Minggu, 25 Oktober 2020

BK PHA IV, POLITIK HUKUM AGRARIA

 


 

BK PHA IV, POLITIK HUKUM AGRARIA

KULIAH IV, SENIN, 26 OKTOBER 2020, JAM 08.30 – 10.30

JURUSAN ; PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH; REINHARD HUTAPEA

 

Pengantar

Dalam kuliah ketiga yang lalu, telah diuraikan Hukum Agraria sebelum UUPA dengan sub-sub sebagai berikut;

·         Hukum Tanah yang dualistik dan pluralistik

·         Hak Hak Penguasaan tanah yang bersumber pada Hukum Tanah Adat dan Hukum Tanah Barat

·         Hukum Tanah Administrasi Pemerintahan Hindia Belanda

Jika mahasiswa sungguh-sungguh mempelajarinya, plus dengan beberapa pertanyaan yang diberikan, dianggap telah memahaminya. Mudah-mudahan seperti itu….tidak sekedar-sekedar atau terpaksa…..namun pun begitu dibawah ini ada beberapa catatan tentang kuliah ketiga tersebut;

1.       Hukum adat yang dijiwai dengan “kekeluargaan dan gotong royong” sebagaimana faktanya masih berlaku hingga saat ini, namun punya kelemahan. Kelemahan ini adalah “tidak tertulis, tidak tegas, dan tidak ada jaminan kepastian hukum

2.      Sebaliknya dengan Hukum Agraria Barat, meski jiwanya liberal-individualistis, mempunyai ketegasan dan kepastian hukum, karena bentuknya yang “tertulis”

3.      Konsekuensi dari Hukum Dualistis ialah, sesama orang Indonesia berlaku Hukum Adat, namun dengan atau jika berhubungan dengan orang asing, yang berlaku adalah Hukum Barat

4.      Sebelum kita merdeka yang berlaku adalah Hukum VOC (Contingenten – Verplichte Levevantieen), yang sifatnya menindas, yang terutama dipraktekkan Daendels Ketika menjadi Gubernur Jenderal Belanda di Indonesia.

5.      Daendels dalam prakteknya telah menciptakan apa ayang disebut “tanah partikelir”, yaitu tanah yang dijual ke pemodal besar, seperti Cina, Arab, dan Belanda sendiri.

6.      Pada tahun 1870 pemerintah Belanda menciptakan Hukum Agraria, yang dinamakan “Agrarische Wet. Stb 1870 No 55…..yakni suatu jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia

7.      Akan tetapi setelah Indonesia merdeka hingga dibentuknya UUPA N0 5 Tahun 1960, parktek hukum dualistis ini masih tetap berlaku. Artinya sejak 15 tahun merdeka, kita masih mempraktekkan hukum kolonial.

Pertanyaan bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini….apakah setelah berlakunya UUPA, dan atau hingga hari ini sudahkah kita menerapkan hukum agraria yang sungguh-sungguh sesuai kebutuhan/kepentingan Indonesia?

Silakan jawab setelah membaca materi kuliah ke empat dibawah ini, yakni “Sejarah Pembentukan UUPA”

CAT: Bahan untuk kuliah ini diambil dari “I Ketut Sudiarta SH MH dkk, 2017, Hukum Agraria, FH Unud, Denpasar”.

SEJARAH PEMBENTUKAN UUPA

3.1 Panitia Agraria Yogyakarta

Usaha-usaha yang kongkrit untuk menyusun dasar dasar

Hukum Agraria Nasional yang akan menggantikan

Hukum Agraria Kolonial, tepatnya tahun 1948 dengan

dibentuknya Panitia Agraria Yogya melalui Penetapan

Presiden Indonesia tanggal 21 Mei 1948 N0.16, berkedudukan

di Yogyakarta dan ditunjuk sebagai ketua panitia adalah

Sarimin Reksodiharjo, Kepala bagian agraria Kementian

Dalam Negeri. Panitia Agraria Yogyakarta mempunyai tugas :

1. Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang

hukum tanah pada umumnya;

2. Merancang dasar-dasar hukum tanah yang memuat

politik agraria NRI;

3. Merancang perubahan, penggantian, pencabutan

peraturan-peraturan lama baik dari sudut legeslatif

maupun dari sudut praktek;

4. Menyelidiki soal-soal lainnya yang berhubungan dengan

hukum tanah.

Selanjutnya mengenai asas-asas yang akan merupakan

dasar-dasar dari hukum agrarian yang baru, Panitia Agraria

Yogya mengusulkan sebagai berikut :

1. Meniadakan asas domein verklaring dan pengakuan hak

ulayat;

2. Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak

perorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat

dibebani hak tanggungan;

25

3. Mengadakan penyelidikan lebih dahulu di negara-negara

lain, terutama Negara-negara tetangga, sebelum

menentukan apakah orang-arang asing dapat pula

memiliki hak milik atas tanah;

4. Mengadakan penetapan luas minimum tanah, agar

supaya para petani kecil dapat hidup layak, dan untuk

jawa diusulkan 2 hektar;

5. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah

dengan tidak memandang macam tanahnya dan untuk

jawa diusulkan 10 hektar, sedangkan luar jawa masih

diperlukan penyelidikan lebih lanjut;

6. Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang

diusulkan oleh panitia Agraria Yogya;

7. Mengadakan pendaftaran tanah milik dan hak-hak

menumpang yang penting.

 

3.2 Panitia Agraria Jakarta

Atas pertimbangan bahwa Panitia Agraria Jogya tidak

lagi sesuai dengan keadaan Negara, maka berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 36 tanggal 19 Maret 1951

Panitian Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia

baru, yaitu berkedudukan di Jakarta, sehingga panitia ini

disebut panitia Agraria Jakarta.

Panitia ini tugasnya hampir sama dengan panitian

agraria yogya dan tidak banyak perubahan yang dapat

dihasilkan karena seringnya ketua mendapat tugas-tugas

keluar dari pemerintah. Panitia Agraria Jakarta diketuai oleh

Sarimin Reksodiharjo, yang kemudian tahun 1953 diganti

oleh Singgih Prapdihardjo.

26

 

3.3 Panitia Agraria Soewahjo

Dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955

tanggal 29 Maret 1955 dibentuk Kementrian Agraria dengan

tugas antara lain mempersiapkan pembentukan perundang-undangan

agrarian nasional yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan

dalam Pasal 38 ayat (3), Pasal 26 dan 37 ayat (1)

UUDS.

Karena melihat tidak banyak yang diharapkan dari

panitia Jakarta, maka tanggal 14 Januari 1956 panitia

tersebut dibubarkan dan dibentuk panitia baru, yaitu :

Panitia Urusan Agraria yang diketuai oleh Soewahjo

Soemodilogo.

Tugas utamanya : mempersiapkan rencana UUPA yang

bersifat nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.

Pada tanggal 1 Januari 1957 Panitia ini berhasil

menyelesaikan tugasnya berupa Naskah Rencana UUPA.

Isi dari naskah tersebut :

1. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat

yang harus ditundukan pada kepentingan umum (Negara);

2. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan Negara atas

dasar ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950; dalam

hukum adat maupun hukum

3. Dualisme hukum agraria dihapuskan, diadakan

kesatuan hukum yang akan membuat lembaga-lembaga

dan unsur-unsur yang baik, baik yang terdapat dalam

hukum adat maupun hukum barat. Jadi tidak dipilih

salah satu hukum sebagai salah satu dasar hukum

agraria baru;

27

4. Menentukan hak-hak tanah : hak milik sebagai hak yang

terkuat, yang berfungsi sosial, juga ada hak usaha, hak

bangunan dan hak pakai;

5. Hak milik hanya dapat dipunyai oleh orang-orang warga

Indonesia, tidak diadakan perbedaan antara warga Negara

asli dan tidak asli. Badan-badan hukum pada asasnya

tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah;

6. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan

minimum luas tanah yang boleh dimiliki seseorang atau

badan hukum;

7. Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan

diusahakan sendiri oleh pemiliknya.

8. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan

penggunaan tanah.

 

3.4 Rancangan Soenarjo

Rancangan dari dari Panitia Soewahjo setelah diadakan

beberapa perubahan diajukan oleh Menteri Agraria yang pada

waktu itu yaitu Soenarjo kepada Dewan Menteri pada

sidangnya 14 Maret 1958.

 Selanjutnya rancangan ini dikenal

dengan sebutan rancangan Soenarjo dan kemudian

rancangan ini diajukan ke DPR.

 

3.5 Rancangan Sadjarwo

1. Berhubung dengan berlakunya kembali UUD 1945 (Dekrit

Presiden 5 Juli 1959), maka rancangan Soenarjo yang

masih memakai UUDS ditarik kembali dengan surat

Presiden 23 Maret 1960 Nomor 1532/HK/1960.

2. Dalam rangka menyesuaikan RUUPA tersebut dengan

UUD 1945 baik pihak DPR maupun kementrian Agraria

Masih selalu mengadakan hubungan dan minta saran dari UGM

3. untuk mengadakan tukar pikiran dan minta penjelasan mengenai RUUPA yang di buat oleh UGM, pada tanggal 29 Desember 1959 Menteri Agraria yang baru, yaitu MR Sadjarwo beserta stafnya yaitu Singgih Parapto Dihardjo, Mr Budiharsono, Mr Soemitro datang ke Yogya untuk mengadakan pembicaraan dengan seksi agraria UGM, pada waktu itu dijabat ole Prof Drs Notonagoro SH, dan Drs Iman Soetinjo

4. hasil penelitian ilmiah seksi agrarian UGM serta konsep RUUPAnya digunakan dalam Menyusun UUPA.

PERTANYAAN

A.   Apa yang dimaksud dengan “hak ulayat”. Jelaskan secara singkat.

B.    Agar petani dapat hidup normal, ia harus diberi tanah 2 HA. Bagaimana pelaksanannya?

C.    Apa yang saudara ketahui tentang kepemilikan tanah saat ini di daerah-daerah? Jelaskan secara ringkas

Jawaban dikirim ke WA atau e mail saya Bersama pertanyaan di atas

Babak Kedua Reforma Agraria Jokowi

Usep Setiawan

Kompas, 9 Oktober 2019

Hari tani nasional 2019 terbilang istimewa. Untuk pertama kali dalam sejarah, Presiden RI berkenan menerima dan berdialog dengan delegasi dari sekitar 5.000 warga yang berdemonstrasi di Istana negara Jakarta. Dialog presiden dengan pimpinan Komite Nasional Pembaruan Agraria membahas catatan kritis dan masukan bagi perbaikan dan percepatan pelaksanaan reforma agrarian. Jokowi berkomitmen memimpin langsung reforma agraria.

Jokowi segera dilantik sebagai Presiden RI periode 2019 – 2024 dan cabinet baru dibentuk. Pada wawancara Kompas TV, Jokowi menyebut kriteria umum para menterinya harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan punya pengalaman tata Kelola. Harus punya keberanian mengeksekusi program. Latar belakang partai atau professional tak dibeda-bedakan. Terpenting kompetensi dan kapabilitas memegang portofolio yang diberikan. Pada 24 September 2019, UU Nomer 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria genap 59 tahun.di era Sukarno, tanggal itu Hari Tani Nasional.

Selama 32 tahun Soeharto berkuasa (1966  1998) 24 September tak pernah dirayakan pemerintah. UUPA diselewengkan, land reform dimusuhi rezim Orde Baru. Semangat, prinsip, dan arah politik agrarian nasional UUPA dipulikan lewat Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. Di era SBY (2004 – 2014), sejak Joyo Winoto jadi kepala BPN (2006 – 2012) 24 september diperingati sebagai Hari Agraria Nasional. BPN bertugas menjalankan reforma agrarian, merujuk Perpres 10/2006 tentang BPN RI. Di era Jokowi dibentuk kementerian Agraria dan Tata Ruang Nasional

Visi Menteri Agraria

Kementerian ATR/BPN memimpin operasional reforma agrarian berdasarkan Tap MPR IX/2001, UUPA 1960, UU RPJMN 2015-2019, Perpres RKP 2017-2018-2019, dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria. Semangat UUPA relative mengaliri program pembangunan yang berkeadilan. Kementerian ATR/BPN sukses melipatgandakan sertifikasi tanah massal gratis melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Jika biasanya BPN menerbitkan 500.000 bidang/pertahun, kini sekitar 3,5 juta bidang/tahun. Rinciannya 14.223.763 bidang (3.641.937 ha), khusus redistribusi tanah 558.700 bidang (418.748 ha) selama empat tahun (Pusdatin K-ATR/BPN per 23/5/2019)

Tiadanya visi Menteri agrarian (2014-2019) atas reforma agrarian sejati meredupkan redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agrarian.menteri agrarian idealnya piawai memimpin penataan struktur agrarian yang timpang dan menuntaskan konflik agrarian structural, di bawah UUPA. Kini, reforma agrarian dijalankan Perpres 86/2018 melalui Gugus Tugas Reforma Agraria kabupaten/kota, provinsi, dan pusat.

Guna mengakselerasinya, Presiden perlu memilih Menteri Agraria dengan kriteria. Pertama, mengerti maslah pokok dan kenapa hal itu muncul. Kedua, paham solusi masalah pokok dan mampu menggerakkan birokrasi. Ketiga, berjiwa pejuang dan cekatan menemukan terobosan. Ke empat, loyalis Presiden dan mampu menggandeng Menteri lain. Ke lima, dekat akademisi dan Gerakan reforma agraria

Visi, misi, dan program aksi Jokowi-Maaruf (2019-2024) punya tiga kegiatan penting reforma agrarian. Pertama, mempercepat pelaksanaan redistribusi asset (reforma agrarian) dan perhutanan social yang tepat sasaran guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tak memiliki lahan/asset untu terlibat dalam kegiatan ekonomi. Kedua, melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan, dan produkasi atas tanah obeyek reforma agrarian dan perhutanan social sehingga lebih produktif. Ketiga, melanjutkan percepatan legalisasi (sertifikasi) atas tanah milik rakyat dan tanah wakaf sehingga memiliki kepastian hukum dan mencegah munculnya sengketa atas tanah.

Menteri Agraria mesti cerdas menata legislasi dan regulasi. Selain mengurus pertanahan dan tata ruang, ia bersinergi dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Pertanian, Kelautan dan Perikanan; Koperasi dan UMKM; Industri dan Pedagangan; Dalam negeri; BUMN, dan Keuangan. Setelah pengesahan RUU Pertanaan ditunda, sebaiknya ia membantu Presiden di babak kedua dalam Menyusun ulang RUU Pertanahan secara demokratis-partisipatif guna mengakselerasi reforma agrarian sejati.

Jika presiden ingin petani miskin jadi subjek utama reforma agrarian, Menteri Agraria harus memastiakn petani miskin menerima cukup tanah dan sertifikatnya. Jika presiden ingin pengusaahan tanah oleh petani produktif melalui koperasi agar kedaulatan pangan mewujud, sang Menteri dan Menteri terkait mengembangkan agro-ekologi agar petani bergotong royong, memberdayakan masyarakat desa. Jika presiden ingin petani jadi tuan di atas tanahnya sendiri, sang Menteri memastikan hal itu sungguh terjadi. Siapa sanggup jadi Menteri Agraria?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar