BS P I, PANCASILA
KULIAH I, 12 OKTOBER 2020, JAM 17.00 – 19.00
JURUSAN PEMERINTAHAN/KOMUNIKASI, FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Pengantar
Kuliah virtual – daring – on line adalah keniscayaan. Tidak hanya karena Covid-19, namun sudah dipraktekkan banyak institusi sebelumnya. Universitas terbuka (UT) adalah fenomena pertama kuliah on line, sudah hampir empat dekade. Begitu pula institusi-institusi Pendidikan di luar negeri, sudah banyak yang mempraktekkannya. Di Indonesia, Bina Nusantara (Binus) adalah perguruan Tinggi yang kuliahnya 80 persen sudah on line.
Kunci belajarya sama dengan kuliah tatap muka, yakni ada kemauan (will), kemauan untuk rajin, bahkan rakus membaca, diskusi, dan menulis.
Cat; Jika ada hal yang tidak dipahami dalam kuliah ini, silakan tulis di WA grop
⌂
Tentang Mata Kuliah/Sillabus
Mata kuliah Pancasila adalah mata kuliah yang membahas tentang sejarah lahirnya, perumusannya, kedudukannya sebagai sistem filsafat, ideologi bangsa, dasar negara, etika politik, dan implementasi pelaksanaannya, yakni implementasi masing-masing silanya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Deskripsi, pembahasan, atau penguraiannya akan dibuat dalam 12 X pertemuan, yakni;
1. Argumentasi mengapa dilakukan Pendidikan Pancasila
2. Sejarah peradaban dan persatuan bangsa
3. Pancasila sebagai sistim filsafat
4. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa
5. Pancasila sebagai dasar negara
6. Pancasila sebagai etika politik
7. Implementasi sila I
8. Implementasi Sila II
9. Implementasi Sila III
10. Implementasi Sila IV.
11. Implementasi Sila V
12. Kuliah penutup
⌂
REFERENSI – PUSTAKA
Dirjen Dikti, Pendidikan Pancasila, Dirjen Dikti, Kemendikbud, Jakarta
CST Kansil, 2000, Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Reinhard Hutapea, 1998, Soekarno, Nasionalisme, dan Globalisasi, PKNWK Untag, Jakarta.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta.
Soekarno, Pidato Lahirnya Pancasila.
Soekarno, Indonesia Menggugat.
Yudi Latif, 2016, NegaraParipurna; Historisitas, Aktualitas, dan Implementasi Pancasila, PT Gramedia, Jakarta.
----------, Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta
Sebagai pemanasan kuliah I/perdana ini bacalah tulisan-tulisan saya dibawah ini . Tulisan yang sudah dipublikasikan di beberapa media. Dengan membacanya, saudara-saudara diharpakan tidak saja mendapatkan informasi, namun jauh di atasnya, agar saudara-saudara juga bisa menulis. Sebagai intelektual harus sanggup mengkomunikasikan pemikirannya, baik lisan, dan tertulis.
⌂
KEMANUSIAAN SEBAGAI INTI PANCASILA
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI, dan
Staf pengajar Fisipol UDA Medan/Fisipol Unitas Palembang
Published, Rakyat Sumut.com, 9 juni 2020
1 juni 2020, Pancasila genap berusia 75 tahun. Suatu usia yang jika dihubungkan dengan manusia sesungguhnya sudah tua, namun jika direlasikan dengan perjalanan suatu bangsa, jawabannya relatif. Bisa disebut sudah dewasa, namun bisa juga sebaliknya. Kalau sudah dewasa, seharusnya implementasi nilai-nilainya sudah dirasakan masyarakat, namun faktanya masih jauh dari idealisasi demikian. Dan itu masih penuh perdebatan, yang tentunya bukan tujuan penulisan ini, melainkan memori atau historisitasnya, sebagaimana kata penggalinya “Jasmerah”, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Menurut sejarah, kita sudah paham bahwa ketika Pancasila di rumuskan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno, suasana dunia saat itu masih diwarnai “Imperialisme dan Kolonialisme”, yakni banyak negara yang masih terjajah. Terjajah oleh imperium negara-negara Barat/Eropa, yang kemaruk hasil-hasil kekayaan alam negara jajahan. Tidak terkecuali Indonesia yang sekian abad dijajah Belanda. Betapa pedih, sengasara, dan menderitanya, suatu bangsa jajahan, rasanya tak perlu lagi diuraikan, sebab semua sudah memahaminya.
Semua paham bahwa imperialism-kolonialisme adalah inhuman, melanggar kemanusiaan alias dehumanisasi. Oleh karena itulah perumus Pancasila, khususnya Bung Karno, dengan tekad yang kuat mencantumkan “Kemanusian” sebagai salah satu sila utamanya. Sila yang juga diangkat dari titah-titah tokoh dunia saat itu, seperti pemikir besar Sosialis, AA Baars, pendiri China, Dr Sun Yat Sen, yang menorehkan San Min Chui (nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme), serta Bapak India, Mahatma Gandhi, yang mengumandangkan “my nationalism is humanity” (nasionalisme saya adalah kemanusiaan).
Pemikiran yang jika ditilik lebih jauh, sesungguhnya tidak baru, tidak istimewa, karena hakiki kemanusiaan sudah melekat (inheren) pada kehidupan atau manusia itu sendiri, sebagaimana pesaan setiap “budaya”, dan titah yang diajarkan “Pencipta” dalam kitab-kitab sucinya. Pemikiran yang biasa saja, pemikiran yang sesungguhnya, justru paling dipahami oleh penjajah/kolonial, namun entah mengapa, mereka tetap saja melabraknya.
Mustahil/Non sense, penjajah yang katanya adalah bangsa/negara yang berbudaya tinggi, yang berTuhan, yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologis, serta yang memiliki kelebihan-kelebihan yang lain tidak memahami penjajahan sebagai inhuman. Namun sebagaimana disebut sebelumnya, mereka tetap saja menabraknya. Tetap saja birahinya lebih utama dari akal sehatnya.
Menolak Perang Dingin
Konstatasi yang membenarkan pandangan kaum realis, dan atau khususnya kalangan Marxis, yakni (bahwa) kehidupan itu pada dasarnya adalah konfliktual, antagonistik, dan anarchis, yang harus diselesaikan dengan jalan kekerasan, atau perang. Tidak dengan jalan damai yang lebih soft, seperti dialog, bujukan, persuasi, atau diplomasi sebagaimana diajarkan para moralis atau kaum idealis.
Fakta-empirik terhadap pandangan ekstrim demikian, dapat dilihat, ketika Perang Dunia II selesai, yang ditandai dengan bertekuk lututnya Jepang terhadap Sekutu, yang dipimpin AS, tidak membuat perang selesai. Perang pembebasan kemerdekaan dimana-mana masih terus berlangsung, pada hal setahun sebelumnya, (tahun 1944), baru saja dibentuk Lembaga yang tujuan utamanya menghindari perang dan menciptakan perdamaian, yakni Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB/UNO).
Diseluruh penjuru dunia, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pendudukan (ooccupation) yang ditopang militer masih terus berlangsung. Imperialism/Kolonialisme sebagaimana era sebelumnya, tetap bercokol di ketiga wilayah itu. Sang kolonial terus menjajah dengan dengan segala pola dan variannya, sebagai konsekwensi dari power politics yang berubah, yakni tampilnya dua raksasa baru, (yang sebelumnya tidak terlibat kolonialisme), yakni AS dan Uni Soviet.
Kedua super power ini, diam-diam melesat syahwat kolonialnya, sebagaimana yang dipraktekkan sekutu-sekutunya. Mereka terlibat dalam perang baru yang namanya terkenal dengan sebutan perang dingin (cold war). Perang yang tidak frontal antar mereka, melainkan perang yang melibatkan negara lain sebagai ajangnya. Mereka yang perang, namun negara-negara lain yang korban utama.
Perang yang nyaris menyeret seluruh negara terjun perang dunia III, kalau saja, Mc Arthur, panglima perang AS dalam Perang Korea saat itu, tidak ditarik Washington pulang ke negerinya. Arthur sebagaimana sejarahnya, telah berencana meluaskan perang melewati Korea (hingga China), dan akan meledakkan senjata-senjata pemusnah baru disana.
Namun sebelum ide gila itu diwujudkan, ia (Arthur) ditarik ke Washington oleh Harry S Truman, (presiden AS saat itu). Ia digantikan Letjen Matthew B. Ridgway, seorang militer yang lebih memilih jalan diplomasi(soft), dialog, dan persuasi ketimbang persfektif perang. Meminjam Clausewitz (ahli perang dari Jerman), diplomasi sebagai kelanjutan perang
Dengan segala pertimbangan realis dan idealisnya, yakni membludak/banyaknya manusia, dan atau khususnya tentara yang tewas, besarnya kerugian materil/moril, plus kekuatan lawan (Korea Utara) yang disokong China dan Uni Soviet dengan persenjataan yang semakin besar, akhirnya memaksa kedua pihak menempuh kesepakatan, yakni gencatan senjata (cease fire) pada tahun 1953.
Kesepakatan yang hingga hari ini belum berubah, yakni kedua negara secara hukum masih dalam suasana perang, belum dalam suasana damai. Suasana yang terus langgeng, karena kedua pihak yang berseteru, yakni AS yang berpaham Liberal-Kapitalis, dan Uni Soviet yang beraliran Sosialis-Komunis tetap menghadirkan militernya dalam jumlah besar disana (siap-siap jika perang Meletus).
Keadaan yang dalam perjalanan selanjutnya, terus meningkatkan ketegangan dunia. Ketegangan yang terus tereskalasi, sebab kedua adi kuasa berlomba-lomba membangun militer dan persenjataannya secara besar-besaran. Termasuk pembangunan pakta-pakta pertahanan ang disponsori AS, seperti NATO di Atlantik, SEATO di Asia tenggara, Cento di Asia Tengah, perjanjian militer AS-Jepang, yang mengijinkan Okinawa sebagai pangkalan milter AS, dan yang disponsori seterunya, yakni Uni Sovet membangun pakta pertahanan yang bernawa Pakta Warsawa (Warsaw pact).
Keadaan yang selanjutnya melesatkan apa yang disebut “polisi dunia, tanpa pemerintahan dunia”. Kedua pihak melakukan maneuver, patroli, dan menebar ancaman dimana-mana. Di seluruh penjuru dunia yang letaknya strategis ditempatkan moncong-moncong nuklir/rudal yang setiap saat siap diledakkan, namun tidak di ledak-ledakkan. Hanya show of force untuk menakut-nakuti pihak lawan, dan negara-negara lain yang tak mendukungnya. Dunia seakan-akan hanya milik mereka berdua.
Menegakkan Kemanusiaan
Negara-negara lain, khususnya Indonesia, yang tidak sepaham dengan politik jahanam demikian, dengan perlahan menyusun perlawanan moral (moral force). Negara-negara ini berpandangan bahwa dunia ini tidak hanya milik AS plus sekutu-sekutunya yang berpaham “Liberalis-Kapitalis”, dan Uni Soviet dengan sekutu-sekutunya, yang “Sosialis-Komunis”, melainkan negara-negara nasional yang cinta damai dan kemerdekaan.
Dengan dimotori Indonesia, negara-negara yang berpaham nasionalistik ini, berketetapan hati tidak akan terlibat perang dingin, dan tidak mengikuti pola-pola yang mereka paksakan, yakni harus masuk salah satu diantara mereka. Tidak !. Dengan landasan Pancasila, Indonesia yang dipimpin tokoh-tokoh nasionalis, menggalang negara-negara lain (yang sepaham) melakukan perlawanan moral, yang diwujudkan dalam Konperensi Asia Afrika April 1955.
Konperensi yang dihadiri bangsa-bangsa Asia- Afrika yang sudah merdeka maupun terjajah, yang melahirkan 10 kesepakatan (Dasa Sila Bandung), yang intinya hidup berdampingan secara damai (peacefull co existence). Pada intinya Indonesia, dan negara-negara Asia-Afrika menolak Imperialisme, Kapitalisme, dan Kolonialisme, sebab mengalienasi kemanusiaan dari habitatnya.
Keinginan luhur yang kemudian ditekankan Bung Karno ketika berpidato dalam Sidang Umum PBB XV, 30 september 1960. Kala itu Bung Karno mengkritik habis konsep Barat, baik yang Liberal-kapitalis, maupun yang Sosialis-Komunis, yang membuahkan penjajahan dan kesengsaraan bagi ummat manusia. Puncaknya adalah ketika lahirnya Gerakan Non Blok (Non Aligned) di Beograd/Belgrado, Yugoslavia tahun 1961. Gerakan yang jauh lebih luas dari anggota KAA, dan terang-terangan menolak Imperialisme, Kapitalisme, dan Kolonialisme dalam segala manifestasinya.
Era emas politik luar negeri Indonesia, yang tidak pernah lagi terjadi sejak Bung Karno dilengserkan dari singgsana kekuasaan. Merdeka !
NILAI-NILAI PANCASILA SEMAKIN DITINGGALKAN ?
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar FISIP UDA Medan, Staf Ahli DPR RI 2000-2009
Setiap tanggal 1 Juni negeri ini selalu konsisten memperingati hari lahirnya Pancasila. Dari sejak dilahirkan hingga hari ini, peringatannya selalu dirayakan secara meriah, yang tak jarang begitu dramatis. Bagaimana penggalinya, yakni Bung Karno membidani lahirnya dasar negara tersebut pada tanggal 1 Juni 1945 adalah puncak dramatisasinya.
Akan tetapi selesai acara tersebut, seketika itu juga hilang dramatisasinya. Dramatis bahkan sakral di acara, sebaliknya setelah di luar acara. Begitulah pengalaman penulis selama mengikuti acara-acara peringatan hari lahirnya Pancasila sejak era Orde Baru yang dikenal sangat otoriter, hingga era reformasi yang terus terjebak transisional. Mungkin demikian juga tahun ini dan barangkali ke tahun-tahun yang akan datang, yakni hanya ramai ketika dirayakan, sepi setelahnya.
Mengapa bisa seperti itu? jawabannya sangat sederhana. Tidak ada hubungan perayaan dengan realitas sehari-hari. Perayaan tinggal perayaan, realita tetap realita, kehidupan rakyat, bangsa dan negara nyaris tanpa perubahan. Kesejahteraan dan keadilan sosial yang diharapkan pasca proklamasi tetap hanya sebatas slogan dan tulisan yang indah.
Oleh karena itu tidak berlebihan bila ada kalangan yang berpendapat bahwa negeri ini sesungguhnya belum pernah merdeka. Ia hanya pernah teriak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, sesudahnya kembali terjajah lagi. Bagaimana sampai kepada sinyalemen ini akan diuraikan dibawah ini.
Jurang Harapan dan Kenyataan
Setelah merdeka, negeri ini harus menghadapi agresi kolonial Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka. Dengan segala kelicikannya Belanda terus melakukan agresi dan politik pecah belah hingga berakhir tahun 1949 dengan perjanjian meja bundar. Anehnya dalam perjanjian tersebut kita disuruh Belanda mengganti kerugian yang mereka alami, meski Bung Karno tak pernah membayarnya.
Tidak cukup disitu yang lebih gawat adalah merebaknya perang dingin antara dua kubu yang bertolak belakang. Kubu Liberal-Kapitalis yang dimotori Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya berhadapan dengan kubu Sosialis-Komunis yang dipelopori Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang mempengaruhi seluruh negara-negara di dunia ini, tidak terkecuali Indonesia.
Indonesia ditarik kesana-kemari, ke Timur, ke Barat hingga membuat pemerintahan yang masih baru terbentuk kalang kabut menghadapinya. Apalagi saat itu masih banyak pihak yang belum dapat menerima kenyataan terhadap kemerdekaan maupun para pemimpinnya, yang bermuara kepada separatisme (PRRI/Permesta dan DI/TII) membuat pemerintah hampir-hampir tidak bisa melakukan pembangunan.
Pemerintah hanya sibuk memadamkan kebakaran yang dilakukan pihak separatis plus menghadapi ancaman perang dingin yang dimotori AS dan Uni Soviet. Puncaknya adalah krisis 1965 yang dikenal dengan G 30 S, yang membuat perubahan radikal dalam pemerintahan Indonesia. Bung Karno digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Soeharto yang betul-betul merubah tatanan ekonomi-politik secara significan. Apa yang diterapkan pada era Bung Karno nyaris berubah 180 derajad.
Dengan slogan “politik no ekonomi yes” rezim Soeharto mempraksiskan pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan (growth). Suatu model pembangunan ekonomi yang lebih mengutamakan pertumbuhan kapital dengan mengorbankan pemerataan. Dengan bertumbuhnya kapital seperti pengusaha-pengusaha besar diharapkan akan meneteskan hasilnya ke bawah, sehingga seluruh rakyat nantinya akan sejahtera. Bagaimana kenyataannya sudah sama-sama kita ketahui, konsep itu gagal total.
Yang menikmati hasil pembangunan demikian konon hanyalah segelintir elit yakni para pengusaha-pengusaha yang populer dengan sebutan konglomerat dan segelintir para birokrat. Selebihnya , yakni mayoritas masyarakat terbelit kemiskinan, kesengsaraan dan ketidakadilan. Sesuai dengan teori Peter Evans (1980), Tripple Alliance alias persekutuan segitiga, yakni MNCs, State and Local Bourgeoise, rakyat tidak mendapat tempat dalam pola tersebut.
Sebagaimana setting historisnya pola demikian pun ternyata mengalami kegagalan total, terbukti dengan krisis moneter 1997 yang akhirnya melengserkan Soeharto dari singgasana kekuasaan. Soeharto jatuh setelah sebelumnya bertekuk lutut dengan 50 LOI dihadapan IMF. Tampillah era reformasi yang meniupkan kehidupan yang lebih baik, yang lebih bebas, sejahtera dan adil.
Kebebasan memang mengemuka, namun tidak akan kesejahteraan, apalagi keadilan. Ada jarak, tepatnya jurang antara yang diharapkan dengan kenyataan.Jurang demikian dapat kita lihat dari survey yang dilakukan Kompas tanggal 27-29 mei 2015. Dalam Survey yang mengambil tiga faktor utama, yakni “nilai-nilai Pancasila, sikap dan perilaku elit politik dan kebijakan pemerintah” diperoleh angka sebagai berikut; akan nilai-nilai Pancasila yang sudah dilaksanakan menurut pendapat masyarakat baru sekitar 37,2%, → sekitar 1/3nya, dengan perincian sebagai berikut; sila pertama 45,9%, sila kedua 46,1%, sila ketiga 41,5%, sila ke empat 42,3% dan sila ke lima 15,%.
Sedangkan terhadap perilaku elit, yakni para pejabat atau pemimpin dalam menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa, apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila, masih ibarat langit dan bumi. 75% masyarakat berpendapat tidak sesuai. Apa yang dilakukan elit selalu bias dari nilai-nilai Pancasila. Tidak begitu jauh dengan kebijakanyang ditempuh pemerintah apakah sudah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai Pancasila ada di angka 33,4%, artinya baru 1/3nya yang dilaksanakan, selebihnya belum.
Pancasila semakin ditinggalkan?
Meski survey tersebut dilakukan dua tahun yang lalu, keadaannya tidak lebih baik hari ini. Malah sebaliknya semakin besar mengingat issu-issu yang berkembang akhir-akhir ini cukup mengenaskan. Beratnya kehidupan ekonomi, banyaknya elit yang tertangkap tangan korupsi, maraknya kriminalitas, narkotika dan terutama yang kita hadapi hari-hari ini, yakni maraknya radikalisme, intoleransi, dan politik identitas adalah beberapa contoh betapa keadaan tidak lebih baik dibandingkan tahun yang lalu.
Konstatasi ini akan semakin runyam apabila dihubungkan dengan kebijakan ekonomi yang kecenderungannya tetap atau semakin liberal. Tanpa persiapan yang memadai kita telah menerima konsep Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tanpa syarat, begitu pula dikte-dikte IMF, World Bank dan WTO. Tidakkah itu bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar perekonomian kita?, atau lebih kongkritnya tidakkah itu bertentangan dengan sila ke lima Pancasila?. Masih banyak ilustrasi-ilustrasi lain yang menunjukkan betapa nilai-nilai Pancasila itu semakin ditinggalkan.
MENARIK PANCASILA DARI LANGIT KE BUMI
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Waspada, 13 Mei 2019
Dalam era reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke langit. Tidak saja perekonomiannya semakin liberal-kapitalistik, jauh dari keadilan social (sila ke lima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945
Mungkin hanya di Indonesia yang ada debat ideologi dalam kontestasi program capres di layar kaca televisi. Dinegeri lain yang sudah lazim melakukan pemilu, yang diperdebatkan hanyalah program kerja. Tidak ada perdebatan dengan ideologi, sebab ideologi umumnya sudah given-final, tak perlu lagi diutak-atik dalam kampanye.
Jadi agak aneh jika ideologi masih diudak-udak. Tidakkah ia dengan sendirinya telah mewarnai seluruh program-kebijakan yang dijalankan? Tidakkah ia menjadi hulu dan hilirnya? Meminjam Yudi Latif ideologi itu sudah final, sebab ideologi adalah falsafah (philosopische grondslag), teropong untuk memandang (Weltanschauung), dan bintang penuntun (leitstern) seluruh program/pembangunan yang dilakukan siapapun, dari partai manapun yang kelak memerintah-menjalankan kekuasaan (K, 4 April 2019)
Oleh karena itu sudah jelas ideologi sudah given, dan tidak tepat apabila diperdebatkan dalam layar kaca TV. Apalagi kalau disejajarkan dengan bidang-bidang lain, seperti pemerintahan, pertahanan-keamanan, hubungan internasional, ekonomi, kesejahteraan, dan lain-lain program turunannya. Aneh itu !. Tak lazim! Tapi mengapa dipraksiskan?
Problem Laten
Tidak ada jawaban yang tunggal, dan hitam putih. Tergantung persfektif, hipotesis, konsep, paradigma, dan lain-lain pendekatan yang digunakan. Pendekatan kiri sudah tentu meniliknya dari kepentingan massa, sebaliknya pendekatan kanan akan meneropongnya dari elit, . pendekatan lain, lain lagi. Singkatnya, tidak ada jawaban yang tunggal karena masalahnya cukup jamak, abstrak, dan plural.
Namun sebagaimana hakiki dari setiap fenomena, bahkan anomali yang melesat kepermukaan, tidak mungkin berdiri sendiri. Pasti ada penyebab, pemantik atau latar belakangnya. Agak aneh rasanya kalau tiba-tiba, bak haliintar disiang bolong, KPU memprogramkan debat kalau tidak ada argumentasinya. Apalagi lembaga ini (KPU) memiliki/dinaungi sekian pakar-pakar kenamaan. Non sens kalau tidak ada argumentasinya.
Argumentasi ini mungkin sebagaimana banyak disuarakan berbagai kalangan sejak lama, adalah adanya diskrepansi, jarak, atau jurang antara idealita dan realita/praksis Pancasila. Antara das sein dan das sollen, atau meminjam konsepnyaTed Robert Gurr (1960) tampilnya jurang (Deprivasi Relatif, DR) antara harapan (Value Expectation, VE) dan kenyataan (Value Capabilities, VC) dalam praktek Pancasila
Sinyalemen demikian, paling tidak dapat dibaca dari pernyataan Azyumardi Azra satu hari sebelum debat dilakukan. Beliau (Azyumardi Azra) menengarai bahwa selama ini pembicaraan, pembahasan, atau diskursus ideologi (Pancasila) cenderung hanya sebatas retorika, alias permainan kata-kata (euphemism, verbalism). Pada hal yang ditunggu masyarakyat adalah sikap dan program yang kongkrit dan empirik.
Tidak sebatas permainan kata-kata (retorika) yang indan, yang tak terukur, normatif, atau kualitatif belaka. Atau juga tidak sebatas mitos an sich. Perlu kejelasan konsep, teori,atau paradigma yang akurat (logos) tentang sistim dan strukturnya. Begitu pula penjabaran dan rumusan detil ikhtiar mencapainya, sehingga kelak menjadi ilmu atau etos kerja bangsa, negara, dan masyarakat. Kongkritnya bagaimana masyarakat paham bahwa Pancasila telah direvitalisasi dan diresosialisasi (K, 30 maret 2019).
Sinyalemen lain yang cukup menohok dikemukakan mantan ketua Badan Pengembangan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudi Latif. Menurut Yudi sejak lama telah terjadi inkonsistensi dalam pengamalan Pancasila. Kebijakan pembangunan yang dijalankan sering berjalan sendiri-sendiri dan sesuka-suka, tanpa keterpaduan dan keajekan dengan nilai-nilai Pancasila. Isu Pancasila sering dipahami hanya sebatas metode sosialisasi, pada hal jauh dari itu, urainya lebih lanjut (Yudi Latif, K 4 April 2019)
Terang sudah bahwa Pancasila menyimpan problem laten. Problem yang kecenderungannya sangat fundamental. Tidak sekedar aplikatifnya yang tak jalan, namun juga ada masalah dalam eksistensinya. Tudingan Azyumardi Azra yang mengatakan diskursus Pancasila hanya retorika, dan Yudi Latif yang galau karena tak ada relasi antara idealita dan realita, adalah indikasi awal dari persoalan laten tersebut.
Indikasi yang selanjutnya menurunkan berbagai pertanyaan, seperti dimana sesungguhnya tempat, letak, atau posisi Pancasila dalam sistim politik, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia? Tidakkah Pancasila yang mendasari konstitusi (UUD) yang menjadi instrumen pemerintah-sistim politik mengelola-masyarakat, khususnya pembangunan? Tidakkah ia menjadi kata akhir legitimasi (Apter, 1980)?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengingatkan kita kepada pendapat beberapa pengamat asing yang pernah mengamati perkembangan Indonesia, seperti Prof Donald S. Weatherbee dan Prof Harry J. Benda dari Yale University. Dalam buku Ideology in Indonesia yang mereka tulis, kedua ilmuwan Yale ini menyatakan bahwa Pancasila hanyalah usaha belaka untuk menutup nutupi pertentangan kepentingan yang real antara berbagai golongan (Ruslan Abdulgani,1986:63).
Pendapat yang (mungkin) didasarkan kepada tesis Prof Howard Wriggins, yang menuding bahwa ideologi dinegara-negara baru merdeka, termasuk Indonesia, kerapkali tidak realistis, karena hanya menekankan kepada rumusan yang indah-indah, dan sering hanyalah alat pemimpin-pemimpin baru menyingkirkan penentangnya.
Mereka mereka itu (menurut Wriggins) , adalah Nasser di Mesir, Nkrumah di Ghana, Bourgoiba di Tunisia, Ali Jinnah di Pakistan, Nehru di India, dan Bung Karno di Indonesia, yang memanfaatkan ideologi hanya untuk memperkuat kedudukannya, mengikat dan mensihir massa, dan menonjolkan diri pribadinya (Ruslan Abdulgani 1986:62)
Pendapat yang kontroversial, debatable, dan sebagai nasionalis kita tolak, sebab didasarkan pada persfektif antitesa dari filsafat pragmatism yang berkembang dinegerinya. Pandangan yang melihat persoalan hanya memilih satu dari dua pilihan, yakni “ini atau itu” (this or that), Bukan persfektif sintesa, kombinasi, dan kompromi dari sekian pilihan yang kelihatan berlainan, namun pada hakikatnya satu sama lain saling melengkapi (this and that/ini dan itu) yang berkembang di Asia Afrika
Pancasila adalah sintesa, kombinasi, dan kompromi dari berbagai aliran-aliran besar dunia. Ia mensarikan ideologi liberal, sosialis, relijius, dan lain-lain ideologi yang disesuaikan dengan socio-kultural Indonesia. Tidak seperti yang dituduh Wriggins, meski secara empirik ada benarnya.
Membumikan Pancasila
Dari setting socio-historisnya terbukti bahwa pengamalan Pancasila masih jauh dari harapan. Pada Orde Lama, mungkin karena baru bebas dari kolonialisme, banyaknya konflik dan pembrontakan daerah, dan tampilnya konsep Nekolim dan Revolusi belum selesai, membuat pengamalan Pancasila masih tertatih-tatih (bak panggang jauh dari api).
Pada Orde Baru yang terang-terangan berslogan mewujudkan Pancasila secara murni dan konsekwen, bahkan dibentuknya Penataran Pendidikan dan Pengamalan Pancasila (P4) oleh BP7, dalam aplikasinya ternyata semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila. Mengutip terminologinya Wriggins, Weatherbee, dan Benda, Pancasila itu dimanfaatkan hanya untuk memperkuat rezim, dan mensihir massa.
Begitu pula dalam era reformasi, setali tiga uang, pengamalannya malah semakin melambung ke langit. Tidak saja perekonomiannya yang semakin liberal-kapitalistik, yang jauh dari keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan pasal 33 UUD 1945, juga politiknya yang semakin super liberal (lebih liberal dari Amerika Serikat) yang jauh dari sila ke empat Pancasila (Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan).
Supaya tidak terus menerus melambung ke langit tak terbatas, dan meninggalkan bumi tempat berpijaknya, Presiden-Wakil Presiden terpilih sudah waktunya membumikannya, yakni dengan merevitalisasi dan meresosialisasi Pancasila secara kongkrit. Tidak lagi sekedar retorika atau mitos. Merdeka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar