MK HMM II, HUKUM MEDIA MASSA
KULIAH II, 14 OKTOBER 2020, JAM 08.30 – 10.30
JURUSAN KOMUNIKASI FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
CAT: dalam kuliah pertama kemaren ada referensi yang tertinggal, yang saudara harus miliki, yaitu buku pegangan/ajar Hukum Media Massa. Banyak bukunya. Namun yang saya anjurkan adalah yang ditulis Sumadiria, Haris Soenandar, dan Rema Karyanti, 2016, Hukum dan Etika Media Massa, Simbiosan Rekatama Media, Jakarta, atau buku yang di tulis dosen UT, Frida Kusumastuti; Hukum Media Massa.
Kuliah kedua ini pun masih sekitar kuliah pertama, yakni Indonesia adalah negara yang berdasarkan aturan (Hukum/Rechtstaat), bukan negara kekuasaan (Machtstaat), apalagi negara suka-suka/semau gue.
Dalam kuliah kedua dan seterusnya pada setiap akhir materi akan diberikan pertanyaan-pertanyaan. Jawablah melaui WA atau e mail saya reinhardhutapea1959@gmail.com . Kita harapkan kuliah ini juga penuh dengan tanya – jawab, diskusi via WA group.
INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM
orma hukum adalah sistem aturan yang diciptakan oleh lembaga kenegaraan yang ditunjuk melalui mekanisme tertentu. Artinya, hukum diciptakan dan diberlakukan oleh institusi yang memang memiliki kompetensi atau kewenangan dalam membentuk dan memberlakukan hukum, yaitu badan legislatif. Sampai saat ini sistem hukum dalam kehidupan sehari
hari menurut aliran Continental, Anglo Amerika, Islam, dan Adat.
Hukum berkaitan dengan kekuasaan. Hukum mengatur kepentingan orang banyak. Proses pembuatan hukum melibatkan banyak kalangan. Hukum bersifat sudah tertulis dan terkodifikasi yang disebut juga sebagai perundang-undangan. Norma hukum memuat sanksi yang tegas dan akan segera dijatuhkan apabila dilanggar. Prinsip ini nanti untuk membedakan dengan konvensi, kebiasaan di tengah masyarakat yang mengikat secara moral.
Terdapat sejumlah pengertian tentang hukum. Salah satunya adalah sebagai berikut.
Berdasar pengertian ini dapat dilihat arti penting hukum dalam konteks untuk melindungi kehormatan manusia di dalam kehidupan sosialnya. Adanya hukum menjamin terselenggaranya kehidupan sosial yang tertib. Seseorang tidak dapat berlaku sewenang wenang.
Pakar Hukum dari Undip, memaparkan tentang hukum sebagai berikut.
Hukum mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan- kepentingan anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Berdasarkan pengertian di atas, kita dapat menempatkan arti penting peran pemerintah selaku pemegang otoritas. Bahwa hukum dihasilkan oleh lembaga Negara yang memiliki kewenangan.
Hukum sama halnya dengan peraturan lainnya berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial, namun ada perbedaan hukum dengan peraturan lainnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri hukum yang diutarakan L. Pospisil mengenai dasar-dasar hukum, yang dikenal dengan adanya empat ciri hukum atau attribute of law, yaitu:
1. attribute of authority yaitu hukum merupakan keputusan-keputusan penguasa yang tujuannya untuk mengatasi segala ketegangan dan keguncangan yang terjadi di masyarakat;
2. attribute of intention of universal application, yaitu bahwa keputusan- keputusan mempunyai daya jangkau yang panjang untuk masa yang akan datang;
3. attribute of obligation yaitu bahwa keputusan-keputusan penguasa tersebut haruslah berisikan kewajiban-kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua dan sebaliknya;
4. attribute of sanction. Attribute ini menentukan bahwa keputusan- keputusan penguasa harus didukung oleh sanksi, baik berupa sanksi jasmani maupun rohani. (Koentjaraningrat, 1958:321; Soerjono Soekanto, 1980:73-74).
Berdasarkan pemaparan tadi tampak arti penting pendekatan hukum yang berkaitan dengan pihak yang memiliki kewenangan, memiliki cakupan jangka panjang, adanya kewajiban, serta aspek sanksi. Penjelasan di atas memaparkan secara lebih detil tentang prinsip-prinsip hukum yang ada.
Masih berkaitan dengan karakteristik hukum, berikut penjelasan lain bahwa hukum memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan kaidah-kaidah sosial yang lain:
1. Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan yang terdapat dalam masyarakat;
2. Mengatur perbuatan manusia secara lahiriah;
3. Dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan pelaksana hukum. Dalam masyarakat sederhana badan serupa ini dapat berupa kepala adat, dewan para sesepuh, atau lainnya (Soerjono Soekanto, 1980: 75).
Penjelasan ini berkaitan dengan aspek tujuan dari keberadaan hukum serta hakikatnya. Pemaparan ini mengungkapkan juga pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang ada di masyarakat berkaitan dengan hukum.
Sementara itu Fuller memerinci tentang sistem hukum sebagai berikut:
1. suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan;
2. peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan;
3. tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut;
4. peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
5. suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
6. peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
7. tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga menyebabkan seorang akan kehilangan orientasi;
8. harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari hari.
Tidak dapat dipungkiri pelaksanaan hukum atau sistem hukum berkaitan pula dengan nilai dominan atau kondisi kekuasaan dalam suatu masa. Di sini dapat dikaitkan dengan sifat hukum yang dinamis dan berhubungan dengan proses pembuatannya yang berdimensi politik
Berbicara tentang Sistem Hukum secara umum dikenal ada pendekatan Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Berikut uraian masing-masing system hukum berdasarkan pendekatannya, serta Sistem Hukum yang berlaku di Indonesia.
A. SISTEM HUKUM EROPA CONTINENTAL
Sistem hukum ini berkembang di Negara-negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai Civil Law. Sebenarnya semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum masehi. Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari pelbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa
Corpus Juris Civilis perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada corpus juris civilis itu dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di Negara-negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Prancis dan Italia, juga Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu
ena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang
berbentuk undang-undang dan
tersusun secara
hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan-peraturan hukum yang tertulis. Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sistem hukum yang dianut, hakim tidak dapat leluasa menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
eraturan-
peraturan dalam batas-
suatu perkara hanya mengikat para pihak yang beperkara saja (doktrin Res Ajudicata).
Sistem hukum Eropa kontinental penggolongannya ada dua yaitu
kum publik mencakup peraturan- peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa /Negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan Negara. Termasuk dalam hukum publik ini ialah Hukum Tata Negara; Hukum Administrasi Negara; Hukum Pidana.
Hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Yang termasuk dalam hukum privat ialah hukum sipil dan hukum dagang.
B. SISTEM HUKUM ANGLO SAXON
Sistem hukum Anglo Saxon kemudian dikenal dengan se kum mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang
sering disebut sebagai sistem Unwritten Law (tidak tertulis). Sistem hukum Anglo Amerika ini dalam perkembangannya melandasi pula hukum positif di Negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa Negara Asia yang termasuk Negara-negara persemakmuran Inggris dan Australia, selain di Amerika Serikat sendiri.
Sumber hukum dalam sistem hu san-
judicial decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum. Di samping putusan hakim, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-
undang dan peraturan
administrasi negara diakui, walaupun banyak landasan bagi terbentuknya
kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusan- putusan dalam
pengadilan. Dalam sistem
hukum Anglo Amerika
ada
hukum Eropa Continental (R. Abdoel Djamali, S.H, 2005).
Pendekatan hukum di Amerika yang berakar dari tradisi Inggris. Hal pokok dari pendekatan ini adalah bahwa hukum merupakan hasil keputusan hakim di pengadilan. Pendekatan ini memberi ruang bagi hakim untuk memproduksi hukum dan hasil-hasil persidangan akan menjadi rujukan pada keputusan selanjutnya. Berbeda dengan pendekatan Eropa Continental yang menekankan pada rumusan hukum yang sudah tertulis (Roger L. Sadler, 2005).
C. HUKUM INDONESIA
Hukum Indonesia adalah hukum, sistem norma atau sistem aturan yang berlaku di Indonesia. Dengan kata lain yang juga populer digunakan, Hukum Indonesia adalah hukum positif Indonesia, semua hukum yang dipositifkan atau yang sedang berlaku di Indonesia. Membicarakan sistem hukum Indonesia berarti membahas hukum secara sistemik yang berlaku di Indonesia (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.,2004).
Sebagai suatu sistem, hukum Indonesia terdiri atas subsistem atau elemen-elemen hukum yang beraneka, antara lain Hukum Tata Negara (yang bagian bagiannya terdiri dari Hukum Tata Negara dalam arti sempit dan Hukum tata Pemerintah), Hukum Perdata (yang bagian bagiannya terdiri atas Hukum Perdata dalam arti sempit, Hukum Acara Perdata dan Hukum Dagang atau Hukum Bisnis), Hukum Pidana (yang bagian bagiannya terdiri dari Hukum Pidana Umum, Hukum Pidana Tentara, Hukum Pidana Ekonomi serta Hukum Acara Pidana) serta Hukum Internasional (yang terdiri atas Hukum Internasional Publik dan Hukum Perdata Internasional). (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.,2004)
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata kum perdata Eropa yang memiliki sifat continental (hukum yang berlaku dan berkembang di Eropa daratan) adalah konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang pernah terjajah oleh Belanda selama 350 tahun. (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.,2004).
Hukum perdata Eropa yang sekarang berlaku di Indonesia, yang terutama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hasil konkordansi (kebijakan modifikasi dan adaptasi) dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hindia Belanda yang disebut Burgerlieke Wetboek (disingkat BW) serta dalam lingkup yang lebih luas juga berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Hindia Belanda yang disebut Wetboek van Koophandel (WvK) (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd: 2004).
Hukum tertulis menjadi pilihan utama karena jelas sumbernya, walaupun untuk mengubahnya butuh waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Sikap ini pada umumnya diungkapkan oleh kaum praktisi hukum yang berpengaruh paham Kontinetalisme (Eropa Daratan), yang mengagungkan paham hukum tertulis (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd.,2004:124).
D. SEJARAH HUKUM INDONESIA
Hukum di Indonesia cenderung mengacu pada paham Eropa Kontinental. Yakni membedakan antara hukum privat dan publik. Bandingkan dengan tradisi Amerika, yang hanya ada satu hukum yang disebut civil law. Hal ini mengacu pada tradisi Anglo Saxon, yang telah ada di Inggris.
Secara lebih detil, berkaitan dengan karakteristik antara tradisi Eropa Kontinental dan Amerika, dapat dilihat dari gambaran Dr. Nono Anwar Makarim berikut.
Ada suatu studi yang dilakukan para sarjana Harvard dan Universitas Chicago mengenai sistem hukum mana yang paling melindungi penanaman modal dan kreditor. Menurut mereka, yang paling protektif adalah sistem common law, disusul oleh sistem Eropa Kontinental, tapi yang berkultur germanik. Baru kemudian menyusul sistem hukum Eropa Kontinental gaya Prancis. Sayangnya, itulah nenek moyang sistem hukum kita. Seorang sarjana Belanda bilang studi itu terlalu banyak main pukul rata, main generalisasi, tidak mendalam. Saya setuju dengan pendapatnya, dengan tambahan bahwa moral hakim yang bejat di mana pun, dalam sistem hukum apa pun, akan lemah melindungi penanam modal dan kreditor (Dr. Nono Anwar Makarim, 2008).
Berdasarkan pemaparan ini kita dapat melihat karakter dari sejumlah sistem hukum yang ada; sehingga dapat mengenali kelebihan dan kekurangannya. Sekalipun hal ini dalam konteks tradisi hukum Barat, hal ini relevan karena hukum di Indonesia pada kenyataannya mewarisi tradisi
Belanda yang notabene bagian dari sistem di atas. Mengikuti alur berpikir dari analisis di atas, tampaklah dalam konteks di Indonesia terdapat sejumlah kelemahan dalam pendekatan hukum kita yang mewarisi dari Belanda. Tentunya hal ini kelak akan ikut mempengaruhi dalam kehidupan praktek hukum, termasuk dalam konteks hukum media. Hal yang perlu juga untuk diperjelas adalah keterkaitan dengan bagaimana hubungan atau analisis terhadap penggunaan KUHP dalam menyelesaikan persoalan media di Indonesia
Keberadaan hukum di Indonesia mewarisi tradisi kolonial Belanda. Sedangkan Belanda sendiri mewarisi tradisi Eropa Kontinental yang dalam hal ini adalah Prancis. Juga ini berakar dari tradisi Romawi Jerman, sejak abad 13.
Mengamati sejarah perkembangan hukum di Indonesia dapat dilihat pada tahun 1848 ketika kalangan kolonial Belanda melakukan peminggiran terhadap keberadaan hukum adat dan menyusun suatu kodifikasi hukum positif yang terdiri atas dari pembagian ini tampak kategori hukum yang ada yang berkaitan dengan UUD (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie), KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Nederlands Indie), Peraturan Umum tentang Peradilan Hindia Belanda (Reglement op de Rechtelijke Organizatie en het Beleid der Justitie in Nederlands Indie), serta Peraturan Umum tentang Pidana dan Perdata bagi pribumi (Reglement op de Uitoefening van de Politie Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vree Ostertlingen). Namun kemudian dalam perkembangannya, di tahun 1927, pemerintah Belanda kembali mengakomodir hukum adat (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd, 2004).
Momen penting bagi fenomena hukum di Indonesia diantaranya ketika pada tahun 1927 pemerintah Hindia Belanda mengakomodir hukum adat selain hukum yang disiapkan pemerintah kolonial. Dalam perkembangannya, hukum kolonial Belanda tetap digunakan karena belum ada hukum yang dirumuskan sendiri) (Prof. Mr. Dr. R. Soepomo , 1959).
Pada tahun 1927 Pemerintah Hindia Belanda mengubah sikapnya terhadap hukum adat. Sejak tahun itu Pemerintah Hindia Belanda menolak unifikasi terhadap hukum sipil dan menghendaki berlangsungnya hukum adat sebagai hukum yang memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia. Dari sebab itu hukum adat sipil masih tetap berlaku sampai saat ini, oleh karena pada waktu jajahan Jepang, pemerintah militer Jepang membiarkan berlakunya tata hukum sipil Hindia Belanda, sedang sejak Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya tata hukum lama masih tetap berlaku, selama belum diadakan peraturan baru menurut Undang-Undang Dasar kita (Prof. Mr. Dr.
R. Soepomo , 1959).
Bahwa di Indonesia keberadaan hukum warisan Belanda dipertahankan karena memang belum ada Kitab Hukum Pidana baru (Prof. Mr. Dr. R. Soepomo , 1959).
Hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata
data Eropa yang memiliki sifat kontinental (hukum yang berlaku dan berkembang di Eropa daratan) adalah konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang pernah terjajah oleh Belanda selama 350 tahun (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd., 2004).
Hukum perdata Eropa yang sekarang berlaku di Indonesia, yang terutama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hasil konkordansi (kebijakan modifikasi dan adaptasi) dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hindia Belanda yang disebut Burgerlieke Wetboek (disingkat BW) serta dalam lingkup yang lebih luas juga berlaku Kitab Undang-undang Hukum Dagang Hindia Belanda yang disebut Wetboek van Koophandel (WvK) (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd., 2004).
Hukum tertulis menjadi pilihan utama karena jelas sumbernya, walaupun untuk mengubahnya butuh waktu, tenaga serta biaya yang tidak sedikit. Sikap ini pada umumnya diungkapkan oleh kaum praktisi hukum yang berpengaruh paham Kontinentalisme (Eropa Daratan), yang mengagungkan paham hukum tertulis (Ilhami Bisri, S.H., M.Pd., 2004).
E. JERATAN HUKUM PIDANA DAN PERDATA
Setiap pelanggaran hukum akan dikenai jeratan hukum. Sejauh ini dikenal ada dua jeratan hukum yang berlaku. Yaitu jeratan pidana dan jeratan perdata. Dalam modul ini dikenalkan prinsip-prinsip kedua jeratan tersebut.
1. Hukum Pidana
Tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkungannya (R. Abdoel Djamali, S.H , 2005).
Sebelum hukum pidana dikenal sebagai hukum yang bersifat umum (publik), setiap peristiwa yang mengganggu keseimbangan hidup dan merugikan anggota masyarakat yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat masih dianggap sebagai pelanggaran terhadap kepentingan perseorangan (R. Abdoel Djamali, S.H, 2005).
2. Peristiwa Pidana
Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu peristiwa hukum dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Unsur-unsur itu terdiri dari 1) Objektif yaitu suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman hukum; 2) Subjektif yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (R. Abdoel Djamali, S.H., 2005).
Hal yang perlu dimengerti adalah adanya perkembangan subjek hukum pidana yang semula bersifat individu dan tidak dapat dialihkan, ternyata kini sebuah badan hukum juga bisa dianggap sebagai subjek hukum.
Pengaturan hukum pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) yang memiliki asas legalitas tidak ada satu pun tindak kejahatan yang dapat dipidana terkecuali telah diatur menurut Undang-Undang.
Tindak pidana (delik) dibagi menjadi dua, yaitu Delik yang sempurna dilakukan atau suatu tindak pidana tersebut sempurna dilakukan sesuai yang dirumuskan oleh pasal-pasal dalam KUHP, dan kedua Delik yang tidak sempurna dilakukan, yang sering populer dengan istilah percobaan melakukan tindak pidana.
Beberapa delik yang dikatakan sempurna terjadi adalah:
1. Delik formil, yaitu apabila perbuatan yang sudah dimulai, tidak penting dengan akibatnya.
2. Delik materiil, yaitu apabila akibat perbuatan itu sudah ada, tidak menghiraukan bagaimana perbuatan itu dilakukan.
3. Delik formil yang dilakukan dengan alat dan memerlukan waktu yang lama, terdiri dari rangkaian tindakan-tindakan, yaitu apabila alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan itu mulai bekerja/menimbulkan reaksi.
Sementara itu suatu perbuatan dikatakan sebagai delik yang tidak sempurna adalah:
1. Tindakan yang hanya butuh satu tindakan lagi untuk mengakibatkan terjadinya tindak pidana atau disebut juga sebagai tindakan permulaan.
2. Tindak pidana yang gagal bukan karena kehendak si pelaku namun karena sebab dari luar pelaku (karena digagalkan orang lain atau karena situasi)
Hukuman pidana mengutamakan proses pengadilan dan hukumannya bersifat fisik atau dipenjarakan.
Sekedar contoh perbuatan-perbuatan yang bisa dikenai delik pidana menurut KUHP adalah perbuatan yang berkaitan dengan penghilangan nyawa orang lain, penghinaan, pelecehan, dan pencemaran nama baik, menyebarkan permusuhan SARA, keonaran.
3. Hukum Perdata
Berbeda dengan hukum pidana, hukum perdata yang di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP) pada dasarnya mengutamakan mediasi dibanding proses pengadilan. Mediasi dilakukan sebelum suatu perkara masuk ke sidang pengadilan. Peranan pengacara sangat penting dalam hal mediasi ini. Juga berbeda dengan delik pidana yang memiliki sanksi hukuman penjara dan kurungan, sanksi perdata adalah ganti rugi dan menyatakan permintaan maaf kepada yang menggugat.
4. Peristiwa Perdata
Pada dasarnya hukum perdata mengatur dua bentuk pelanggaran, yaitu
(1) ingkar janji, dan (2) perbuatan melawan hukum. Dengan demikian KUHAP pada dasarnya mengatur penyelesaian sengketa antara individu dengan individu, individu dengan sekelompok orang, individu dengan suatu badan hukum, dan antara suatu badan hukum dengan badan hukum yang lain.
Dasar dari ingkar janji adalah adanya suatu kontrak. Sesuatu perbuatan dikatakan sebagai ingkar janji apabila:
1. ada pihak yang tidak melaksanakan apa yang sudah dijanjikan;
2. melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya;
3. melaksanakan apa yang dijanjikan namun terlambat dari kesepakatan, atau
4. melakukan sesuatu yang menurut kontrak atau perjanjian tidak boleh dilakukan.
Sementara itu sebuah perbuatan dikatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum adalah jika memenuhi salah satu atau gabungan beberapa unsur berikut.
1. Pihak (orang, lembaga, badan usaha) tidak melakukan kewajiban hukum yang seharusnya dilakukan.
2. Perbuatan itu melanggar hak subjektif orang lain.
3. Perbuatan itu melanggar kesusilaan, keharusan yang diindahkan dalam pergaulan hidup baik terhadap orang lain maupun barang. Hal ini sering juga disebut melanggar asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam bertindak.
Unsur-unsur tadi seolah memberi kesan bahwa perbuatan yang dianggap melawan hukum begitu longgarnya, apalagi unsur soal kesusilaan, kepatutan. Untuk itu ada satu lagi syarat yang perlu dihubungkan dengan unsur-unsur yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan tersebut merugikan orang lain dalam hubungan sebab akibat langsung. Sehingga sebuah perbuatan melawan hukum masuk dalam delik aduan. Yaitu apabila ada pihak yang mengadukan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang merugikan. Hukuman bagi pelaku pelanggaran ini umumnya berupa ganti rugi yang dapat dinilai dengan uang..
Banyak peristiwa yang bisa digunakan sebagai contoh peristiwa perdata, antara lain penipuan, melepaskan diri dari tanggung jawab, penghinaan, dan perkosaan,. Nah, dengan demikian jelas bukan apa yang membedakan peristiwa hukum pidana dan hukum perdata?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar