MS PTPUU I , PROSES DAN TEKNIK PERUNDANG-UNDANGAN
KULIAH PERDANA, SABTU/10 Oktober 2020, JAM 10.00 SD 11.30
JURUSAN PEMERINTAHAN, UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat; Mata kuliah ini sedang in saat ini….demo-demo penolakan UU Cilaka (ciptakan lapangan kerja) atau yang popular dengan sebutan “Omnibus Law” adalah realita-faktanya. Apa, bagaimana itu UU Omnibus Law, baca artikel ketiga tulisan dimateri ini, yang ditulis Bambang Kesowo, beberapa bulan yang lalu.
Selanjutnya bacalah materi kuliah perdana ini dengan seksama. Bila ada hal-hal yang tidak dipahami atau tanggapan, tulis via WA group, dan akan saya jawab sesuai waktu yang diberikan (jam 10.00-11.30). Tanggapan ini sekaligus pengganti daftar hadir (absen). Setelah itu jawab pertanyaan-pertanyaan yang tercantum di bagian akhir, dan dikirimkan ke WA atau e mail saya, reinhardhutapea59@gmail.com
∏
PENDAHULUAN
DALIH MENGAPA ADA ISTILAH ATAU PERKATAAN “PROSES”
Mata kuliah ini tidak hanya dipelajari dalam Ilmu Pemerintahan/Politik, melainkan juga dalam ilmu-ilmu lain. Dalam Ilmu Administrasi Publik disebut Kebijakan Publik (Public policy). Dalam Ilmu Hukum disebut dengan Teknik Perundang-undangan. Meski ada perbedaan, namun substansinya tetap sama, yakni Undang-Undang (UU).
Dalam ilmu politik atau Ilmu Pemerintahan, sebagaimana yang kita pelajari saat ini disebut Proses . Lengkapnya “proses legislatif), ……Ada frasa, kata, atau verba “p r o s e s”. Frasa yang tidak sekedar harfiah, tetapi suatu “konsep” dalam ilmu politik behavior yang disebut dengan “sistim politik”. Konsep yang dikembangkan pionir-pionir pendekatan behavior, David Easton dan Gabriel Almond,untuk membuat ilmu politik lebih ilmiah.
Sebaliknya dalam Ilmu Hukum masih tetap didekati dari “pendekatan tradisional dan legal”, yakni melalui pendekatan “kelembagaan”. Untuk lebih jelasnya bagaimana perbedaan pendekatan-pendekatan itu dapat dibaca dalam buku David Easton, Sistim politik, SV. Varma, Teori Politik Modern, KJ Holsti, Politik Internasional, dan lain-lain buku-buku teori/ilmu politik
Frasa, kata, atau verba p r o s e s menurut Easton maupun Almond adalah “Sistim Politik”. Sering juga disebut dengan “black box”. Proces is political system, (proses adalah sistim politik). Maksudnya adalah bahwa dalam sistim politik itu ada proses, yakni input (masukan), yakni (1) tuntutan dan (2) dukungan di p r o s e s dalam sistim politik/black box, lalu menghasilkan output, yakni (1) putusan dan (2) kebijakan.
Ilustrasinya adalah seperti ini… Ketua Rukun Tetangga (RT) mengundang warganya untuk membicaran sesuatu, katakanlah untuk meningkatkan keamanan dilingkungannya. Dalam pertemuan itu Ketua RT meminta tanggapan (tuntutan dan dukungan) warga bagaimana sebaiknya agar lingkungan tetap aman, tentram, dan jauh dari kejahatan.
Dalam pertemuan tersebut ketua RT harus sungguh-sungguh menggali pendapat warganya. Begitu pula setiap warga harus mengeluarkan pendapatnya. Tidak ada yang pasif apalagi berdiam diri, semua harus berpendapat. Ketua RT sebagai pemimpin harus mendinamisir pertemuan, agar aspirasi/keinginan setiap warga tertampung (tidak ada yang diabaikan).
Setelah itu, yakni setelah semua pendapat, tanggapan, komentar, dan sejenisnya dikemukakan, dilakukanlah m u s y a w a r a h, yakni urun-rembug untuk mencapai kesepakatan bersama (output/keputusan dan Kebijakan).
Secara skematis dilukiskan dibawah ini
Pola yang sesungguhnya bukan pola yang baru, melainkan yang biasa-biasa saja. Pola-pola yang sudah lama dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam masyarakat adat. Dalam setiap acara adat dinegeri ini, pola demikian sudah lama diterapkan, yakni selalu bermusyawarah atau urun rembug. Tidak ada yang memaksakan kehendak, merekayasa, apalagi mengkebiri. Semua melalui kesepakatan bersama (konsensus). Dalam bahasa populer (agar dibilang keren, gaul, atau ilmiah) disebut demokratis.
Frasa sakti yang sudah menjadi mantera, tidak saja bagi ilmuwan politik/sosial, melainkan masyarakat pada umumnya. Tiada insan yang tidak bicara demokrasi. Namun ketika ditanya apa sesungguhnya substansi dan hakiki demokrasi itu, maka jawabannya 1001 macam (tiada yang padu).
Pembahasan yang tak mungkin kita lakukan dalam pengantar mata kuliah ini, karena tak akan habis-habisnya. Yang jelas dan pasti mata kuliah ini di dasarkan pada persfektif sistim politik. Persfektif sebagaimana sudah dilukiskan dalam bagan di atas. Artinya legislatif dilihat sebagai sistim politik. Pertanyaannya:
· Sudah kah legislatif melaksanakan fungsinya sebagai sistem politik?
· Atau supaya lebih menohok, pertanyaannya adalah; sudah kah DPR, DPD, MPR, DPRD melaksanakan fungsinya sebagai lembaga legislasi sebagaimana mestinya?
· Tidakkah banyak out put (Undang-Undang) yang dihasilkannya bermasalah?
· Lalu dimana posisinya dalam Pancasila dan UUD 1945?
Inilah masalah-masalah yang akan dibahas dalam mata kuliah Proses Legislatif di Indonesia. Mata kuliah yang seharusnya dapat ditempuh apabila sudah mengambil mata kuliah tentang
Ø Partai Politik,
Ø Pemilu, dan
Ø Lembaga legislatif
Dengan kata lain, para mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini sudah paham apa yang dimaksud dengan Partai Politik, Pemilu, dan Lembaga Legislatif. Tiga instrument (tool) yang menjadi unsur utama dalam sistim politik.
Tiga unsur demikian (Partai Politik, Pemilu, dan Lembaga legislatif) pada umumnya sudah diajarkan dalam mata kuliah “Pengantar Ilmu Politik”, seperti dalam bukunya Miriam Budiardjo (ed revisi), 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia[1], Jakarta, atau dalam bukunya Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta (cat; lihat di rak buku Pak Bastiar Tambuh). Dalam Bahasa Inggris buku teksnya; …. Ada W. Finifter, 1983, Political Science: The States of the Discipline, Bernard Susser, 1992, Approaches to the Study of Politics, Alan C. Isaak,1981, Scope and Methods of Political Science, dan lain-lain (masih banyak)
Sebelum mahasiswa memahami (dengan seksama) ketiga unsur demikian, dibawah ini secara popular akan dilampirkan tiga artikel tentang eksistensi, masalah, dan scope mata kuliah ini., yakni ;
1. DPR, Pulau Terapung Di Lautan Masyarakat.
2. Pilkada 2020, Pelembagaan kartel Politik.
3. Pembonceng “Omnibus”
∏
Lamp 1
DPR, PULAU TERAPUNG DI LAUTAN MASYARAKAT
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan & Direktur CEPP MIP Unitas Palembang
Published Waspada, 16 Okt 2019
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik
Satu dekade yang lalu, Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, dan PKS melakukan studi banding ke Partai Komunis China (PKC). Kelima partai besar Indonesia ini berikhtiar mengkomparasikan tentang sistim, pola, atau model pengelolaan partai yang dipentaskan dinegeri tersebut. Negeri yang dikenal sebagai negeri komunis yang bersistim satu partai, dengan yang berlangsung di Indonesia yang Pancasilais dan menganut sistim multi partai.
Tiga kota yang menjadi focus studi mereka, yakni Beijing, Shanghai, dan Guiyang. Di kota ini mereka bak ilmuwan yang sedang melakukan riset, melihat secara langsung bagaimana PKC, khususnya di tingkat akar rumput (grassroots) mengimplementasikan tugas, fungsi, untuk mencapai tujuan partainya.
Dari penelusuran yang dilakukan ternyata, “Cabang dan khususnya Ranting PKC” sangat berperan ketimbang level diatasnya (tingkat Provinsi atau nasional, DPD/DPP. Mereka bekerja di akar rumput sesuai tugas, fungsi, dan peran-peran partai yang lain. Dengan kata lain, secara empiric, mereka mengimplementasikan fungsi-fungsi partai politik, seperti fungsi “komunikasi, sosialisasi, agregasi, artikulasi, rekrutmen dan lain-lain fungsi partai politik (Miriam Budiardjo 1975).
Lembaga Disfungsional
Dengan cekatan pengurus-pengurus partai tingkat cabang dan ranting mempraksis-empirikkan pertemuan-pertemuan rutin, baik sesama pengurus, dan atau terutama dengan masyarakat. Kantor-kantor partai mereka penuh dengan aktipitas, seperti membuat perencanaan/planning, pengorganisasian/organizing, pelaksanaan/actuating, dan pengawasan/controlling (POAC), sebagaimana layaknya biro modern.
Begitu pula kegiatan, aktipitas, dan pengabdian ke tengah-tengah masyarakat. Mereka menyambangi, mendengar, mengartikulasi, dan memberdayakan masyarakat. Mereka berkomunikasi dengan/secara dua arah, dan mensosialisasikan apa yang menjadi kebijakan partai. Sebaliknya , yakni sebagai timbal baliknya, mereka juga mendengar dan menghimpun aspirasi/apa yang diinginkan masyarakat (agregasi dan artikulasi).
Tidak cukup disitu, yang jauh lebih mengesankan adalah, dengan cekatan, pengurus-pengurus PKC demikian mendorong/melatih/memberdayakan masyarakat akan vokasi/keahlian tertentu. Masyarakat diberi pelatihan supaya mereka dapat meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasannya.
Dengan gesit, cekatan, handal dan penuh semangat, pengurus-pengurus PKC membimbing staf/karyawan/pengurus institusi-institusi lokal masyarakat di akar rumput, seperti lembaga kesehatan masyarakat (disini puskesmas) supaya lebih professional, meritokratis, efisien dan efektif melayani pasien-pasiennya.
Begitu pula dalam sektor pertanian dipedesan, yang mayoritas masih merupakan sumber pendapatan utama penduduk. Pengurus-pengurus ranting PKC, sangat cekatan membimbang dan memberdayakan mereka. Bagaimana membudidayakan pertanian-peternakan supaya lebih modern, canggih, memiliki nilai tambah, dan berhasil guna, menjadi pakem pengurus-pengurus akar rumput PKC ini.
Tidak kurang fantastik dan spektakulernya, adalah komitmen, kreatifitas, dan inovasi, pengurus-pengurus ranting PKC memberdayakan usaha-usaha kecil dan menengah (UKM) supaya sanggup bersaing di pasar internasional. Pengurus-pengurus partai begitu piawai, tekun, kerja keras, bersemangat membimbang kalangan ini supaya sanggup bersaing dan unggul di kancah global yang penuh tantangan. Terbukti mereka sukses. Mereka merajai perdagangan dunia saat ini.
Ilustrasi-ilustrasi lain masih dapat diuraikan sekian banyak/panjang lagi, seperti (misalnya) bagaimana mereka mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) asing ke negaranya, namun itu biarlah dilbahas di lain kesempatan. Yang jelas dan pasti pengurus-pengurus PKC adalah sosok-sosok pilihan. Sosok yang lahir secara alamiah dari justifikasi dan legitimasi masyarakat bawah. Tidak karena privilese, privacy, deking/kenalan (nepotisme), karena punya duit, apalagi karena pintar menjilat. Mereka sungguh professional, meritokrat dan legitimate.
Bagaimana dengan partai politik Indonesia? Perbandingannya mungkin ibarat langit dan bumi. Dari pengamatan atau penelitian sederhana dapat kita lihat bahwa partai-partai dinegeri ini masih disfungsional. Kita tak paham apa yang mereka kerjakan sehari-hari. Kantor-kantornya, khususnya kantor cabang, atau ranting nyaris tanpa kegiatan-aktipitas berarti.
Kantor spanduk/papan nama, dan manusianya terpampang, namun apa yang dikerjakan disana tidak jelas. Mungkin hanya kongkow-kongkow saja, ngalor-ngidul mengupas yang bukan fungsi dan tugasnya. Awam lebih melihat organisasi-organisasi lain, seperti LSM, organisasi sosial, keagamaan, berfungsi/punya kegiatan rutin ketimbang partai-partai politik. Sangat tak layak/aneh bin ajaib, lembaga yang seharusnya pro aktif hadir ditengah-tengah masyarakat, namun disfungsional.
Fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam Undang Undang Partai Politik, yakni UU No 2 Tahun 2008 dan UU No 2 Tahun 2011, sesungguhnya sudah mensiratkan bahwa partai harus bekerja fungsional. Tidak hanya pada waktu pemilu, melainkan setiap waktu terus bekerja, sebab fungsinya adalah; satu, sebagai Pendidikan politik, dua, sebagai Pencipta iklim yang kondusif bagi persatuan dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat, tiga, Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi, empat, Instrument partisipasi politik, dan, lima, rekrutmen politik.
Jelas dan terang benderang, seyogianya apa yang dilakukan di China, juga harus dilakukan disini. Namun sebagaimana faktanya, yang kita saksikan hari-hari ini, partai politik nyaris tidak pernah melakukan pendidikan politik di akar rumput. Begitu pula fungsi-fungsi yang lain, seperti program-program untuk mensejahterakan masyarakat, agregasi dan artikulasi politik, instrument partisipasi, nyaris nihil melompong-mengongong-melolong, bak tong kosong nyaring bunyinya.
Yang jalan, praktis hanya fungsi kelima, yakni penyedia insan-insan untuk duduk dalam pemerintahan, khususnya menjadi anggota DPR (legislatif). Tampillah insan-insan (out put) yang lahir dari input dan proses yang kacau balau, amburadul, dan berantakan. Sebagai konsekwensinya akan melesat anggota DPR yang tidak melaksanakan fungsinya sebagaimana diamanatkan UU Pemilu atau UUD 1945.
Pulau Terapung
Mereka bukan jembatan antara rakyat dan pemerintah sebagaimana yang kita lihat pada negara-negara demokratis, atau kita baca pada teori-teori politik. Mereka menggunakan jembatan hanya untuk meraih kepentingan pribadi, kelompok, dan birahinya. Proses (yang sadar atau sebaliknya) telah terlembaga pada pemilu pertama era reformasi, yakni pemilu 2004.
Pemilu yang sudah mulai diwarnai money politics, yang menguat pada pemilu 2009, terang benderang pada pemilu 2014, dan sudah dianggap tradisi pada pemilu 2019. Pola jahanam yang kasat mata, namun anehnya tak ada ikhtiar menghentikannya. Sudah tahu keliru, tapi tetap dipraksiskan.
Dipraksiskan, terutama oleh elit, dan kiamatnya, entah mengapa dinikmati juga oleh masyarakat (sadar tak sadar). Semua teriak tidak ke money politics, namun realitanya, baik yang teriak maupun tidak, mayoritas sama-sama menerima money politics. Kampanye hanya formalitas, praksis-empiriknya adalah bagi-bagi sembako dan duit (Ramlan Surbakti, K, 2018). Mau mengharapkan DPR berfungsi?
Mimpi. DPR sudah lepas dari konstituennya. Mereka adalah pulau terapung di lautan masyarakatnya. Lembaga, komunitas, atau kalangan yang akan melegalkan korupsi via revisi UU KPK, kata Emil Salim cs setelah bertemu Jokowi tanggal 4 oktober yang lalu. Oleh karena itu, meminjam litani Wiji Thukul “hanya satu kata, yakni lawan”. Lawan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
∏
Lamp 2
PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 30 Jan 2020
Keasyikan menimang-nimang balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa akan hakiki, untuk apa sesungguhnya pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor tertentu. Titik ! (hanya dan hanya itu)
Sinyalemen demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur tertentu yang mendaftar ke segala partai, dan atau khususnya partai-partai politik yang melakukan koalisi (persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, dengan partai lain, secara permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya apa itu? Koalisi jadi-jadian? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?
Partai Kartel
Yang pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh suatu yang tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati dirinya.
Ibarat air dan minyak, atau kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.
Namun apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting idola/jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.
Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada, koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.
Fenomenanya dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.
Pamungkasnya adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat ini. Prabowo yang kalah dalam perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus yang belum pernah terjadi dinegara manapun.
Dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).
Dan Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya dalam sistim politik demokratis.
Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan, hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai “partai kartel”.
Partai yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)
Mereka berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat dengan model yang populer dengan sebutan rent seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi (Ambardi, K, 2008)
Ekwivalen, analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI, Century, kasus e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya yang sedang marak saat ini. Meski pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan, karena partai-partai yang (ditengarai) terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.
Pilkada 2020; Pelembagaan Kartel Politik
Demikian pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk yang kalah, kembali lagi berkoalisi.
Berkoalisi sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform, dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.
Adapun metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
APBD direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.
Kasus APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus lem Aica Aibon 82 m di era Anis Baswedan. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?
Mungkin sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT KPK, adalah fakta-empirik bahwa pemerintahan daerah sudah terstruktur pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang terlembaga dalam pola demikian.
∏
Lamp 3
Pembonceng “Omnibus”
Bambang Kesowo
Ketua Dewan Penasehat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas;
Pengajar Sekolah Pasca Sarjana FH-UGM
Published Kompas, 13 Februari 2020
“Memang sudah biasa bila ada orang yang
mengambil kesempatan dalam kesempitan”
Begitu pula ihwal naik bus. Berkendara bareng-bareng dengan arah yang sama untuk tujuan sendiri-sendiri itu biasa. Itu terjadi dengan memakai omnibus seperti zaman lama di Perancis. Arti asli omnibus memang itu. Namun, membonceng untuk tujuan yang lebih besar dari sekedar bepergian, itu yang nyeleneh. Apalagi kalau yang membonceng tergolong orang-orang berdasi. Mungkin pikirnya, mumpung busnya sedang butuh muatan.
Kalau di Indonesia, mumpung Presiden juga sedang puyeng saat membuat terobosan kebijakan lewat omnibus demi upaya penciptaan lapangan kerja. Apalagi jika hal itu ditempuh lewat perbaikan perizinan berusaha, kemudahan berbisnis, percepatan investasi, dan proyek-proyek pemerintah. Sekali lagi, Namanya juga mumpung. Syukur-syukur para awak bus merasa bahagia karena para pembonceng merasa ikut menyukseskan trayek dan awak bus karena berkontribusi membikin isi bus penuh.
Mengancam kepentingan nasional
Apa soal dan kemana arah prolog tadi? Coba amati keberadaan Pasal 111 RUU Cipta Lapangan kerja tersebut. Cari dan cermati latar belakang pemikiran di balik itu serta alas an kelahirannya. Pasal ada di Bab VI tentang Kemudahan Berusaha. Demi kemudahan tadi, RUU ini merancang perubahan tujuh UU, diantaranya UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten. Elaborasi perubahan setiap UU dirancang di bagian tersendiri. Rumusan Pasal 111 RUU diatur di Bagian Ketiga: Ketentuan dalam Pasal 20 UU No 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Inonesia Nomor 5922) dihapus.
Lantas bagaimana kaitannya dengan hal bonceng-membonceng tadi? Rumusan dalam Pasal 111 RUU memang sederhana (konfirmasi draft final per 11 februrai). Namun, ekornya yang tak enak dan merusak tatanan tatanan UU Paten. Anggaplah UU bias diubah dan hukumnya mawut. Akan tetapi, dampak isi Pasal 111 RUU itu merasuk jauh, bahkan mengancam kepentingan nasional berikut desain politik yang sedari awal disusun untuk meindungi kepentingan pembonceng itu sendiri!. Bias karena pintar dan halusnya bujukan dari pihak yang membonceng, kebijakan yang maksud dan tujuannya baik atau mungkin juga karena terlena dan kurang waspadanya pengemudi omnibus. Pembonceng it ulet dan pintar. Mumpung pemerintah sedang butuh investor yang digadang-gadang dapat menambah lapangan kerja.
Pasal 20 UU Paten yang dirancang akan dihapusitu menentukan; (1) pemegang Paten wajib membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia, (2) membuat produk atau menggunakan proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi dan/atau penyediaan lapangan kerja. Ketentuan Pasal 20 UU Paten yang akan dihapus adalah pengaturan dalam Bagian Kelima tentang Hak dan Kewajiban Pemegang Paten. Bagian itu di Bab II UU Paten yang mengatur Lingkup Perlindungan Paten.
Mengapa ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja-dan jadi tujuan kebijakan-malah mau dihapus? Menghapus (Ketentuan) Pasal 20 UU Paten artinya meniadakan kewajiban penggunaannya untuk membuat produk atau menggunakan proses yang diberi paten dan dilindungi di Indonesia. Tak hanya bagi warga Indonesia, si pemegang paten warga asing juga punya kewajiban melaksanakan/menggunakan patennya. Sama adil.
Namun, baik untuk disimak, tak semua investor merupakan paten, dan tak selalu pemegang paten adalah investor! Tak semua pemegang paten itu pengusaha, dan tak perlu pemegang paten harus jadi pengusaha. Bila demikian halnya, dalam konteks “Kemudahan Berusaha” seperti di atur di Bab VI RUU, dimana korelasinya sehingga dirasa perlu mengutak-utik kewaajiban pemegang paten? Sedemikian mampatnyakah logika sehingga harus menggunakan asumsi pemilik atau pemegang paten adalah pengusaha atau investor?
Salah satu prinsip UU Paten, sebagaimana dibangun dalam seluruh system HAKI, adalah kewajiban menggunakan paten di Indonesia. Untuk apa diberikan hak kalau tak diwajibkan menggunakannya? Manja amat. Hak diberikan melalui pendaftaran, tetapi kewajiban juga harus dilaksanakan. Itu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hokum. Prinsip keseimbangan mendasar sifatnya, dan itu pula yang ditanam serta akan diwujudkan di system paten. Secara substansial, meniadakan kewajiban menggunakan paten yang di daftar dan di beri perlindungan di Indonesia (termasuk bila investor itu juga pemilik atau pemegang paten) hanya akan membuat investor yang di dorong dan di elu-elukan di Indonesia berlaku sekadar sebagai agen penjulan di Indonesia.
Sekali lagi, itupun kalau investor. Bagaimana kalau pemegang paten asing itu bukan investor? Patennya dilindungi di Indonesia, tetapi produk tetap dibuat sendiri oleh principal sebagai pemegang Paten yang ada di negara asal. Sungguh lagi-lagi perlu dicermati pemegang paten belum dan tak selalu berarti investor. Kalau bukan investor, lantas apa hubungannya dengan kemudahan berusaha yang diberikan pemegang paten? Inikah yang Namanya memperlancar dan meningkatkan investasi? Inikah yang dimaksud kemudahan berusaha? Inikah tujuan penciptaan lapangan kerja?
Ada yang lebih besar lagi. Kalau Pasal 20 UU Paten dimatikan, hilang pula makna sejumlah rekayasa kebijakan yang di atur di Pasal 82 UU Paten itu. Pasal 82 merupakan bagian pengaturan konsepsi Lisensi Wajib, yang secara khusus di bangun dalam Bagian Ketiga pada Bab VII UU Paten. Bab VII adalah wadah pengaturan ihwal Pengalihan Hak, Lisensi dan Paten sebagai objek Jaminan Fidusia. Bagian ketiga ini berisi 27 Pasal yang khusus mengatur Lisensi Wajib (Pasal 81 hingga 107). Melalui Pasal 82, diwujudkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban sebagaimana dari awal ditegaskan di Pasal 20 (yang justru akan dihapus). Selain prinsip keseimbangan, juga soal ketertiban, disiplin, dan kejujuran. Pasal 82 dengan sangat sadar dirancang untuk mencegah penyalahgunaan (abuse) hak yang sudah diperoleh pemegang Paten. Dengan mematikan Pasal 20 UU Paten, Pasal 82 kehilangan pegangan. Desain kebijakan politik yang dirancang di Bagian Ketiga Bab VII UU Paten menjadi goyah.. system HAKI nasional ditertawakan pembonceng. Hanya dengan sekali tepuk, Pasal 20 mati, dan rancang bangun kebijakan politik yang dirumuskan dalam Pasal 81 hingga 107 kehilangan makna. Malah runtuh.
Pasal 82 UU Paten mengatur: “Lisensi Wajib merupakan lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alas an: a. Pemegang Paten tidak melaksanakan kewajiban untuk membuat produk satu menggunakan proses di Indonesia sebagaimana dimaksuddalam Pasal 20 ayat (1) dalam jangka waktu 36 bulan setelah diberikan Paten; b, Telah dilaksanakan oleh pemegang paten atau penerima lisensi dalam bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat; atau c, Paten hasil pengembangan dari paten yang telah diberikan sebelumnya tidak bias dilaksanakan tanpa menggunakan paten pihak lain yang masih dalam perlindungan”.
Pasal-pasal selanjutnya hingga Pasal 107 di Bagian Ketiga tadi berisikan jabaran dan tata cara penerapan konsep Lisensi Wajib. Hanya dengan kata-kata sederhanan di Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja yang menghapuskan Pasal 20, kewajiban melaksanakan paten di Indonesia ditiadakan. Pemegang Paten (bukan selalu berarti investor) bebas dan tak harus melaksanakan patennya di Indonesia. Lebih dari sekedar kebebasan yang dinikmati pemegang paten, kemungkinan untuk menggunakan paten tadi oleh pihak lain – yang sengaja dibangun melalui UU Paten untuk menghindarkan penyalah gunaan hak – juga ditiadakan. Kata jelasnya: betapa seluruh rancang bangun politik dalam Bagian Ketiga tentang Lisensi Wajib, tanpa atau dengan sadar, nantinya diruntuhkan oleh pemerintah dan DPR sendiri.
Selain hebat, pembonceng juga licin. Yang “kebangetan” jadinya ya kita sendiri. “Nasihat” diberikan lewat Pasal 20, dan tak perlu harus lewat seluruh pengaturan soal Lisensi Wajib. Dalam sistem paten, konsep Lisensi Wajib (bersama konsep government use/penggunaan oleh pemerintah) memang dikenal sebagai isu yang sensitif. Kalangan ahli HAKI sangat tahu, menyentuh langsung konsep tersebut hanya akan mempercepat terbukanya kedok, identitas, dan niatan pembonceng. Sebaliknya, dengan menghapus ketentuan Pasal 20 UU Paten, seluruh bangunan konsep tentang Lisensi Wajib akan runtuh.
Kepentingan korporasi besar
Dalam sejarah perundingan HAKI, khususnya Paten sejak awal dekade 1980-an di World Intelectual Property Organization (WIPO), pro-kontra tentang konsep itu selalu melingkupi forum. Begitu pula diperundingan Putaran Uruguay di GATT/WTO. Salah satu kompromi politik yang akhirnya ditempuh dan memungkinkan kelahiran “persetujuan”TRIPs-WTO adalah menyerahkan ke negara anggota untuk megatur elaborasi dan implementasi konsep Lisensi Wajib dan government use dalam sistem hukum nasional masing-masing.
Batasannya, sejauh hal itu sesuai prinsip-prinsip dalam persetujuan TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) itu sendiri. Dokumen TRIPs tak melarang Lisensi Wajib ataupun government use. Sejauh ini, semua UU di lingkup HAKI termasuk UU No 13/2016 tentang Paten telah dibuat dengan mengindahkan prinsip-prinsip itu.
Bukan rahasia bahwa kompromi politik itu belum memberikan kepuasan ke banyak negara industri maju. Di belakang sikap resmi negara-negara maju ada kepentingan perusahaan multinasional, utamanya yang bergerak di bidang farmasi/pembuatan obat. Mengejar rasa tak puas itulah, mereka terus berusaha mewujudkan apa yang belum bisa dicapai dalam persetujuan TRIPs lewat berbagai for a multilateral seperti APEC dan (antar) regional seperti Uni Eropa , ASEAN, bahkan bilateral melalui perundingan Free Trade Agreement (FTA) atau skema komprehensif lain. Perundingan pemberian bantuan Teknik atau keuangan pun sering tak lepas dari kepentingan tadi.
Kepentingan ekonomi dan dagang dalam HAKI yang bermotif dan menonjolkan karakter monopolistik itulah yang sebenarnya sangat ingin diperjuangkan dan dipertahankan. Mereka banyak menguasai paten untuk produk-produk obat yang sering kali dalam banyak bencana, yang mengancam kehidupan manusia, justru diperlukan banyak negara. Kalau bisa mengendalikan pasar , volume produk, dan harga dari negaranya, mengapa harus susah-susah membuat di negara lain? Sekali lagi, tak selalu pemegang paten adalah investor. Mendaftarkan paten, mereka hanya membutuhkan perlindungannya. Bukan selalu berarti akan berusaha. Karena itu, kalau Pasal 111 RUU Cipta Lapangan Kerja menjadikannya sebagai asumsi bahwa pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia, disitulah mungkin pangkal kekeliruannya. Mereka senang, sedangkan kita telanjang! Bukankah sebagai metode, omnibus bukan lantas berarti “sapu jagat”, dan jauh pula dari arti amuk-amukan? Tiadakan sajalah perumusan Pasal 111 tersebut.
Pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja mungkin masih berlangsung dalam musim wabah corona akhir-akhir ini. Sebelumnya ada SARS dan MERS. Juga flu burung dan campak monyet. Begitu pula HIV/AIDS. Semuanya belum ada vaksin pamungkasnya.
∏
Dengan ketiga artikel demikian, diharapkan para mahasiswa sudah paham, apa yang dimaksud dengan Partai Politik, Pemilu, dan Lembaga Legislatif, yang menjadi unsur utama dalam pendekatan sistem Politik, yang diterapkan pada mata kuliah ini. Merdeka
PERTANYAAN
1. Jelaskan secara singkat frasa “proses” dalam mata kuliah ini.
2. Jelaskan secara singkat pengertian “sistem”, menurut yang saudara/i ketahui.
3. Adakah dari mahasiswa-mahasiswa yang ikut mata kuliah ini terjun di Partai Politik?
4. Adakah keluarga atau family dekat saudara yang menjadi anggota DPR/DPRD?
5. Bagaimana pendapat saudara dengan demo-demo yang marak saat-saat ini? Uraikan secara sistematis.
[1] Dalam buku Miriam Budiardjo ini, Legislatif dibahas pada halaman 315-350, Partai Politik hal 397-461, dan sistim Pemilu, hal 461-489
Tidak ada komentar:
Posting Komentar