengan kolektevisme.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan.

 Sistem Pemerintahan Sendiri Setelah MPR mengesahkan amandemen ketiga dan keempat UUD 1945, sistem pemerintahan negara Indonesia berubah menjadi sistem presidensial. Perubahan tersebut ditetapkan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD baru. MPR tidak lagi merupakan perwujudan dari rakyat dan bukan locus of power, lembaga pemegang kedaulatan negara tertinggi. Pasal 6A ayat (1) menetapkan “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dua pasal tersebut menunjukkan karakteristik sistem presidensial yang jelas berbeda dengan staats fundamental norm yang tercantum dalam Pembukaan dan diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan UUD 1945.

 Sistem presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke 3 cabang yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montesquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu-pembantu presiden yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden.

Apakah amandemen pasal 1 ayat (2) dan pasal 6A, yang merupakan kaidah dasar baru sistem pemerintahan negara Indonesia, akan membawa bangsa ini semakin dekat dengan cita-cita para perumus konstitusi, suatu pemerintahan konstitusional yang demokratis, stabil dan efektif untuk mencapai tujuan negara? Apakah sistem 9 pemerintahan negara yang tidak konsisten dengan harapan para perancang konstitusi seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 akan menjamin kelangsungan kehidupan bernegara bangsa Indonesia?

 Ternyata tafsiran Panja Amandemen UUD 1945, yang dibentuk MPR, tentang sistem pemerintahan negara berbeda dengan pemikiran dan cita-cita para perancang Konstitusi Pertama Indonesia. Bila dipelajari secara mendalam notulen lengkap rapatrapat BPUPK sekitar 11 – 15 Juli 1945 dan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang terdapat pada Arsip A.G. Pringgodigdo dan Arsip A.K. Pringgodigdo (Arsip AG-AK-P), kita dapat menyelami kedalaman pandangan para founding fathers tentang sistem pemerintahan negara.

 Arsip AG-AK-P yang selama hampir 56 tahun hilang baru-baru ini diungkapkan kembali oleh R.M. Ananda B. Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan Fakultas Hukum U.I., dalam sebuah monograf berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan Fakultas Hukum U.I. (2004). Kumpulan notulen otentik tersebut memberikan gambaran bagaimana sesungguhnya sistem pemerintahan demokratis yang dicita-citakan para perancang Konstitusi Indonesia. Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang sayamuliakan.

 Notulen rapat-rapat BPUPKI dan PPKI mulai pertengahan Mei sampai Juli 1945 memberikan gambaran betapa mendalam dan tinggi mutu diskusi para Bapak Bangsa tentang sistem pemerintahan. Pada sidang-sidang tersebut, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno dan Bung Hatta mengajukan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politica a la Montesqieue bukanlah sistem pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Bahkan, Supomo-Iin dan Sukarno-Iin, Iin artinya Anggota yang Terhormat, menganggap trias politica sudah kolot dan tidak dipraktekkan lagi di negara Eropah Barat.

 Pada rapat Panitia Hukum Dasar, bentukan BPUPKI, tanggal 11 Juli 1945 dicapai kesepakatan bahwa Republik Indonesia tidak akan menggunakan sistem parlementer seperti di Inggris karena merupakan penerapan dari pandangan individualisme. Sistem tersebut dipandang tidak mengenal pemisahan kekuasaan secara tegas. Antara cabang legisltatif dan eksekutif terdapat fusion of power karena kekuasaan eksekutif sebenarnya 10 adalah „bagian“ dari kekuasaan legislatif. Perdana Menteri dan para menteri sebagai kabinet yang kolektif adalah anggota parlemen.

 Sebaliknya, sistem Presidensial dipandang tidak cocok untuk Indonesia yang baru merdeka karena sistem tersebut mempunyai tiga kelemahan. Pertama, sistem presidensial mengandung resiko konflik berkepanjangan antara legislatif – eksekutif. Kedua, sangat kaku karena presiden tidak dapat diturunkan sebelum masa jabatannya berahir. Ketiga, cara pemilihan “winner takes all” seperti dipraktekkan di Amerika Serikat bertentangan dengan semangat dbemokrasi.

 Indonesia yang baru merdeka akan menggunakan „sistem sendiri“ sesuai usulan Dr. Soekiman, anggota BPUPK dari Yogyakarta, dan Prof. Soepomo, Ketua Panitia Kecil BPUPK. Para ahli Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi-presidensial, Padmo Wahono menamakannya Sistem Mandataris, dan Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung karakteristik sistem presidensial dan parlementer disebut sistem semi-presidensial. Sistim pemerintahan demokratis yang dirumuskan oleh para perancang UUD 1945 mengandung beberapa ciri sistem presidensial dan sistem parlementer. “Sistem sendiri” tersebut mengenal pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang legislatif dan eksekutif, yang masing-masing tidak boleh saling menjatuhkan, Presiden adalah eksekutif tunggal yang memegang jabatan selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali, serta para menteri adalah pembantu yang diangkat dan bertanggungjawab kepada Presiden, adalah ciri dari sistem presidensial.

 Sistem pemerintahan khas Indonesia juga mengandung karakteristik sistem parlementer, diantaranya MPR ditetapkan sebagai locus of power yang memegang supremasi kedaulatan negara tertinggi, seperti halnya Parlemen dalam sistem parlementer. Kedaulatan negara ada pada rakyat dan dipegang oleh MPR sebagai perwujudan seluruh rakyat. Pada masa-masa awal negara Indonesia, para perancang memandang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung masih belum dapat dilakukan mengingat tingkat pendidikan masih rendah serta infrastruktur pemerintahan belum tersedia. Karena itu ditetapkan Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara tidak langsung oleh lembaga perwujudan seluruh rakyat yaitu MPR 11

Presiden yang menjalankan kekuasaan eksekutif adalah mandataris MPR, sedangkan DPR adalah unsur dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif (legislative councils). Presiden tidak dapat menjatuhkan DPR, sebaliknya DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Bersama-sama Presiden dan DPR menyusun undangundang.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan.

 Pada notulen rapat tanggal 11-15 Juli BPUPKI dan rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dapat kita ikuti perkembangan pemikiran tentang kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawartan Rakyat sebagai penjelmaaan dari seluruh rakyat Indonesia yang memiliki konfigurasi social, ekonomi dan geografis yang amat kompleks. Karena itu MPR harus mencakup wakil-wakil rakyat yang dipilih, DPR, wakil-wakil daerah, serta utusan-utusan golongan dalam masyarakat. Dengan kata lain, MPR harus merupakan wadah multi-unsur, bukan lembga bi-kameral.

Bentuk MPR sebagai majelis permusyawaratan-perwakilan dipandang lebih sesuai dengan corak hidup kekeluargaan bangsa Indonesia dan lebih menjamin pelaksanaan demokrasi politik dan ekonomi untuk terciptanya keadilan sosial, Bung Hatta menyebutnya sebagai ciri demokrasi Indonesia. Dalam struktur pemerintahan negara, MPR berkedudukan sebagai supreme power dan penyelenggara negara yang tertinggi. DPR adalah bagian dari MPR yang berfungsi sebagai legislative councils atau assembly. Presiden adalah yang menjalankan tugas MPR sebagai kekuasaan eksekutif tertinggi, sebagai mandataris MPR.

Konfigurasi MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tersebut dipandang para Bapak Bangsa sebagai ciri khas Indonesia dan dirumuskan setelah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari sistem-sistem yang ada. Sistem majelis yang tidak bikameral dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan budaya bangsa dan lebih mewadahi fungsinya sebaga lwmbaga permusyawaratan perwakilan.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan.

 Karena Arsip AG-AK-P yang merupakan sumber otentik tentang sistem pemerintahan negara baru saja terungkap, mungkin saja Panja MPR, ketika mengadakan amandemen UUD 1945, tidak memiliki referensi yang jelas tentang sistem pemerintahan 12 sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. Kalau pemikiran para perancang konstitusi tentang kaidah dasar dan sistem pemerintahan negara sebagaimana tercatat pada notulen otentik tersebut dijadikan referensi, saya yakin bangsa Indonesia tidak akan melakukan penyimpangan konstitusional untuk ketiga kalinya. Susunan pemerintahan negara yang mewujudkan kedaulatan rakyat pada suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pandangan Bung Karno adalah satu-satunya sistem yang dapat menjamin terlaksananya politiek economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.

 Sebagai penjelmaan rakyat dan merupakan pemegaang supremasi kedaulatan, MPR adalah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi, “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. DPR adalah bagian dari MPR yang menjalankan kekuasaan legislatif sedangkan Presiden adalah mandataris yang bertugas menjalankan kekuasaan eksekutif. Bersama-sama, DPR dan Presiden menyusun undang-undang. DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan seperti pada sistem parlementer maupun presidensial. Sistem semi-presidensial tersebut yang mengandung keunggulan sistem parlementer dan sistem presidensial dipandang mampu menciptakan pemerintahan negara berasaskan kekeluargaan dengan stabilitas dan efektifitas yang tinggi.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

Berbeda dengan pemikiran BPUPK dan PPKI sebagai perancang konstitusi, para perumus amandemen UUD 1945, karena tidak menggunakan sumber-sumber otentik, serta merta menetapkan pemerintahan negara Indonesia sebagai sistem presidensial. Padahal pilihan para founding fathers tidak dilakukan secara gegabah, tetapi didukung secara empiris oleh penelitian Riggs di 76 negara Dunia Ketiga, yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan sistem presidensial sering gagal karena konflik eksekutif – legislatif kemudian berkembang menjadi constitutional deadlock. Karenanya sistem presidensial kurang dianjurkan untuk negara baru. Notulen otentik rapat BPUPK dan PPKI menunjukkan betapa teliti pertimbangan para Pendiri Negara dalam menetapkan sistem pemerintahan negara. Pemahaman mereka terhadap berbagai sistem pemerintahan ternyata sangat mendalam dan didukung oleh referensi yang luas, mencakup sebagian besar negara-negara di dunia. 13

 Mungkin penjelasan Prof. Dr. Soepomo pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa saat sebelum UUD 1945 disahkan, dapat memberi kita gambaran tentang sistem pemerintahan khas Indonesia yang dirumuskan oleh para perancang konstitusi: “Pokok pikiran untuk Undang Undang Dasar, untuk susunan negara, ialah begini. Kedaulatan negara ada ditangan rakyat, sebagai penjelmaan rakyat, di dalam suatu badan yang dinamakan di sini: Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah suatu badan negara yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan yang paling tinggi, yang tidak terbatas kekuasaannya. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat yang memegang kedaulatan rakyat itulah yang menetapkan Undang Undang Dasar, dan Majelis Permusyawaratan itu yang mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Maka Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan garis-garis besar haluan negara ... Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang telah ditetapkan, diperintahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat … badan yang bersama-sama dengan Presiden, bersetujuan dengan Presiden, membentuk Undang-Undang, jadi suatu badan legislatif ... „

Demikianlah pokok-pokok fikiran para perancang UUD 1945 tentang susunan pemerintahan negara yang dipandang mampu mengatasi ancaman diktarorial partai pada sistem parlementer atau bahaya „political paralysis “ pada sistem presidensial, apabila presiden terpilih tidak didukung oleh partai mayoritas yang menguasai DPR. Para penyusun konstitusi menamakannya „Sistem Sendiri“. Ahli politik menamakannya sistem semi-presidensial. Bahkan Indonesia, menurut Blondel, pernah menerapkan sistem semipresidensial eksekutif ganda (semi-presidential dualist model) pada masa-masa awal dengan adanya Presiden sebagai Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan.

Para perancang konstitusi seperti Prof. Soepomo sudah mengingatkan kita semua, untuk memahami konsitusi tidak cukup hanya dibaca dari yang tertulis pada pasalpasalnya, tapi harus diselami dan difahami jalan fikiran para perancangnya serta konteks sejarah yang melingkunginya. Sejalan dengan itu Edwin Meese III mengingatkan, satusatunya cara yang legitimate untuk menafsirkan konstitusi adalah dengan memahami keinginan yang sesungguhnya dari mereka yang merancang dan mengesahkan hukum dasar tersebut. Nampaknya peringatan-peringatan tersebut diabaikan ketika amandemen UUD 1945 dilakukan.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

 Mencari Sistem Pemerintahab

 Sekarang semakin jelas prediksi para Bapak Bangsa dan Pendiri Negara yang meragukan kemampuan Sistem Presidensial dalam lingkongan politik yang terfragmentasi. Karena itu proses bagi bangsa Indonesia proses pencarian Sistem Pemerintahan Negara yang paling sesuai dalam arti paling mampu menciptakan stabilitas politik yang merupakan prasyarat utama dalam pembangunan sistem pemerintahan negara yang efektif dan mantap asih harus belum berakhir.

Proses pencarian itu pernah dan masih akan dialami oleh banyak bangsa di dunia. Amerika Serikat, yang dikenal sebagai contoh negara yang memiliki Sistem Presidensial yang paling mantap di dunia, telah mengalami dan menjalani proses pencarian tersebut sekitar 100 tahun setalah Sistem Presidensial diterapkan dalam lingkungan politik Amerika Serikat yang ketika itu memiliki 7 partai. Dari tulisan-tulisan Woodrow Wilson (1879 dan 1884), Alexander Hamilton (1787) dan James Madison (1787) yang dikenal dengan The Federalist Papers dapat diikuti diskursus nasional tentang Sistem Pemerintahan Negara. Wilson dalam beberapa tulisannya bahkan berusaha menyakinkan bangsanaya untuk menerapkan Sistem Pemerntahan Kabinet yang merupakan ciri Sistem Parlementer. Usulan Wilson tersebut ternyata kurang mendapat respons posisit dari para politisi Amerika Serikat. Sebagai bangsa besar yang amat menghargai jasa dan pemikiran founding fathers, rakyat Amerika memilih untuk tetap mempertahankan The Constitution of 1787 dan menyesuaikan dengan perkembangan bangsa dan negara secara bertahap melalui amandemen yang prosesnya tidak mudah. Selama 230 tahun Amerika Serikat telah mengadakan 27 kali amandemen, atau rata-rata 9 tahun setiap amandemen, sebagai tambahan atas Konstitusi yang asli.

Bagaimana Indonesia keluar dari kondisi political gridlock yang terjadi karena Cabang Eksekutif terdiri datas Presiden yang didukung oleh Partai minoritas dan Wakil Presiden yang secara riil politik lebih dominan kedudukannya, sementara Badan Legislatif dikuasai oleh 7 partai politik yang mempunyai agenda politik yang berbeda? Nampaknya ada dua strategi besar yang perlu ditempuh oleh bangsa ini. Yang pertama, menciptakan lingkangan yang lebih dapat menjamin sistem presidensial dapat berfungsi dengan efektif melalui penataan partai-partai politik agar tercipta mayority rule. Sistem Presidensial yang efektif akan terjamin bila partai pemenang mempunyai posisi yang cukup dominan dalam Cabang Eksekutif dan Legislatif. Strategi kedua adalah 15 menyesuaikan sistem pemerintahan negara dengan lingkungan politik. Untuk mengelola lingkungan politik terfragmentasi dapat dipilih salah satu dari bentuk sistem pemerintahan kolektif, diantaranya Sistem Parlementer seperti yang diuraikan oleh Wilson dalam tulisannya ”Cabinet Government in the United States” (1979) dan Sistem ’Cohabitation’ a la Prancis.

Dalam lingkungan politik Indonesia yang amat terfragmentasi, Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang didukung oleh partai minoritas, walaupun mendapat dukungan dari 62 persen pemilih pada Pemilu 1999, menyiasati sikap ”kurang bersahabat” dari DPR yang memiliki kekuasaan politik amat besar melalui akomodasi politik dengan partai-partai mayoritas di DPR agar agenda pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu dapat berjalan. Kedekatan hubungan ideologis antara para menteri yang menduduki posisi strategis dalam KIB dengan partai induknya di DPR diharapkan akan mampu memperlancar pelaksanaan berbagai agenda kerja Pemerintah. Sistem pemerintahan seperti tersebut dinamakan Sistem Kabinet oleh Woodrow Wilson, satu-satunya profesor ilmu politik yang pernah menduduki jabatan politik tertinggi di negarinya, Presiden Amerika Serikat ke 28 Amerika Serikat selama 2 periode berturut-turut (1913 – 1917 dan 1917 – 1921). Pilihan kedua, yang dapat ditempuh kalau seluruh bangsa sudah yakin betul bahwa Sistem Presidential adalah susunan pemerintahan negara yang terbaik bagi bangsa Indonesia, adalah adalah Sistem Pemerintahan Cohabitation seperti diterapkan dalam pemerintahan Prancis, dan pada abad 21 oleh negara Eropa Tumur seperti Lithuania dan Azerbaijan. Dalam Sistem Cohabitation ini Presiden sebagai Kepala Negara dipilih langsung oleh rakyat dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan dipilih oleh Parlemen. Sistem ini diterapkan di Prancis oleh Presiden De Gaulle dan Mitterand yang tidak mempunyai cukup dukungan di Parlemen. Pada Pemerintahan Presiden Chirac digunakan sistem semi-presidensial karena Presiden dan Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Parlemen berasal dari partai yang sama.

Forum Rektor Indonesia yang merupakan organisasi 2680 PT di seluruh Indonesia Konvensi Kampus ke III di Yogyakarta pada 11-12 Juni 2006 mengusulkan agar dilakukan kaji ulang terhadap UUD hasil amandemen setelah mengindentifkasi berbagai krisis sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi oleh bangsa sejak UUD terebut dilaksanakan. Usul tersebut nampaknya nmendapat sambutan yang cukup luas baik dari 16 Pemerintah, DPD, MPR serta dari berbagai kelompok masyarakat. Melihat realitas tersebut, nampaknya bangsa ini harus bekerja keras dalam pencariannya menemukan sistem pemerintahan negara yang memiliki kemampuan dalam merealisasikan cita-cita para pendiri bangsa yaitu suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Hadirin dan wisudawan-wisudawati yang saya muliakan,

 Demikianlah ulasan saya tentang sistem pemerntahan negara yang sedang dicari oleh bagnsa Indonesia. Pemiiihan sistem pemerintahan negara erlu kita lakukan dengan amat hati-hati, harus dilakukan dengan niat luhur untuk mencari sistem yang terbaik bagi negara dan rakyat, serta selalu dalam kerangka upaya untuk merumuskan sistem pemerintahan negara yang paling sesuai dengan staatsfundamental norm atau landasan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia selama 61 tahun telah beberapa kali dilakukan pergantian UUD yang telah menyebabkan perkembangan kurang positif dalam perjalanan negara dan bangsa. Agar pengalaman pahit seperti itu tidak lagi terjadi dimasa depan, saya ingin menghimbau melalui Majelis ini agar para pemimpin bangsa selalu berhatihati dalam melakukan perubahan-perubahan atas UUD yang merupakan hukum tertinggi di negara ini. Apabila UUD 1945 sebagai hukum dasar, perubahan harus dilakukan sebagai adendum terhadap naskah asli. Dengan cara demikian barulah kita dapat dengan bangga menyatakan kita adalah bagsa besar yang menghargai para Founding Fathers yang telah meneteskan keringat dan airmata dan mencurahkan darah mereka untuk mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 Terima kasih atas perhatian dan kesabaran Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian mengikuti orasi dalam rangka memperingati Dies Natalis ke 40 Universitas Pancasila dan Selamat Berbahagia kepada para wisudawan dan wisudawati sekalian. Billahi taufik wal hidayah, Wassala mualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakartra, Mahkamah Konstitusi Indonesia dan PSHTN, Fakultas Hukum, Univesitas Indonesia, 2004. _______________, ”Membumikan Pancasila dan UUD 1945 Pasca Reformasi”. Makalah dismapaikan pada Konvensi Kampus III Forum Rektor Indonesia di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 11-12 Juli 2006.

Bahegot, Walter, The English Constitution: The Cabinet. London, Oxford University Press, 1961.

Blondel, Jean, “Dual Leadership in the Contemporary World”, dalam Dennis Kavanagh dan Geene Peele, eds., Comparative Government and Politics: Essays in Honour of S.E. Finer. London, Heinemann, 1984.

Dahl, Robert A., Democracy in the United States: Premise and Performance, 2nd ed., Chicago: Rand McNally, 1972.

Duverger, Maurice, ‘A New Political System Model: Semi-presidential Government’, European Journal of Political Research, 8/1, June, 1982.

 Feith, Herbert, The Decline of Constitutinal Democracy in Indonesia. Ithaca, N.Y., Cornell Unversity Press, 1962.

 Gramschi, Antonio, Negara dan Hegemoni. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003.

Imawan, Riswanda, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2004

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta, Pustaka Rakyat, 1966. Laski,

 Harold J., The American Presidency: An Interpretation. New York: Harper and Brothers, 1940. 18

 Kantor, Henry, “Efforts Made by Various Latin American Countries to Limit the Power of the President”, dalam Thomas V. DiBacco, ed., Presidential Power in Latin American Politics, New York, Praeger, 1977.

Kriegel, Leonard. Essential Works of the Founding Fathers. New York: Bantam Book, 1964 Kusuma, Ananda B., Lahirnya UUD 1945. Jakarta, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, 2004.

Linz, Juan J. “The Virtues of Parlementarianism”, Journal of Democracy, , Fall 1990. Rasuanto, Bur, “Negara Kekeluargaan: Soepomo Vs. Hatta, Kompas, edisi ,1998.

Riggs, Fred N., The Survival of Presidentialism in America: Para-constitutional Practices”, International Political Science Review, 9/4. October, 1988.

 Sekretariat Negara R.I., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 28 Mei – 22 Agustus 1945. Jakarta, Sekretariat Negara R.I., 1998.

Simandjuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta, Grafiti Press, 1994.

Swasono, Sri-Edi, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan, Jakarta, UNJ Press, 2004.

Tambunan, A.S.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta, Puporis Publishers, 2002.

Tjokrowinoto, Mulyarto, Distorsi Reformasi: Suatu Kajian Kritis Terhadap Proses Reformasi. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar