Jumat, 23 Oktober 2020

MS PTPUU II, PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN

 


 

MS PTPUU II, PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN

KULIAH II, SABTU/24 OKTOBER jam 08.30-10.30

          

JURUSAN PEMERINTAHAN, FISIPOL UDA

          PENGASUH; REINHARD HUTAPEA

MERDEKA……... Kita bertemu lagi pada kuliah II

Catatan: baca sampai Lamp II saja. Setelah itu jawablah pertanyaan-pertanyaan yang ada di bagian akhir. Lampiran III dibaca selesai kuliah.

PARTAI DAN PEMILU DALAM KAJIAN SISTIM POLITIK

Dalam kuliah sebelumnya disebutkan bahwa mata kuliah ini di dekati dari persfektif  sistim politik, karena frasa “proses” yang tercakup dalam judul adalah konsep “sistim politik”. Sistim politik yang didasarkan kepada teorinya David Easton, yakni …sistem interaksi dalam tiap masyarakat dimana di dalamnya alokasi yang mengikat atau yang mengandung otoritas dibuat dan diimplementasikan (SP Varma,1992:275)

Lebih gamblangnya di tulis Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik (2008) yang mengatakan bahwa dalam konsep sistem itu kita temukan istilah-istilah seperti “proses, struktur, dan fungsi”[1]. Proses adalah pola-pola (sosial dan politik) yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antara satu sama lain. Pola-pola ini ada yang jelas kelihatan, adapula yang kurang jelas. Dalam suatu negara, lembaga-lembaga seperti parlemen, partai, birokrasi, sekalipun sudah mempunyai kehidupan sendiri, sebenarnya tak lain dari proses-proses yang pola ulangannya sudah mantap. Mereka mencerminkan struktur tingkah laku. Struktur mencakup lembaga-lembaga formal seperti parlemen, kelompok kepentingan, kepala negara, jaringan komunikasi, dan sebagainya.

Seperti disebutkan di atas, sistim politik menyelenggarakan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Fungsi-fungsi itu adalah membuat keputusan kebijaksanaan yang mengikat mengenai alokasi dari nilai-nilai (baik yang bersifat materil maupun non materil). Keputusan-keputusan kebijaksanaan itu diarahkan kepada tercapainya tujuan-tujuan masyarakat. Sistem politik menghasilkan output yaitu keputusan-keputusan kebijaksanaan yang mengikat. Dengan kata lain; melalui sistem politik tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh keputusan-keputusan kebijaksanaan (ibid Miriam Budiardjo, 2008:57-58).

Dalam kuliah perdana ilustrasi sederhana dari konsep demikian diumpamakan dengan peran, atau musyawarah yang dilakukan Ketua RT terhadap warganya. Sebelum mengambil keputusan, Ketua RT meminta lebih dahulu pendapat-pendapat (agregasi) warga, yang selanjutnya dilakukan “musyawarah”. Setelah musyawarah di ambil kesepakatan yang disetujui oleh semua warga.

Pertanyaan kemudian adalah apakah setiap Ketua RT melakukan pola yang seperti itu? Begitu pula pejabat diatasnya, seperti Ketua RW, Kepala Desa/Lurah, Camat, Bupati, Gubernur, DPR, Presiden melakukan itu? Kalau sudah menempuh pola ini, berarti sistim politik sudah jalan. Kalau sebaliknya, yakni belum menempuh pola seperti ini, sistem politik masih macet. Jangan-jangan macet total…jangan-jangan strukturnya ada, tapi fungsinya entah kemana….ada lembaganya, tapi tak jalan fungsinya….katanya begini, tapi kok begitu….katanya mensejahterakan, tapi mengapa menindas….yang masuk monyet (Input), mengapa yang keluar ular (Output), dan seterusnya- dan seterusnya…. Kalau suasananya seperti itu berarti:

Ø  Proses

Ø  Struktur, dan

Ø  Fungsinya

… sebagai unsur sistim politik masih berantakan, amburadul, acakkadut, alias tak jalan. Dengan kata lain tidak sistemik. Apakah;

*    partai politik, dan

*    pemilu,

 yang menjadi analisis kuliah kita hari ini

§  sudah berjalan sebagaimana mestinya?

§  sudah sesuai dengan teori-teori kepartaian dan kepemiluan?

§  Atau lebih menukik, sudah sesuai dengan yang tertulis dalam UU Kepartaian dan Kepemiluan yang didasarkan kepada UUD 1945?

Jawaban, analisis, atau pembahasannya tidak hitam putih. Tidak sederhana !. Memerlukan pembahasan, perenungan, dengan referensi yang akurat dan dapat dipercaya (valid dan reliable). Nanti ….. setelah selesai kuliah daring/on line ini, para mahasiswa dapat membuka kembali referensi-referensi tentang Partai politik dan Kepemiluan yang sudah dikuliahkan pada mata kuliah “Pengantar Ilmu Politik”. Referensi yang paling memungkinkan dibaca/didapatkan untuk itu adalah bukunya Miriam Budiardjo (ed revisi), 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik.

Pada halaman 397 sampai 461 buku tersebut telah diuraikan sejarah, definisi, dan fungsi Partai Politik secara lengkap. Begitu pula tentang Kepemiluan (Sistem Pemilihan Umum) telah diuraikan secara panjang lebar pada halaman 461 sampai 489.

Sebagai “praksis-empiriknya” hubungkan dengan UU Partai Politik dan UU Pemilu. Sudah sesuaikah? Sudah seiring dengan struktur dan fungsi, atau input dan output sebagaimana teori sistem politik? …….Nanti dibahas lebih lanjut. Sebagai pembuka diskusi untuk konteks itu bacalah artikel popular dibawah ini.

Lamp I

KAPAN PARTAI MENJALANKAN FUNGSINYA ?

Oleh: Reinhard Hutapea

Direktur CEPP PPS UNITAS  Palembang. Staf ahli DPR RI 1999-2009.

Published, Sumsel Post,10 Februari 2016

Saat-saat ini kita sedang menikmati  pertikaian dua partai politik besar, yakni Golkar dan PPP. Dua-duanya sama-sama mengalami perpecahan dalam pimpinan puncaknya. Golkar antara kubu Aburizal Bakrie versus kubu Agung laksono. PPP antara kubu Djan Faridz versus kubu Romarhumuzzi.

Kedua kubu sama-sama mengklaim dirinya paling benar. Paling tepat menjadi pemimpin. Dengan logika yang sering tidak masuk akal , masing-masing pihak saling menyerang. Menyerang kesasaran yang tak jelas, sehingga kalangan diluarnyapun turut terimbas. Terimbas  pendapat yang juga tidak logis.

Sinyalemen demikian dapat kita lihat pada media cetak, audio visual khususnya media-media sosial. Masing-masing kalangan mengeluarkan unek-uneknya tanpa lebih dulu mendalami masalahnya dengan seksama. Yang penting tumpahkan seluruh unek-unek. Masalah itu logis atau sebaliknya, tidak usah dihiraukan.

Konsekwensinya mencuatlah kebebasan argumen yang muaranya hanya untuk kebebasan itu sendiri. Dari kebebasan ke kebebasan. Bukan  untuk mencari titik temu. Kebebasan yang seharusnya menuju konsensus berakhir pada anarkhisme. Masing-masing pihak menganggap argumennya paling benar.

 Tak terkecuali yang namanya ilmuwan sekalipun, turut larut dalam anarkhisme demikian. Dengan pengetahuan yang minim dalam ilmu politik,khususnya ilmu kepartaian, mereka menembakkan pelurunya dengan sasaran yang tak jelas. Peluru nyasar kemana-mana sehingga menambah kebingungan bagi yang mengikutinya

Konflik elit Golkar dan PPP

Supaya tulisan ini tidak terjebak anarkhisme demikian, pendekatan akan disesuaikan dengan persfektif yang lazim digunakan. Pendekatan yang meneropong dari eksistensi suatu partai politik secara teoritik maupun berdasarkan Undang-Undang Kepartaian. Akan kita pertanyakan apakah elit-elit yang bertikai itu ada hubungannya dengan substansi dan hakiki suatu partai politik atau hanya ingin jabatan saja. Untuk ini akan didekati dari tiga faktor penentu, yakni dari definisi, tujuan dan fungsi.

Menurut  UU Partai politik No 8 tahun 2012, partai diartikan sebagai organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia  secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.

Mari  sama-sama kita simak, benarkah Golkar maupun PPP dilahirkan oleh sekelompok warga negara indonesia yang punya kehendak yang sama?. Menurut historisnya Golkar ditampilkan sebagai antisipasi terhadap partai-partai politik yang saling sikut-sikutan pada waktu itu. Supaya tidak terus-terusan terjerat konflik, , pemerintahan Orde Lama/Bung Karno mengajak kalangan-kalangan profesional-kekaryaan membentuk Sekber-Golkar. Jadilah Golkar menjadi kekuatan politik.

Agak beda dengan Golkar namun substansi yang sama, PPP terbentuk adalah atas inisiatif pemerintahan Orde Baru/Soeharto menyederhanakan sistim kepartaian. Beberapa partai politik yang azasnya Islam di dorong bergabung (fusi) dalam satu partai baru. Fusi ini berlangsung pada tahun 1973 dengan nama “Partai Persatuan pembangunan, PPP”.

Mengapa pemerintahan saat itu melakukan kebijakan demikian jawabannya tak mungkin diulas dalam artikel singkat ini. Yang pasti kedua partai itu tidak dibentuk oleh sekelompok warga negara yang punya ideologi yang sama sebagaimana diamanatkan UU No 8 tahun 2012 tersebut. Mereka dibentuk segelintir elit pemerintah yang berkuasa waktu itu.

 Dengan kata lain dibentuk dari atas (top down) bukan dari bawah (bottom up). Oleh karena itu tak perlu heran apabila partai itu tidak mengakar di masyarakat. Bagaimana mengakar wong datangnya dari langit. Akar mereka (Kalaupun ada) hanyalah segelintir elit dalam pranata kekuasaan. Inilah yang dialami Golkar pasca Soeharto.

Soeharto lengser Golkar pun dihujat habis-habisan. Namun apakah untuk memepertahankan eksistensi, atau hanya mencari keuntungan sesaat, beberapa kalangan, terutama dari ex-ex alumni HMI Golkar kembali dibangun. Mereka tetap mempertahankan Golkar meski dihujat habis-habisan.

Akan tetapi sebagaimana kemudian dalam perjalanannya, tetap saja penuh dengan konflik elit. Masing-masing faksi yang ada dalam tubuhnya saling berebut pengaruh untuk berkuasa. Begitu pula PPP tidak terkecuali, tetap terjerat konflik elit. Seakan-akan hanya dari konflik ke konflik, bukan dari konflik ke konsensus (Duverger, M, 1980)

Konsekwensinya tampillah suasana yang tak diinginkan, namun harus diikuti. Dengan munafik kita mendendangkan idealisasi-idealisasi, namun yang dijalankan adalah pragmatisasi-pragmatisasi. Kepada akar rumput didengungkan nilai-nilai normatif, seperti partai adalah jembatan emas antara masyarakat dan negara, pada hal keduanya selalu terpisah. Hal ini dapat kita lihat dalam fungsi partai politik.

 Fungsi yang terabaikan

Dalam UU No 12 tahun 2012   fungsi partai politik adalah ; (1) melakukan pendidikan politik, (2) penciptaan iklim kondusif dan  program kerja kongkrit untuk kesejahteraan masyarakat, (3) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat (4) instrument partisipasi masyarakat, dan (5) rekrutmen jabatan-jabatan politik.

Mari kita simak secara seksama, kapan partai-partai politik melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Kapan mereka menyadarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dengan kasar-vulgar dapat kita sebut bahwa fungsi tersebut belum pernah dilakukan. Apalagi pendidikan politik secara secara terstruktur dan sistemik, sudah pasti semakin jauh.

Oleh karena itu kita tak  paham, apa sesungguhnya yang dikerjakan partai politik setiap hari. Mereka punya kantor, pengurus dan alat-alat perkantoran lain tapi tidak jelas apa output maupun out comenya. Mereka sibuk hanya menjelang pemilu.

Tidak sebagaimana lazimnya suatu kantor yang dikelola secara  “biro dan teknokratis”. Yang dalam pekerjaannya ada hierarkhi, prosedur tertulis, spesialisasi hingga meritokrasi di atas  prinsip “legal-rasional”. Kalau melihat fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Kepartaian, faktor-faktor teknokratis itu seharusnya tersedia.

Analog dengan fungsi-fungsi yang lain, seperti, penciptaan stabilitas/program kerja, agregasi-segregasi-artikulasi politik dan instrumen demokrasi masyarakat tidak pernah dilakukan partai-partai politik. Kecuali fungsi terakhir/kelima, yakni penyedia jabatan-jabatan politik mereka unggul 100%.    

Oleh karena itu bila kita ukur secara  kwantitatif-matematik, artinya diberi angka penilaian (rentang 0 – 100) pada lima fungsi itu, maka akan terlihatlah; fungsi 1, 2, 3 dan 4 angkanya nol persen, sedangkan fungsi terakhir/kelima angkanya 20 persen.

Dengan pendekatan  kwantitatif matematik tersebut dapat dikatakan bahwa partai politik hanya menjalankan 20% dari fungsi semestinya. Angka yang moderat/baik idealnya adalah antara 80 sampai 100, angka sedang, antara 56 sampai 79. Angka 45 sampai 55 lampu merah. Angka atau nilai dibawahnya sudah pasti lonceng kematian, alias  partai sudah menjadi beban masyarakat.

 Telah Menjadi Konsensus

Kalau begitu konstatasinya kita tak perlu kaget kalau elit-elit partai-partai hanya sibuk mengejar jabatan politik. Dengan segala cara para elit-elit tersebut akan mengejar posisi itu sebagaimana yang terjadi pada Golkar dan PPP saat ini. Demikian pula partai-partai yang lain tidak tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama.

Sejarah telah membuktikan siklus demikian. Lalu apa yang dapat kita perbuat? Apakah mengkaji ulang keberadaan bahkan menolaknya?. Salah satu kiat mungkin adalah mengajak mereka yang selama ini anti partai namun bermoral tinggi,  masuk ke dalam partai. Mereka, khususnya para cendekiawan jangan terus diluar, segera masuk kedalam, sebab negeri ini telah konsensus menjadikan partai sebagai instrumen demokrasi. Dengan demikian kedepan partai kita harapkan akan berfungsi maksimal sebagaimana eksistensinya.

Dari deskripsi artikel demikian, adik-adik mahasiswa sudah dapat melihat kira-kira seperti apa partai-partai dinegeri ini. Silahkan tanggapi sendiri…..Selanjutnya sebagai perbandingan akan saya tambahkan dengan pandangan Forum Politisi yang diisiniasi Friedrich Ebert Stiftung Naumann pada tahun 2006.

Forum ini menyoroti mengapa partai-partai dinegeri ini masih begitu besar problemnya (lebih besar pasak dari tiang). Salah satu sorotannya adalah tentang keuangan partai yang tidak jelas. Keuangan partai yang seharusnya transparan, sebagaimana dinegara lain, disini masih bak panggang jauh dari api. Untuk lebih jelasnya mengapa keuangannya seperti itu dilihat dari dua segi, yakni segi internal dan segi eksternal.

Segi Internal.

1.      Pada umumnya persoalan keuangan dalam partai masih merupakan “ruang gelap

2.      Tradisi di dalam (partai) politik di Indonesia berorientasi kepada membangun kekuasaan politik melalui pengendalian keuangan. Siapapun yang mempunyai akses terhadap uang sekaligus mempunyai akses terhadap kekuasaan di dalam partai. Kontrol atas uang merupakan salah satu instrument kendali atas kekuasaan politik itu sendiri. Transparansi, akuntabilitas dari pengelolaan keuangan yang professional dianggap sebagai ancaman oleh elite partai karena harus melepas kontrol atas uang dan demikian atas kekuasaan.

3.      Laporan keuangan sengaja ditutup-tutupi.

4.      Partai politik tidak cukup memiliki data tentang asset-asset partai. Seringkali asetnya atas nama individu-individu. Ketika terjadi konflik internal partai sering juga terjadi pemisahan asset dan partai karena kekayaan atas nama pengurus partai.

5.      Peraturan partai berkaitan dengan pendanaan belum lengkap dan konsisten. Belum ada institusionalisasi dalam partai. Wewenang dan pertanggungjawaban departemen masing-masing belum jelas. Pengelolaan keuangan dan pendekatan penggalangan dana sering bersifat personal, bukan institusinal, dan dilaksanakan secara ad hock tanpa perencanaan yang matang.

6.      Peran bendahara pada umumnya sangat lemah. Fungsinya sebagai kasir saja yang mengeluarkan uang atas perintah pimpinan partai.

7.      Partai politik di Indonesia sangat tergantung dari sumbangan individu-individu. Demikian besar pengaruh pemilik modal atas kebijakan partai membuat kemandirian partai terancam. Pemilik modal dapat memasuki seluruh sektor di dalam partai.

8.      Struktur pendapatan partai tidak seimbang. Sebagian besar berasal dari sumbangan. Iuran anggota mempunyai peran yang kecil.

9.      Pengumpulan iuran anggota sulit karena pada umumnya partai tidak dapat menawarkan semacam keuntungan kepada anggotanya. Kepercayaan masyarakat terhadap partai sangat rendah, maka mereka enggan terlibat dalam partai.

10.  SDM di dalam partai yang berkaitan dengan keuangan sangat lemah. Manajemen dan pelatihan internal kurang diperhatikan.

11.  Pelaporan pertanggung jawaban keuangan partai yang dilakukan lima tahun sekali masih dalam bentuk yang sederhana dan tidak memakai standar pelaporan baku yang sesuai dengan persyaratan auditing publik.

12.  Tidak ada standar pembukuan dan pelaporan untuk semua tingkat partai.

13.  Partai tidak mempunyai peraturan internal yang mengatur tentang pembatasan sumbangan serta penyingkapan nama donator dan jumlah sumbangan.

14.  Akses terhadap laporan keuangan partai politik sulit maka pengawasan internal partai sulit.

15.  Tidak ada badan internal partai yang melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pendanaan partai.

16.  Pada umumnya partai politik tidak mendesain sebuah rencana mengenai pendapatan dan pengeluaran partai. Pembiayaan aktivitas partai sering tidak direncanakan dengan baik sehingga dana untuk program tidak ada atau tidak dapat dicairkan dan sumber dana baru harus dicari.

17.  Tidak ada transparansi dalam distribusi dana partai.

18.  Kerjasama dengan lembaga-lembaga profesional atau masyarakat sipil yang mempunyai kapasitas dalam bidang pengelolaan keuangan masih kurang.

Segi Eksternal

1.      Undang-Undang Partai politik hanya mengatur tentang penggunaan dana partai untuk kampanye pemilu, sedangkan penggunaan dana partai rutin tidak di atur secara detail.

2.      Pelanggaran tentang pelaporan penggunaan dana kampanye partai hanya mendapatkan sanksi berupa teguran secara terbuka oleh KPU.

3.      Tidak ada insentif bagi partai agar menaati peraturan.

4.      Penegakan hukum pada umumnya lemah. Tidak ada tindak lanjut atas pelanggaran peraturan oleh partai politik.

5.      Tidak ada peraturan dan mekanisme yang menjamin akses publik terhadap laporan keuangan partai.

6.      Pengelolaan asset-aset partai tidak diatur secara spesifik dalam dalam Undang-Undang Partai Politik.

7.      Sumber dana partai politik dibatasi karena tidak boleh mendirikan badan usaha.

8.      Tidak ada standar pelaporan keuangan bagi partai politik.

9.      Tidak ada standar akuntansi khusus partai politik.

Selain dengan masalah keuangan yang berada dalam ruang gelap ini, yang juga tetap gelap gulita adalah hubungannya dengan konstiten (pemilihnya). Seperti apa kegelapan ini, Forum Politisi menyimpulkannya sebaga berikut;

a.      Lemahnya pemahaman ideologi dan sistem nilai partai, sehingga ketika timbul suatu persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu dan yang lainnya dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pada hal ketika ideologi menjadi suatu sistem nilai, seharusnya berdampak pada cara berpikir dan menyelesaikan persoalan. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis. Tidak mengherankan bahwa akhirnya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan memilih figure berdasarkan kedekatan, atau yang banyak uang, dan sumbangannya.

b.      Hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada pola hubungan jual-beli/transaksional antara buyer dan seller. Untuk mendapatkan suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan masjid, pembangunan jalan, dan lain-lain.

c.       Hal ini dilestarikan oleh hubungan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenis pasca pemilu. Alih alih membuat desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk memberikan bantuan dan sumbangan yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.

d.      Belum terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, ketika parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentingan komunitas tersebut. Tidak mengherankan ketika pada pemilu, partai A mendapat, katakanlah satu juta suara, namun mereka tidak tahu dari mana suara itu berasal. Hal ini terjadi karena infrastrukturnya belum terbangun.

e.      Suara dalam pemilu sendiri seyogianya merupakan konsekwensi logis dari suatu kesepakatan atau komitmen yang dibangun bersama dalam komunitas, dan parpol menjadi ujung tombaknya.

f.        Belum adanya peraturan partai yang mengatur, mengelaborasi, dan mendesain pola mengenai bagaimana membangun hubungan dengan konstituen. Hubungan dengan konstituen menjadi bersifat individu dan tidak sistemik. seharusnya merupakan kewajiban partai untuk merancang, membangun tradisi dan melembagakan pola hubungan dengan konstituen dalam suatu peraturan partai yang komprehensif.

g.      Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, yakni parpol memakai konstituen sebagai pendulang suara dalam pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai perlu merebut dan mempertahankan kekuasaan. Konstituen diposisikan sebagai subordinat untuk memenuhi keinginan dan kepentingan politik partai.

h.      Komunikasi dan hubungan parpol dengan konstituen pada umumnya masih satu arah, yaitu dari parpol kepada konstituen. Desain program parpol tidak mencerminkan harapan dan kebutuhan konstituen yang diwakilinya.

Lamp II

PILEG 2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?

Oleh : Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang

Published, Analisa, 19 Februari 2019

Susan Rose - Ackerman dalam bukunya Korupsi Pemerintahan (Corruption and Government Causes, Consequences, And Reform, 2000) menyatakan bahwa alat yang paling ampuh untuk menganalisis mengapa terjadi korupsi adalah ilmu ekonomi. Mengapa pakar korupsi kondang dari Yale University itu mengatakan demikian adalah karena motif utama perbuatan serakah itu adalah memperkaya diri melalui institusi-institusi negara, lepas dari legal atau sebaliknya. Bagaimana supaya kaya menjadi kata kuncinya.

Meski tidak dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition (kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi empiriknya. Bukankah Adam Smith bertitah bahwa persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible hand)? Yang pasti dalam realita-praksisnya, persaingan itu hanya menguntungkan si individu yang paling efisien, kuat, licin, dan lihai.

Tidak diluarnya, sebagaimana dititah-teorikan sebelumnya, yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang, karena akan melesatkan kompetisi yang membuat barang-barang, komoditas, dan lain-lain unsur ekonomi menjadi murah dan bermutu. Faktanya tidak seperti itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, kartel, dan lain-lain penyakit kronis ekonomi. Paul Krugman (1995) dengan tegas menudingnya sebagai zero sum game.

Susan Rose - Ackerman yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), menyebut distorsi demikian menyeruak karena negara dan swasta tidak berfungsi semestinya. Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara konsekwen sebagaimana yang tertulis dalam Konstitusinya (UUD, UU, dan lain-lain aturan pendukungnya).

 Katanya/tertulisnya demokrasi, namun yang tampil tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu. Kalau sungguh-sungguh menerapkan demokrasi, sebagaimana pengalaman banyak negara yang menempuhnya, korupsi itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini korupsi malah tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Sungguh suatu dunia yang ironis dan jungkir balik.

Konsepsi demikian (ironi dan jungkir balik) inilah yang terjadi pada pileg 2004, 2009, 2014, dan khususnya pada hari-hari/saat ini, yakni dalam kampanye-kampanye (menuju) pileg 2019. Konsep bias yang semakin mengental, mentradisi, melembaga, yang jika tidak dihentikan akan menjadi kebenaran.

Idealnya semakin lama proses itu berlangsung, sebagaimana konsepsi sistim politik demokratis (David Easton,1950) semakin baik kwalitasnya. Tidakkah input (tuntutan dan dukungan) yang berproses dalam black box (sistim politik) akan menghasilkan out put (keputusan dan kebijakan) yang handal bagi kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan masyarakat?

Disini aneh, justru semakin lama sistim, pola, atau praksis pemilihan satu orang, satu suara, dan satu nilai (One men, One Vote, One Value, OPOVOV) nan proporsional terbuka itu dipraktekkan semakin kacau balau, acakkadut, dan amburadul hasilnya. Masalah, konflik, dan krisis yang dalam pileg-pileg sebelumnya tidak muncul kepermukaan, dalam sistim ini menyeruak dengan kasat mata. Masalah-masalah politik identitas, jeruk makan jeruk, dan terutama politik berbiaya tinggi adalah ilustrasinya.

Biaya Besar

Dalam pileg 2004, yakni ketika pertama kali model pemilihan proporsional terbuka/langsung itu dioperasionalkan, sudah terendus betapa model yang (katanya) sangat demokratis demikian akan berbiaya besar.

Biaya demikian adalah alat-alat peraga kampanye yang sangat banyak dan mahal, seperti iklan di media cetak/audio visual, spanduk, baliho, kaos, klender, selain biaya tim kampanye/event organizer (EO) yang an sich hanya ditimpakan kepada caleg-calegnya. Konsekwensi logisnya para caleg dengan segala kekuatan dan keterbatasannya dipaksa dan terpaksa harus menyediakan dana tersebut apabila ingin survive/menang dalam kontestasi.

Disisi lain, selain biaya alat peraga kampanye dan tim teknis (EO) yang sangat mahal itu, yang membuat kemudian pembiayaan semakin membengkak adalah, sang calon tidak jarang dipungut biaya/mahar, yakni harus bayar uang kepada partai yang mengusungnya. Terutama caleg yang di rekrut dari luar partai, alias bukan kader, apalagi untuk mendapatkan nomor urut atas (nomor 1, 2, dan maksimal no 3).

Tidak cukup disitu. Faktor selanjutnya yang memperbesar pengeluaran adalah biaya pengamanan suara supaya tidak hilang. Biaya yang seharusnya bukan pengeluaran partai/caleg, realitanya tetap terbebani apabila suaranya tidak dicuri/hilang sebagaimana yang ditengarai kerapkali terjadi.

Aktor-aktor yang terlibat disini, terutama adalah saksi, plus koordinatornya. Diperlukan saksi di setiap TPS, yang sudah barang tentu harus dibayar. Meski tidak resmi biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban caleg/partai, seperti untuk penyelenggara pemilihan (PPS, pihak keamanan, Bawaslu, dan KPU) ternyata (juga) harus disediakan. Belum lagi biaya-biaya teknis tak terduga yang selalu muncul mengiringinya, yang jumlahnya cukup significan.

Pembengkakan Biaya

Akan tetapi yang membuat biaya kampanye itu semakin besar berlipat-lipat tak terbatas, adalah mencuatnya pola yang tak lazim (uncommon), yang tak ada dalam aturan pileg. Pola yang sesungguhnya dilarang, diharamkan, dan kampungan, namun menjadi determinant factor (faktor penentu) keunggulan. Metode/pola/kiat  ini adalah yang popular dengan sebutan “suap, sogok, uang pelicin, dan sejenisnya” yang diberikan sang caleg kepada pemilih. Bagaimana caranya?

Cara/metode yang lazim ditempuh pada umumnya adalah mengikuti alur aturan yang sudah tertulis dalam UU Pemilu, namun dalam praksisnya di improvisasi, dibelokkan, atau malah dijungkir balikkan. Dalam artian lain, prosedurnya diikuti, namun substansinya disesuaikan dengan kepentingan sempitnya (vested interest).

Model-model kampanye sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu, seperti (a) pertemuan terbatas, (b) pertemuan tatap muka, (c) pemasangan atribut kampanye, dan (d) Iklan melalui media, tetap menjadi acuan, namun sebatas mekanisme-prosedurnya. Sebagai ilustrasi adalah apa yang dilakukan dalam pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.

Dalam pertemuan tersebut tetap berlangsung imperative UU Pemilu, seperti, penyampaian visi, misi, program, rencana kebijakan publik, trackrecord/rekam jejak, komunikasi/sosialisasi dua arah, dan lain-lain unsur suatu kampanye . Akan tetapi pasca acara itu terjadilah hal-hal yang tidak tertulis dan dilarang dalam UU Pemilu. Tampillah modus-modus misterius, yang siluman, bak hantu disiang bolong, yakni transaksi-transaksi (uang) antara kalangan sang caleg dengan peserta pertemuan.

Namun sebagaimana disinggung di atas, pola demikian, yaitu, yang mengikuti alur-aturan yang ada dalam UU Pemilu barulah tahap awal, dan jembatan kamuflase untuk transaksi yang lebih raksasa. Masalah seperti  apa atau bagaimana agar transaksi/pembagian tersebut tidak terjerat hukum sudah ada metodenya (ahli terlatih untuk itu lebih dari cukup telah tersedia)

Soal berapa jumlah yang harus diberikan (dibagi), sebagaimana penuturan pihak yang pengalaman dalam hal tersebut sangat bervariasi. Ada yang Rp 400.000,-, Rp 300.000, Rp 150.000,- per orang. Tergantung segmen, kelas, atau level masyarakatnya. Bagi kelas menengah, bawah, dan atas sudah pasti berbeda. Bisa jadi hanya puluhan ribu rupiah, namun sebaliknya bisa jutaan. Calo-calo untuk memuluskannya lebih dari cukup telah gentayangan. Apa bedanya dengan calo-calo yang merajalela dalam urusan-urusan publik selama ini? Tidakkah itu telah fenomenologis? Sama saja.

Pembengkakan Biaya

Akan tetapi apapun dalihnya, Pembengkakan pembayaran demikian semakin meroket, mengingat pertemuan-pertemuan terbatas tersebut tidak hanya pertemuan resmi kampanye nan politis. Melainkan telah menerobos pertemuan-pertemuan diluarnya, yakni pertemuan yang bersifat sosial-budaya dan relijius. Pertemuan yang seharusnya tidak etis digunakan sebagai ajang kampanye, namun telah diarah-belokkan kesana.

Pertemuan-pertemuan adat, apalagi pertemuan-pertemuan yang bersifat relijius sebagaimana hakikinya adalah pertemuan yang sakral. Pertemuan yang tujuan utamanya membangun spiritualitas. Bukan pertemuan-pertemuan politik yang an sich mengejar kekuasaan, yang sarat dengan kepentingan-kepentingan sempit (vested interest). Tidak seperti itu

 Namun sebagaimana faktanya pertemuan inipun sudah diwarnai (kalau bukan dinodai) pola-pola komersil yang sarat dengan transaksi-transaksi. Transaksi yang sukar dijerat hukum karena sifat pertemuannya yang bukan politis/kampanye, namun kenyataannya berlangsung kampanye. Modus, penyimpangan, atau kampanye terselubung yang melesat bak jet membelah langit pada pileg 2009 (baca: George Yunus Aditjondro, 2010, Gurita Cikeas), dan (terutama) pada pileg 2014.

Mungkin atas dasar pertimbangan demikian, yakni supaya tidak semakin runyam situasinya, pemerintah bersama DPR mengeluarkan kebijakan, yaitu memberi bantuan alat peraga dan iklan kampanye bagi setiap caleg, dan biaya kampanye ditanggung partai masing-masing (pasal 329 UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk menyediakan/membiayai alat-alat peraga kampanye ditugaskan kepada KPU.

Dalam perjalanan atau fakta-empiriknya, kebijakan demikian (ternyata) tidak banyak pengaruhnya. Malah menurut para petahana yang akan maju kembali dalam pileg 2019, justru sebaliknya yang mengemuka, yakni pembiayaan kampanye semakin berganda hingga 10 X lipat, dan sebagai konsekwensinya para caleg jika ingin menang lagi, harus menyediakan dana minimal Rp 5 M (Tajuk Rencana Kompas, 30 Januari 2019)

Fantastic namun itulah kredonya. Kredo yang diakui sendiri oleh pentolan-pentolan partainya. Hajriyanto Tohari, anggota tim seleksi caleg partai Golkar, nyerocos bahwa ditengah-tengah sistim pemilu berbiaya tinggi yang berlangsung pasca reformasi, tidak dimungkiri bahwa faktor logistik menjadi pertimbangan penting. Siapa yang memenuhi syarat itu? Salah satunya sudah pasti adalah petahana.

Meski mengorbankan kaderisasi, regenerasi, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi kepartaian, yang diutamakan dalam pencalegan tetaplah petahana. Selain memiliki finansil yang memadai, jaringan yang kongkrit, merekapun punya kapasitas/pengalaman yang lebih ketimbang caleg pendatang baru (K 25 Jan 2019).

Tidak begitu beda diutarakan Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PDIP, yakni kemampuan finansial caleg menjadi salah satu pertimbangan partai dalam memberi nomor urut, yakni nomor urut atas. Caleg yang punya uang besar akan didahulukan dari pada caleg yang uangnya kecil.

Analog dengan partai-partai lain, meski tidak bernyanyi seperti Hajriyanto Tohari dan Andreas Hugo Pareira, namun dari urutan-urutan calegnya pada daftar calon tetap (DCT) kelihatan bahwa yang diutamakan adalah petahana (kaum yang sudah punya modal, pengalaman, dan jaringan)

Demokrasi Beli Suara

Ilustrasi lain yang betul-betul biadab dan berbiaya besar adalah pembentukan tim yang sama sekali tidak melakukan kampanye sebagaimana diamanatkan UU, namun langsung memobilisasi dukungan pemilih. Mereka/tim ini bergerak langsung ke sosok-sosok, kantong-kantong, atau segmen konstituen yang dianggap dapat meraup suara.

Kiat yang mereka gunakan pada umumnya adalah gabungan dari pola-pola pemasaran dalam ekonomi, intelijen, hingga siluman. Metode yang jauh lebih strategis ketimbang metode yang dimanatkan UU Pemilu, atau pola kampanye umum, sebab lebih efektif dan efisien. Lokasi, wilayah, atau garapan mereka pada umumnya bisa perkecamatan, perdesa, atau per TPS. Mereka meletakkan orang-orangnya disana.

Jumlah mereka disesuaikan dengan banyaknya konstituen yang dibidik. Bisa besar, sedang, atau kecil. Dari pengakuan seorang caleg yang sudah beberapa kali terpilih, jumlah yang direkrutnya setiap pileg antara 20 sampai 40 orang perkecamatan. Bisa dibayangkan bila dalam satu kabupaten/kota terdiri dari 25 kecamatan, sementara dapilnya 4 kabupaten/kota,berapa besar biaya yang dikeluarkan.?

Tidak sekedar Rp 5 M, sebagaimana disebutkan diatas. Bisa jadi jauh di atas itu. Ironis. Lalu? Sudah waktunya sistim pileg ini dievaluasi. Merdeka

Lamp III

 

Evaluasi Pemilu Serentak 2019

Moch Nurhasim

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Published, Kompas 8 oktober 2019

Pemilu 2019 adalah pemilu serentak pertama di Indonesia. Pemilu ini diyakini sejumlah kalangan akan membawa dampak significan bagi pembenahan sistem politik kita.

Hal itu mungkin terjadi jika efek ekor jas (coattail effect) bekerja dan kecerdasan politik pemilih menjadi dasar bagi konstituen dalam memilih calon, baik calon presiden maupun calon anggota perwakilan (DPR dan DPD). Asumsi itu ternyata tak terbukti. Hasil pemilu 2019 hampir sama, tak berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya yang terpisah antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota perwakilan (DPR dan DPD)

Mengapa asumsi teoritis pemilu serentak meleset? Mengapa keserentakan pemilu tidak dapat mencapai tiga tujuan besarnya, yakni efisiensi anggaran, menghasilkan kekuatan politik yang significan di parlemen yang memperkuat sistem presidensial, dan mendorong penyederhanaan parpol.

Distorsi asumsi akademik.

Penyelenggaraan pemilu serentak 2019 ternyata tak murah dan efisien. Pemilu serentak nyaris tak memberikan insentif memadai bagi partai utama/partai pengusung capres/cawapres, PDI Perjuangan (PDI-P) dan Gerindra mengalami kenaikan tipis 0,38 dan 0,76 persen. Partai yang dianggap memperoleh berkah kenaikan adalah Nasdem, 2,33 persen, meski kenaikan suara Nasdem tak dianggap sebagai dampak dari efek ekor jas karena capres Jokowi lebih lekat sebagai kader PDIP, bukan kader Nasdem. Partai lain yang berkoalisi dengan kubu 01, seperti Golkar, PKB, PPP, dan Hanura, nasibnya tak sebaik Nasdem. PKB yang mengklaim pengusung Maaruf Amin, suaranya hanya naik 0,65 persen. Golkar, Hanura, dan PPP lebih tak beruntung karena turun cukup significan: 2,44 persen, 3,72 persen, dan 2,01 persen. Pada kubu 02, partai yang mengalami kenaikan cukup lumayan PKS, 1,42 persen. Demokrat dan PAN, justru turun, Demokrat terbanyak 3,13 persen, dan PAN 0,75 persen.

Hasil pemilu serentak 2019 kian memperkokoh praktik multipartai ekstrem di Indonesia. Sebagaimana diketahui, hasil pemilu-pemilu d era Reformasi, sejak Pemilu 1999 hingga 2014, selalu gagal menyederhanakan parpol.

Pemilu proporsional yang dikombinasikan sistim multipartai dianggap tak sejalan dengan upaya memperkuat sistem presidensil di Indonesia karena karena multipartai yang dihasilkan pemilu adalah multipartai ekstrem yang menyulitkan presiden dalam membangun koalisi. Tak ada partai pemenang mayoritas minimal karena rata-rata partai pemenang pemilu memperoleh suara di bawah 22 persen. Akibatnya, presiden terpilih dianggap kurang didukung kekuatan parpol yang memadai di parlemen.

Hal itu dibuktikan dari perhitungan effective number of party in parlemen (ENPP) yang dihasilkan pemilu sebelum Pemilu 2019 cenderung besar, berkisar 8-9. Artinya, tingkat kompetisi kekuatan politik di parlemen tergolong terfragmentasi ketimbang terkonsolidasi. Kecenderungan bangunan koalisi yang dibentuk presiden pun dianggap tidak terlalu kuat. Efek pemilu serentak sebenarnya telah diperdebatkan sejak era 1980-an oleh banyak ahli. Perbedaan mengenai apa manfaat atau dampak dari pemilu serentak serta kebenaran pemilu serentak akan menciptakan efek ekor jas dan kecerdasan pemilih menjadi isu akademik yang terus menerus.

Studi Campbell (1960) menghipotesiskan pemilu serentak menyebabkan dua gejala, yaitu gelombang penurunan dan pelonjakan. Pemilu serentak hanya berfungsi sebagai stimulasi politik untuk meningkakan partisipasi. Pola ekor jas presiden AS dalam pemilihan DPR dan Senat berjalan tidak ajek karena pada saat tertentu akan muncul lonjakan suara, tetapi pada saat lain aka nada fenomena penurunan suara. Campbell juga menggarisbawahi kombinasi keserentakan antara presiden dan system pemilu mayoritarian mendorong penguatan partai tertentu. Menariknya, kalau kombinasi dilakukan dengan proporsional hasilnya menunjukkan partai tengah, bukan partai kanan atau kiri, yang diuntungkan. Pengalaman negara yang menerapkan kombinasi yang disebut oleh Campbell dapat menjadi penjelasan mengapa praktik pemilu serentak di Indonesia justru cenderung menguntungkan partai berideologi tengah ketimbang kanan atau kiri. Beberapa bukti lain juga menunjukkan, efek paling nyata dari pemilu serentak hanya meningkatkan partisipasi pemilih. Efek ini telah disebut pada sejumlah literatur yang membahas pemilu serentak sejak era 1980-an, sejak Boyd (1989) merumuskan hipotesis daya Tarik suara bahwa pemilihan serentak meningkatkan jumlah pemilih. Lijphart (1997) juga menilai hal yang sama, bahwa pemilu serentak (dalam waktu bersamaan) dianggap dapat meningkatkan tingkat parisipasi pemilih.

Dari sejumlah kajian mengenai pemilu serentak, sebenarnya terdapat banyak bukti bahwa kajian-kajian sebelumnya tak menjawab bagaimana pengaruhnya terhadap hasil pemilu, apakah pemilu serentak dapat mendorong sistem pemilu proporsional yang efektif untuk menyederhanakan parpol misalnya? Walaupun juga tak dimungkiri di beberapa negara memang ada sedikit efek ekor jas, tetapi pada beberapa negara yang melakkan pemilu serentak, seperti Uruguay, Venezuela, dan Meksiko, serta beberapa negara lain, efek itu juga kurang terlihat secara significan. Atas dasar pengalaman beberapa negara yang menerapkan pemilu serentak, ternyata tak selamanya simultan.

Bahkan, pengalaman pemilu serentak di Brasilia, yang dihasilkan adalah kemenangan partai koalisi, tak mengubah multipartai yang ekstrem, karena Brasil tetap mengombinasikan proporsional dan multipartai. Sementara itu, pengalaman Uruguay juga relative menunjukkan hal yang hampir mirip, pilihan terhadap presiden tidak konkruen dengan pihan terhadap partai politiknya.

Distorsi akademik yang dibangun para perancang UU Pemilu 2019 yang terlalu meyakini asumsi-asumsi awal judicial review, dan kurang mengeksplorasi praktik pemilu serentak menyebabkan ekspektasi public terhadap hasil pemilu serentak tak terjawab. Salah satu alas an mengapa hasil pemilu serentak sama dengan pemilu terpisah karena desain system pemilu yang digunakan tak mengalami perubahan fundamental, khususnya dari sisi besaran daerah pemilihan (district magnitude), rumus konversi suara menjadi kursi, karena penerapan Saintee League (murni) pada dasarnya prinsip kerjanya sama dengan bilangan pembagi pemilih (BPP), dan penerapan ambang batas parlemen yang masih kurang relevan. Menitik beratkan asumsi bahwa keserentakan akan mendorong perubahan peta kekuatan politik dan partai yang sederhana teoritis dan tidak didukung oleh praktik yang ada.

Masihkah dipertahankan?

Dari praktik pemilu serentak 2019, ternyata model pemilu serentak borongan atau pemilu serentak lima kotak, hanya menjamin insentif tingkat partisipasi pemilih. Efek ekor jas dan kecerdasan pemilih sebenarnya belum terbukti. Sementara dari sisi penyelenggaraannya begitu ruwet, rumit, dan kompleks. Beban penyelenggara pemilu di tingkat KPPS juga sangat berat, bahkan ratusan orang akhirnya meninggal.

Belajar dari hasil pemilu dan dampaknya, ke depan kira-kira format keserentakan pemilu yang seperti apa yang mungkin digunakan. Kata mungkin ini berhubungan dengan amar putusan MK No 14/PUU-XI/2013 Tahun 2013 bahwa penyelenggaraan pilpres setelah pemilu anggota Lembaga perwakilan adalah inkonstitusional sehingga untuk pemilu-pemilu yang akan datang, pilpres mesti dilaksanakan secara bersamaan dengan pemilu anggota lembaga perwakilan.

Makna keputusan MK ini pemilu harus diselenggarakan dengan menerapkan minimal dua sistem sekaligus. Pada skema pemilu serentak 2019, ada tiga sistem yang bekerja secara bersama: sistem untuk memilih presiden, anggota legislatif (DPR), dan anggota DPD. Dari pengalaman pemilu 2019, model pemilu borongan lima kotak telah menimbulkan beragam persoalan sehingga mempertahankan format keserentakannya akan menimbulkan perdebatan dan was-was dalam penyelenggaraan. Untuk mengatasi, masih ada dua model keserentakan yang mungkin bisa dipilih dan diterapkan. Pertama, pemilu serentak nasional dan lokal yang terpisah. Pemilu jenis ini adalah pemilu serentak nasional yang memilih presiden dan anggota perwakilan tingkat pusat (DPR dan DPD). Kedua, pemilu eksekutif-legislatif yang terpisah, dimana pemilu eksekutif memilih presiden-kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota) secara bersamaan; sedangkan legislatif adalah memilih anggota perwakilan  DPR-DPD dan DPRD.

Kedua model itu memiliki kelemahan karena tak bisa memberikan jaminan ada tidaknya efek ekor jas, kecerdasan pemilih, dan penyederhanaan partai karena masalah yang diseesaikan adalah masalah penyelenggaraan pemilu supaya tak rumit dan kompleks. Dengan kedua model itu, beban kerja penyelenggara pemilu juga tak terlalu berat. Persoalan efektif atau tidaknya dalam mendorong multipartai yang sederhana, tergantung perubahan sistem pemilu dan aturan teknis yang perlu dimodifikasi.

 

PERTANYAAN

1.     Setelah membaca tulisan ini dan tulisan dua minggu yang lalu, sudah paham apa belum tentang (1) input, (2) output, (3) proses, dan (4) sistim politik? Jelaskan secara singkat.

2.     Mengapa partai-partai di Indonesia belum berfungsi sebagaimana mestinya. Jelaskan secara logis.

3.     Mengapa dalam pemilu terjadi politik uang (money politics). Jelaskan secara sistematis.

4.     Melihat demonstrasi penolakan UU Cilaka/Omnibus Law yang masih berlangsung saat ini terkesan bahwa “p r o s e s” penyusunannya tidak sesuai dengan peraturan atau UU yang ada. Uraikan secara singkat.



[1] Kepada mahasiswa sering saya katakan bahwa banyak lembaga, institusi, atau organisasi di Indonesia yang tidak fungsional. Ada struktur (lembaga, institusi, atau organisasi), tapi fungsinya sangat minimal (bahkan tak berfungsi sama sekali), karena prosesnya sering diabaikan. Contohnya adalah “perguruan tinggi”, yang punya fungsi tridharma (Pendidikan, penelitian, dan pengabdian), namun dalam praksisnya jauh dari yang semestinya. Pendidikannya hanya sekedar-sekedar. Penelitian, apalagi pengabdian, hampir-hampir tak pernah dilakukan. Bagaimana menghasilkan lulusan (output) yang kompeten? Jadilah seperti sekarang ini, punya gelar, tapi kemampuannya tidak sesuai dengan gelarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar