Minggu, 01 November 2020

BS P IV, PANCASILA

 


 

BS P IV, PANCASILA

KULIAH IV, 2 NOVEMBER 2020, JAM 17.00 – 19.00

JURUSAN PEMERINTAHAN/KOMUNIKASI, FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

 

Pengantar

Pada kuliah III yang lalu, telah diuraikan sejarah kelahiran dan pelaksanaannya, yakni mengapa sebuah bangsa memerlukan cita-cita, konsepsi, dasar, ideologi, filsafat, dan bagaimana implementasinya pada era pra kemerdekaan, era kemerdekaan, era Orde Lama, era Orde Baru, serta era reformasi.

Dalam kuliah ke empat ini akan diuraikan:

1.      Makna atau pengertian “Dasar Negara”. Secara ringkas maknanya adalah landasan, atau pijakan, yang diatasnya didirikan negara.

2.      Secara khusus Soekarno menyebut dasar negara itu adalah “Philosophische grondslag, Weltanschaung, atau pandangan hidup”

3.      Sejarah atau proses lahirnya Pancasila.

4.      Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945

5.      Penjabaran Pancasila dalam batang tubuh UUD 1945,dan

6.      Implementasi Pancasila dalam Kebijakan Ekonomi, Politik, Sosial, dan budaya.

Karena kuliah kita hanya dari jam 17.00 sd 19.00, maka yang wajib dibaca adalah dari halaman satu sampai halaman dua belas, yakni sampai sub bab “Hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD 1945. Sub bab selanjutnya dipelajari di rumah .

Setelah saudara/I membaca ke 12 halaman tersebut jawablah pertanyaan-pertanyaan ini;

A.      Menurut saudara/I (sekali lagi menurut saudara/i), apa yang dimaksud dengan “Dasar Negara”. Jelaskan secara singkat.

B.      Jelaskan apa yang dimaksud dengan, a) Philosopische grondslag, b) Weltanshauung, dan c) pandangan hidup.

C.      Jelaskan makna kalimat berikut……”Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia”

D.     Idem no 3, jelaskan kalimat berikut……”maka fungsi pokok Pancasila sebagai dasar negara pada hakekatnya adalah sumber dari segala sumber hukum atau tertib hukum di Indonesia

 Materi untuk kliah ini di ambil dari “Materi Ajar Pendidikan Pancasila, 2013,  Dirjen Pendidkan Tinggi Kemendikbud


 

PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA

Dasar negara Indonesia, dalam pengertian historisnya

merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri

negara (The Founding Fathers) untuk menemukan landasan

atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan negara

Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu

baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),

namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal

pergerakan kebangsaan Indonesia. Latif (2002: 5)

menyebutkan bahwa setidaknya sejak dekade 1920-an

pelbagai kreativitas intelektual mulai digagas sebagai usaha

mensintesiskan aneka ideologi dan gugus pergerakan

dalam rangka membentuk “blok historis” (blok nasional)

bersama demi mencapai kemerdekaan.

BPUPKI yang selanjutnya disebut dalam bahasa

Jepang sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan

Persiapan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dibentuk

pada 29 April 1945 sebagai realisasi janji kemerdekaan

Indonesia pada 24 Agustus 1945 dari pemerintah Jepang.

Anggota BPUPKI berjumlah 63 orang, termasuk Dr. KRT.

Radjiman Wedyodiningrat sebagai ketua, Itibangase Yosio

(anggota luar biasa yang berkebangsaan Jepang) dan R.

Pandji Soeroso (merangkap Tata Usaha) masing-masing

sebagai wakil ketua Pembicaraan mengenai rumusan dasar

negara Indonesia melalui sidang-sidang BPUPKI

berlangsung dalam dua babak, yaitu: pertama, mulai 29 Mei

sampai 1 Juni 1945; dan kedua, mulai 10 Juli sampai 17 Juli

1945.

Pergumulan pemikiran dalam sejarah perumusan

dasar negara Indonesia bermula dari permintaan Dr. KRT.

Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPKI pada 29

25 Mei 1945 kepada anggota sidang untuk mengemukakan

dasar (negara) Indonesia merdeka. Untuk merespon

permintaan Ketua BPUPKI, maka dalam masa sidang

pertama, yaitu 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Muhammad

Yamin dan Soekarno mengajukan usul berhubungan

dengan dasar negara. Soepomo juga menyampaikan

pandangannya dalam masa sidang ini namun hal yang

dibicarakan terkait aliran atau paham kenegaraan, bukan

mengenai dasar negara

Dalam pidato 1 Juni 1945, Soekarno menyebut dasar

negara dengan menggunakan bahasa Belanda,

philosophische grondslag bagi Indonesia merdeka.

Philosophische grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran

yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalamdalamnya

untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia

merdeka. Soekarno juga menyebut dasar negara dengan

istilah ‘weltanschauung’ atau pandangan hidup (Saafroedin

Bahar, Ananda B. Kusuma, dan Nannie Hudawati (peny.),

1995: 63, 69, 81, dan RM. A.B. Kusuma, 2004: 117, 121,

128-129).

Susunan nilai atau prinsip yang menjadi fundamen

atau dasar negara pada masa sidang pertama BPUPKI

tersebut berbeda-beda. Usul Soekarno mengenai dasar

negara yang disampaikan dalam pidato 1 Juni 1945 terdiri

atas lima dasar. Menurut Ismaun, sebagaimana dikutip oleh

Bakry (2010: 31), setelah mendapatkan masukan dari

seorang ahli bahasa, yaitu Muhammad Yamin yang pada

waktu persidangan duduk di samping Soekarno, lima dasar

tersebut dinamakan oleh Soekarno sebagai ‘Pancasila’.

Untuk menampung usulan-usulan yang bersifat

perorangan, dibentuklah panitia kecil yang diketuai oleh

Soekarno dan dikenal sebagai ‘Panitia Sembilan’. Dari

rumusan usulan-usulan itu, Panitia Sembilan berhasil

merumuskan Rancangan Mukadimah (Pembukaan) Hukum

 

Dasar yang dinamakan ‘Piagam Jakarta’ atau Jakarta

Charter oleh Muhammad Yamin pada 22 Juni 1945

Rumusan dasar negara yang secara sistematik tercantum

dalam alinea keempat, bagian terakhir pada rancangan

Mukadimah tersebut adalah sebagai berikut:

1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Sidang BPUPKI kedua, yaitu 10 Juli sampai 17 Juli

1945 merupakan masa penentuan dasar negara Indonesia

merdeka. Selain menerima Piagam Jakarta sebagai hasil

rumusan Panitia Sembilan, dalam masa sidang BPUPKI

kedua juga dibentuk panitia-panitia Hukum Dasar yang

dikelompokkan menjadi tiga kelompok Panitia Perancang

Hukum Dasar. Sidang lengkap BPUPKI pada 14 Juli 1945

mengesahkan naskah rumusan Panitia Sembilan berupa

Piagam Jakarta sebagai Rancangan Mukadimah Hukum

Dasar (RMHD) dan menerima seluruh Rancangan Hukum

Dasar (RHD) pada hari berikutnya, yaitu 16 Agustus 1945

yang sudah selesai dirumuskan dan di dalamnya termuat

Piagam Jakarta sebagai Mukadimah.

Setelah sidang BPUPKI berakhir pada 17 Juli 1945,

maka pada 9 Agustus 1945 badan tersebut dibubarkan oleh

pemerintah Jepang dan dibentuklah Panitia Persiapan

Kemerdekaan atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu

Zyunbi Inkai yang kemudian dikenal sebagai ‘Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan

mengangkat Soekarno sebagai ketua dan Moh. Hatta

sebagai wakil ketua. Panitia ini memiliki peranan yang

sangat penting bagi pengesahan dasar negara dan

berdirinya negara Indonesia yang merdeka. Panitia yang

semula dikenal sebagai ‘Buatan Jepang’ untuk menerima

“hadiah” kemerdekaan dari Jepang tersebut, setelah

takluknya Jepang di bawah tentara Sekutu pada 14 Agustus

1945 dan proklamasi kemerdekaan negara Indonesia,

berubah sifat menjadi ‘Badan Nasional’ Indonesia yang

merupakan jelmaan seluruh bangsa Indonesia.

Dalam sidang pertama PPKI, yaitu pada 18 Agustus

1945, berhasil disahkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia (UUD NRI) yang disertai dengan

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia. Sebelum pengesahan, terlebih dahulu dilakukan

perubahan atas Piagam Jakarta atau Rancangan

Mukadimah Hukum Dasar (RMHD) dan Rancangan Hukum

Dasar (RHD). Pengesahan dan penetapan setelah dilakukan

perubahan atas Piagam Jakarta tersebut tetap

mencantumkan lima dasar yang diberi nama Pancasila. Atas

prakarsa Moh, Hatta, sila ‘Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’,

dalam Piagam Jakarta sebagai Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tersebut diubah menjadi

‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dengan demikian, Pancasila

menurut Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

1) Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

 

Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sesuai

dengan jiwa bangsa Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh

Soekarno (1960: 42) bahwa dalam mengadakan negara

Indonesia merdeka itu “harus dapat meletakkan negara itu

atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap

elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai

tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat,

bangsa dan negara ini.” Selanjutnya Soekarno menegaskan

dengan berkata, “Saya beri uraian itu tadi agar saudarasaudara

mengerti bahwa bagi Republik Indonesia, kita

memerlukan satu dasar yang bisa menjadi dasar statis dan

yang bisa menjadi leitstar dinamis. Leitstar adalah istilah

dari bahasa Jerman yang berarti ‘bintang pimpinan’. Lebih

lanjut, Soekarno mengatakan, “Kalau kita mencari satu

dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, dan

jikalau kita mencari suatu leitstar dinamis yang dapat

menjadi arah perjalanan, kita harus menggali sedalamdalamnya

di dalam jiwa masyarakat kita sendiri…Kalau kita

mau memasukkan elemen-elemen yang tidak ada di dalam

jiwa Indonesia, tidak mungkin dijadikan dasar untuk duduk

di atasnya.”

 

A. Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI)

Tahun 1945

Berdasarkan ajaran Stuffen theory dari Hans Kelsen,

menurut Abdullah (1984: 71), hubungan Pancasila dengan

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945dapat digambarkan

sebagai berikut:

Gambar yang berbentuk piramidal di atas

menunjukkan Pancasila sebagai suatu cita-cita hukum yang

berada di puncak segi tiga. Pancasila menjiwai seluruh

bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain,

gambar piramidal tersebut mengandung pengertian bahwa

Pancasila adalah cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum

bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita

hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar

dalam penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi

sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita

hukum (recht-idee), baik tertulis maupun tidak tertulis di

Indonesia. Cita hukum inilah yang mengarahkan hukum

pada cita-cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini

secara langsung merupakan cerminan kesamaan-kesamaan

kepentingan di antara sesama warga bangsa.

Dalam pengertian yang bersifat yuridis kenegaraan,

Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara tercantum

dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945,

yang dengan jelas menyatakan, “...maka disusunlah

Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk

dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan

rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,

Kemanusiaan yang adil beradab, Persatuan Indonesia, dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia”.

Sesuai dengan tempat keberadaan Pancasila yaitu

pada Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, maka fungsi pokok

Pancasila sebagai dasar negara pada hakikatnya adalah

sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib

hukum di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (Jo. Ketetapan MPR

No.IX/MPR/1978). Hal ini mengandung konsekuensi

yuridis, yaitu bahwa seluruh peraturan perundang-undangan

Republik Indonesia (Ketetapan MPR, Undangu-ndang,

Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan

Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya yang dikeluarkan

oleh negara dan pemerintah Republik Indonesia) harus

sejiwa dan sejalan dengan Pancasila. Dengan kata lain, isi

dan tujuan Peraturan Perundang-undangan RI tidak boleh

menyimpang dari jiwa Pancasila.

Berdasarkan penjelasan di atas, hubungan Pancasila

dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat dipahami

sebagai hubungan yang bersifat formal dan material.

Hubungan secara formal, seperti dijelaskan oleh Kaelan

(2000: 90-91), menunjuk pada tercantumnya Pancasila

secara formal di dalam Pembukaan yang mengandung

pengertian bahwa tata kehidupan bernegara tidak hanya

bertopang pada asas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi

dalam perpaduannya dengan keseluruhan asas yang

melekat padanya, yaitu perpaduan asas-asas kultural,

religius dan asas-asas kenegaraan yang unsur-unsurnya

terdapat dalam Pancasila.

Dalam hubungan yang bersifat formal antara

Pancasila dengan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat

ditegaskan bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar Negara

Republik Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 alinea keempat. Menurut

Kaelan (2000: 91), Pembukaan UUD NRI tahun 1945

merupakan Pokok Kaidah Negara yang Fundamental

sehingga terhadap tertib hukum Indonesia mempunyai dua

macam kedudukan, yaitu: 1) sebagai dasarnya, karena

Pembukaan itulah yang memberikan faktor-faktor mutlak

bagi adanya tertib hukum Indonesia; 2) memasukkan

dirinya di dalam tertib hukum tersebut sebagai tertib

hukum tertinggi.

Pembukaan yang berintikan Pancasila merupakan

sumber bagi batang tubuh UUD NRI tahun 1945. Hal ini

disebabkan karena kedudukan hukum Pembukaan berbeda

dengan pasal-pasal atau batang tubuh UUD NRI tahun

1945, yaitu bahwa selain sebagai Mukadimah, Pembukaan

UUD NRI tahun 1945 mempunyai kedudukan atau

eksistensi sendiri. Akibat hukum dari kedudukan

Pembukaan ini adalah memperkuat kedudukan Pancasila

sebagai norma dasar hukum tertinggi yang tidak dapat

diubah dengan jalan hukum dan melekat pada

kelangsungan hidup Negara Republik Indonesia.

Lebih lanjut, Kaelan (2000: 91-92) menyatakan

bahwa Pancasila adalah substansi esensial yang

mendapatkan kedudukan formal yuridis dalam Pembukaan

UUD NRI tahun 1945. Oleh karena itu, rumusan dan

yuridiksi Pancasila sebagai dasar negara adalah

sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD NRI tahun

1945. Perumusan Pancasila yang menyimpang dari

Pembukaan secara jelas merupakan perubahan secara

tidak sah atas Pembukaan UUD NRI tahun 1945.

Adapun hubungan Pancasila dengan Pembukaan UUD

NRI tahun 1945 secara material adalah menunjuk pada

materi pokok atau isi Pembukaan yang tidak lain adalah

Pancasila. Oleh karena kandungan material Pembukaan

UUD NRI tahun 1945 yang demikian itulah maka

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 dapat disebut sebagai

Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, sebagaimana

dinyatakan oleh Notonagoro (tt.: 40), esensi atau inti sari

Pokok Kaidah Negara yang Fundamental secara material

tidak lain adalah Pancasila.

Menurut pandangan Kaelan (2000: 92), bilamana

proses perumusan Pancasila dan Pembukaan ditinjau

kembali maka secara kronologis materi yang dibahas oleh

BPUPKI yang pertama-tama adalah dasar filsafat Pancasila,

baru kemudian Pembukaan. Setelah sidang pertama selesai,

BPUPKI membicarakan Dasar Filsafat Negara Pancasila dan

berikutnya tersusunlah Piagam Jakarta yang disusun oleh

Panitia Sembilan yang merupakan wujud pertama

Pembukaan UUD NRI tahun 1945.

Dalam tertib hukum Indonesia diadakan pembagian

yang hirarkis. Undang-Undang Dasar bukanlah peraturan

hukum yang tertinggi. Di atasnya masih ada dasar pokok

bagi Undang-Undang Dasar, yaitu Pembukaan sebagai

Pokok Kaidah Negara yang Fundamental yang di dalamnya

termuat materi Pancasila. Walaupun Undang-Undang Dasar

itu merupakan hukum dasar Negara Indonesia yang tertulis

atau konstitusi, namun kedudukannya bukanlah sebagai

landasan hukum yang terpokok.

Menurut teori dan keadaan, sebagaimana ditunjukkan

oleh Bakry (2010: 222), Pokok Kaidah Negara yang

Fundamental dapat tertulis dan juga tidak tertulis. Pokok

Kaidah yang tertulis mengandung kelemahan, yaitu sebagai

hukum positif, dengan kekuasaan yang ada dapat diubah

walaupun sebenarnya tidak sah. Walaupun demikian,

Pokok Kaidah yang tertulis juga memiliki kekuatan, yaitu

memiliki formulasi yang tegas dan sebagai hukum positif

mempunyai sifat imperatif yang dapat dipaksakan.

Pokok Kaidah yang tertulis bagi negara Indonesia

pada saat ini diharapkan tetap berupa Pembukaan UUD NRI

tahun 1945. Pembukaan UUD NRI tahun 1945 tidak dapat

diubah karena menurut Bakry (2010: 222), fakta sejarah

yang terjadi hanya satu kali tidak dapat diubah. Pembukaan

UUD NRI tahun 1945 dapat juga tidak digunakan sebagai

Pokok Kaidah tertulis yang dapat diubah oleh kekuasaan

yang ada, sebagaimana perubahan ketatanegaraan yang

pernah terjadi saat berlakunya Mukadimah Konstitusi RIS

1949 dan Mukadimah UUDS 1950.

Sementara itu, Pokok Kaidah yang tidak tertulis

memiliki kelemahan, yaitu karena tidak tertulis maka

formulasinya tidak tertentu dan tidak jelas sehingga mudah

tidak diketahui atau tidak diingat. Walaupun demikian,

Pokok Kaidah yang tidak tertulis juga memiliki kekuatan,

yaitu tidak dapat diubah dan dihilangkan oleh kekuasaan

karena bersifat imperatif moral dan terdapat dalam jiwa

bangsa Indonesia (Bakry, 2010: 223).

Pokok Kaidah yang tidak tertulis mencakup hukum

Tuhan, hukum kodrat, dan hukum etis. Pokok Kaidah yang

tidak tertulis adalah fundamen moral negara, yaitu

‘Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan

yang adil dan beradab.

 

B. Penjabaran Pancasila dalam Batang Tubuh UUD NRI

Tahun 1945

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mengandung

pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan, citacita

hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Pokok34

pokok pikiran tersebut mengandung nilai-nilai yang

dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia karena bersumber

dari pandangan hidup dan dasar negara, yaitu Pancasila.

Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila itulah

yang dijabarkan ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal

UUD NRI tahun 1945.

Hubungan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang

memuat Pancasila dengan batang tubuh UUD NRI tahun

1945 bersifat kausal dan organis. Hubungan kausal

mengandung pengertian Pembukaan UUD NRI tahun 1945

merupakan penyebab keberadaan batang tubuh UUD NRI

tahun 1945, sedangkan hubungan organis berarti

Pembukaan dan batang tubuh UUD NRI tahun 1945

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan

dijabarkannya pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI

tahun 1945 yang bersumber dari Pancasila ke dalam

batang tubuh, maka Pancasila tidak saja merupakan suatu

cita-cita hukum, tetapi telah menjadi hukum positif.

Sesuai dengan Penjelasan UUD NRI tahun 1945,

Pembukaan mengandung empat pokok pikiran yang

diciptakan dan dijelaskan dalam batang tubuh. Keempat

pokok pikiran tersebut adalah sebagai berikut.

1) Pokok pikiran pertama berintikan ‘Persatuan’, yaitu;

“negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas

persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia”.

2) Pokok pikiran kedua berintikan ‘Keadilan sosial’, yaitu;

“negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat”.

3) Pokok pikiran ketiga berintikan ‘Kedaulatan rakyat’,

yaitu; “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas

kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”.

4) Pokok pikiran keempat berintikan ‘Ketuhanan Yang

Maha Esa’, yaitu; “negara berdasar atas Ketuhanan Yang

Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan

beradab’.

Pokok pikiran pertama menegaskan bahwa aliran

pengertian negara persatuan diterima dalam Pembukaan

UUD NRI tahun 1945, yaitu negara yang melindungi bangsa

Indonesia seluruhnya. Negara, menurut pokok pikiran

pertama ini, mengatasi paham golongan dan segala paham

perorangan. Demikian pentingnya pokok pikiran ini maka

persatuan merupakan dasar negara yang utama. Oleh

karena itu, penyelenggara negara dan setiap warga negara

wajib mengutamakan kepentingan negara di atas

kepentingan golongan atau perorangan.

Pokok pikiran kedua merupakan causa finalis dalam

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang menegaskan tujuan

atau suatu cita-cita yang hendak dicapai. Melalui pokok

pikiran ini, dapat ditentukan jalan dan aturan-aturan yang

harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar sehingga

tujuan atau cita-cita dapat dicapai dengan berdasar kepada

pokok pikiran pertama, yaitu persatuan. Hal ini

menunjukkan bahwa pokok pikiran keadilan sosial

merupakan tujuan negara yang didasarkan pada kesadaran

bahwa manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban

yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pokok pikiran ketiga mengandung konsekuensi logis

yang menunjukkan bahwa sistem negara yang terbentuk

dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas

kedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan.

Menurut Bakry (2010: 209), aliran ini sesuai dengan sifat

masyarakat Indonesia. Kedaulatan rakyat dalam pokok

pikiran ini merupakan sistem negara yang menegaskan

kedaulatan sebagai berada di tangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Pokok pikiran keempat menuntut konsekuensi logis,

yaitu Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang

mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara

negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang

luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang

luhur. Pokok pikiran ini juga mengandung pengertian

taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan pokok pikiran

kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga mengandung

maksud menjunjung tinggi hak asasi manusia yang luhur

dan berbudi pekerti kemanusiaan yang luhur. Pokok

pikiran keempat Pembukaan UUD NRI tahun 1945

merupakan asas moral bangsa dan negara (Bakry, 2010:

210).

MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI tahun

1945 sebanyak empat kali yang secara berturut-turut

terjadi pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9

November 2001, dan 10 Agustus 2002. Menurut Rindjin

(2012: 245-246), keseluruhan batang tubuh UUD NRI tahun

1945 yang telah mengalami amandemen dapat

dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: pertama, pasalpasal

yang terkait aturan pemerintahan negara dan

kelembagaan negara; kedua, pasal-pasal yang mengatur

hubungan antara negara dan penduduknya yang meliputi

warga negara, agama, pertahanan negara, pendidikan, dan

kesejahteraan sosial; ketiga, pasal-pasal yang berisi materi

lain berupa aturan mengenai bendera negara, bahasa

negara, lambang negara, lagu kebangsaan, perubahan UUD,

aturan peralihan, dan aturan tambahan

Berdasarkan hasil-hasil amandemen dan

pengelompokan keseluruhan batang tubuh UUD NRI tahun

1945, berikut disampaikan beberapa contoh penjabaran

Pancasila ke dalam batang tubuh melalui pasal-pasal UUD

NRI tahun 1945.

1. Sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara

a. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara

hukum.

Negara hukum yang dimaksud adalah negara

yang menegakkan supremasi hukum untuk

menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada

kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan

(akuntabel). Berdasarkan prinsip negara hukum,

penyelenggara negara tidak saja bertindak sesuai

dengan hukum tertulis dalam menjalankan tugas

untuk menjaga ketertiban dan keamanan, namun juga

bermuara pada upaya mencapai kesejahteraan umum,

kecerdasan kehidupan bangsa, dan perlindungan

terhadap segenap bangsa Indonesia.

b. Pasal 3

Ayat (1): Majelis Permusyawaratan Rakyat

berwenang mengubah dan menetapkan Undang-

Undang Dasar;

Ayat (2): Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik

Presiden dan/atau Wakil Presiden;

Ayat (3): Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya

dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-

Undang Dasar.

Wewenang atau kekuasaan Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana

disebutkan pada Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) di atas

menunjukkan secara jelas bahwa MPR bukan

merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan

lembaga negara tertinggi. Ketentuan yang terkait

dengan wewenang atau kekuasaan MPR tersebut juga

menunjukkan bahwa dalam ketatanegaraan Indonesia

dianut sistem horizontal-fungsional dengan prinsip

saling mengimbangi dan saling mengawasi

antarlembaga negara.

2. Hubungan antara negara dan penduduknya yang

meliputi warga negara, agama, pertahanan negara,

pendidikan, dan kesejahteraan sosial.

a. Pasal 26

Ayat (2): Penduduk ialah warga negara Indonesia dan

orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Orang asing yang menetap di wilayah Indonesia

mempunyai status hukum sebagai penduduk

Indonesia. Sebagai penduduk, maka pada diri orang

asing itu melekat hak dan kewajiban sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku

(berdasarkan prinsip yuridiksi teritorial) sekaligus

tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum

internasional yang berlaku umum (general

international law).

b. Pasal 27

Ayat (3): Setiap warga negara berhak dan wajib ikut

serta dalam upaya pembelaan negara.

Pasal 27 ayat (3) tersebut bermaksud untuk

memperteguh konsep yang dianut bangsa dan negara

Indonesia di bidang pembelaan negara, yaitu bahwa

upaya pembelaan negara bukan monopoli TNI, namun

juga merupakan hak sekaligus kewajiban setiap

warga negara.

c. Pasal 29

Ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing

dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu.

Pasal 29 ayat (2) tersebut menunjukkan bahwa

negara menjamin salah satu hak manusia yang paling

asasi, yaitu kebebasan beragama. Kebebasan

beragama bukanlah pemberian negara atau golongan

tetapi bersumber pada martabat manusia sebagai

ciptaan Tuhan.

d. Pasal 31

Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti

pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya;

Ayat (3): Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,

yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta

akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pendidikan

dasar menjadi wajib dan bagi siapa pun yang tidak

melaksanakan kewajibannya akan dikenakan sanksi.

Sementara itu, pemerintah wajib membiayai

kewajiban setiap warga negara dalam mendapatkan

pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa setiap

warga negara mempunyai pendidikan minimum yang

memungkinkannya untuk berpartisipasi dalam proses

pencerdasan kehidupan bangsa. Ketentuan ini juga

mengakomodasi nilai-nilai dan pandangan hidup

bangsa Indonesia sebagai bangsa yang religius dan

tujuan sistem pendidikan nasional, yaitu untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa.

e. Pasal 33

Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha

bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Asas kekeluargaan dan prinsip perekonomian

nasional dimaksudkan sebagai rambu-rambu yang

sangat penting dalam upaya mewujudkan demokrasi

ekonomi di Indonesia. Dasar pertimbangan

kepentingannya tiada lain adalah seluruh sumber

daya ekonomi nasional digunakan sebaik-baiknya

sesuai dengan paham demokrasi ekonomi yang

mendatangkan manfaat optimal bagi seluruh warga

negara dan penduduk Indonesia.

f. Pasal 34

Ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan

sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai

dengan martabat kemanusiaan.

Dari ketentuan pasal 34 ayat (2) tersebut dapat

diperoleh pengertian bahwa sistem jaminan sosial

merupakan bagian upaya mewujudkan Indonesia

sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga

rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan.

3. Materi lain berupa aturan bendera negara, bahasa

negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan

a. Pasal 35

Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

b. Pasal 36

Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

c. Pasal 36A

Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan

semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

d. Pasal 36B

Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.

Bendera, bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan

merupakan simbol yang mempersatukan seluruh

bangsa Indonesia di tengah perubahan dunia yang

tidak jarang berpotensi mengancam keutuhan dan

kebersamaan sebuah negara dan bangsa, tak

terkecuali bangsa dan negara Indonesia (MPR RI,

2011: 187). Dalam pengertian yang simbolik itu,

bendera, bahasa, lambang, dan lagu kebangsaan

memiliki makna penting untuk menunjukkan

identitas dan kedaulatan negara dan bangsa

Indonesia dalam pergaulan internasional.

 

C. Implementasi Pancasila Dalam Pembuatan

Kebijakan Negara Dalam Bidang Politik, Ekonomi,

Sosial Budaya Dan Hankam

Pokok-pokok pikiran persatuan, keadilan sosial,

kedaulatan rakyat, dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang

terkandung dalam Pembukaan UUD NRI tahun 1945

merupakan pancaran dari Pancasila. Empat pokok pikiran

tersebut mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai

hukum dasar negara, yaitu Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945.

Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke

dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat

aspek kehidupan bernegara, yaitu: politik, ekonomi, sosial

budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi

POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan dalam

pasal 26, pasal 27 ayat (1), dan pasal 28. Aspek ekonomi

dituangkan dalam pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34.

Aspek sosial budaya dituangkan dalam pasal 29, pasal 31,

dan pasal 32. Aspek pertahanan keamanan dituangkan

dalam pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 (Bakry, 2010: 276).

Pasal 26 ayat (1) dengan tegas mengatur siapa-siapa

saja yang dapat menjadi warga negara Republik Indonesia.

Selain orang berkebangsaan Indonesia asli, orang

berkebangsaan lain yang bertempat tinggal di Indonesia,

mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap

setia kepada Negara Republik Indonesia yang disahkan

oleh undang-undang sebagai warga negara dapat juga

menjadi warga negara Republik Indonesia. Pasal 26 ayat

(2) menyatakan bahwa penduduk ialah warga negara

Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di

Indonesia. Adapun pada pasal 29 ayat (3) dinyatakan

bahwa syarat-syarat menjadi warga negara dan penduduk

Indonesia diatur dengan undang-undang.

Pasal 27 ayat (1) menyatakan kesamaan kedudukan

warga negara di dalam hukum dan pemerintahan dengan

tidak ada kecualinya. Ketentuan ini menunjukkan adanya

keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada

diskriminasi di antara warga negara baik mengenai haknya

maupun mengenai kewajibannya.

Pasal 28 menetapkan hak warga negara dan

penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan

pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, yang

diatur dengan undang-undang. Dalam ketentuan ini,

ditetapkan adanya tiga hak warga negara dan penduduk

yang digabungkan menjadi satu, yaitu: hak kebebasan

berserikat, hak kebebasan berkumpul, dan hak kebebasan

untuk berpendapat.

Pasal 26, 27 ayat (1), dan 28 di atas adalah

penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat

dan kemanusiaan yang adil dan beradab yang masingmasing

merupakan pancaran dari sila keempat dan kedua

Pancasila. Kedua pokok pikiran ini adalah landasan bagi

kehidupan nasional bidang politik di negara Republik

Indonesia.

Berdasarkan penjabaran kedua pokok pikiran

tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang

politik harus berdasar pada manusia yang merupakan

subjek pendukung Pancasila, sebagaimana dikatakan oleh

Notonagoro (1975: 23) bahwa yang berketuhanan,

berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan

berkeadilan adalah manusia. Manusia adalah subjek negara

dan oleh karena itu politik negara harus berdasar dan

merealisasikan harkat dan martabat manusia di dalamnya.

Hal ini dimaksudkan agar sistem politik negara dapat

menjamin hak-hak asasi manusia.

Dengan kata lain, pembuatan kebijakan negara dalam

bidang politik di Indonesia harus memperhatikan rakyat

yang merupakan pemegang kekuasaan atau kedaulatan

berada di tangan rakyat. Rakyat merupakan asal mula

kekuasaan dan oleh karena itu, politik Indonesia yang

dijalankan adalah politik yang bersumber dari rakyat,

bukan dari kekuasaan perseorangan atau kelompok dan

golongan, sebagaimana ditunjukkan oleh Kaelan (2000:

238) bahwa sistem politik di Indonesia bersumber pada

penjelmaan hakikat manusia sebagai makhluk individu dan

makhluk sosial dalam wujud dan kedudukannya sebagai

rakyat.

Selain itu, sistem politik yang dikembangkan adalah

sistem yang memperhatikan Pancasila sebagai dasar-dasar

moral politik. Dalam hal ini, kebijakan negara dalam bidang

politik harus mewujudkan budi pekerti kemanusiaan dan

memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur untuk

mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga

negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan. Ketentuan ini memancarkan asas

kesejahteraan atau asas keadilan sosial dan kerakyatan

yang merupakan hak asasi manusia atas penghidupan yang

layak.

Pasal 33 ayat (1) menyatakan perekonomian disusun

sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan,

sedangkan pada ayat (2) ditetapkan bahwa cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan pada

ayat (3) ditegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat. Ayat (1) pada pasal ini menunjukkan adanya hak

asasi manusia atas usaha perekonomian, sedangkan ayat

(2) menetapkan adanya hak asasi manusia atas

kesejahteraan sosial.

Selanjutnya pada pasal 33 ayat (4) ditetapkan bahwa

perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Sesuai dengan

pernyataan ayat (5) pasal ini, maka pelaksanaan seluruh

ayat dalam pasal 33 diatur dalam undang-undang.

Pasal 34 ayat (1) mengatur bahwa fakir miskin dan

anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan negara

mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat

dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak

mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ketentuan

dalam ayat (2) ini menegaskan adanya hak asasi manusia

atas jaminan sosial.

Adapun pada pasal 34 ayat (4) ditetapkan bahwa

negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas

pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang

layak. Pelaksanaan mengenai isi pasal ini, selanjutnya

diatur dalam undang-undang, sebagaimana dinyatakan

pada ayat (5) pasal 34 ini.

Pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34 di atas adalah

penjabaran dari pokok-pokok pikiran kedaulatan rakyat

dan keadilan sosial yang masing-masing merupakan

pancaran dari sila keempat dan kelima Pancasila. Kedua

pokok pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan

sistem ekonomi Pancasila dan kehidupan ekonomi

nasional.

Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran

tersebut, maka pembuatan kebijakan negara dalam bidang

ekonomi di Indonesia dimaksudkan untuk menciptakan

sistem perekonomian yang bertumpu pada kepentingan

rakyat dan berkeadilan. Salah satu pemikiran yang sesuai

dengan maksud ini adalah gagasan ekonomi kerakyatan

yang dilontarkan oleh Mubyarto, sebagaimana dikutip oleh

Kaelan (2000: 239), yaitu pengembangan ekonomi bukan

hanya mengejar pertumbuhan, melainkan demi

kemanusiaan, demi kesejahteraan seluruh bangsa. Dengan

kata lain, pengembangan ekonomi tidak bisa dipisahkan

dengan nilai-nilai moral kemanusiaan.

Dengan demikian, sistem perekonomian yang

berdasar pada Pancasila dan yang hendak dikembangkan

dalam pembuatan kebijakan negara bidang ekonomi di

Indonesia harus terhindar dari sistem persaingan bebas,

monopoli dan lainnya yang berpotensi menimbulkan

penderitaan rakyat dan penindasan terhadap sesama

manusia. Sebaliknya, sistem perekonomian yang dapat

dianggap paling sesuai dengan upaya

mengimplementasikan Pancasila dalam bidang ekonomi

adalah sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi

yang bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat

secara luas.

Pasal 29 ayat (1) menyatakan negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Penjelasan Undang-

Undang Dasar, ayat (1) pasal 29 ini menegaskan

kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha

Esa. Adapun dalam pasal 29 ayat (2) ditetapkan bahwa

negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini jelas

merupakan pernyataan tegas tentang hak asasi manusia

atas kemerdekaan beragama.

Pasal 31 ayat (1) menetapkan setiap warga negara

berhak mendapat pendidikan. Ketentuan ini menegaskan

bahwa mendapat pendidikan adalah hak asasi manusia.

Selanjutnya pada ayat (2) pasal ini dikemukakan bahwa

setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan

pemerintah wajib membiayainya. Dari ayat (2) pasal ini

diperoleh pemahaman bahwa untuk mengikuti pendidikan

dasar merupakan kewajiban asasi manusia. Sebagai upaya

memenuhi kewajiban asasi manusia itu, maka dalam ayat

(3) pasal ini diatur bahwa pemerintah wajib mengusahakan

dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional

yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak

mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang

diatur dalam undang-undang. Demikian pula, dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, maka dalam ayat (4)

pasal 31 ini ditetapkan bahwa negara memprioritaskan

anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh

persen) dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara) serta dari APBD (Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah) untuk memenuhi kebutuhan

penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam pasal 31 ayat

(5) ditetapkan pula bahwa pemerintah memajukan ilmu

pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilainilai

agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan

peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Pasal 32 ayat (1) menyatakan negara memajukan

kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia

dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam

memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Ketentuan menegaskan mengembangkan nilai-nilai budaya

merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, ayat (2) pasal

32 menyatakan negara menghormati dan memelihara

bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Pasal 29, pasal 31, dan pasal 32 di atas adalah

penjabaran dari pokok-pokok pikiran Ketuhanan Yang

Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan

persatuan yang masing-masing merupakan pancaran dari

sila pertama, kedua, dan ketiga Pancasila. Ketiga pokok

pikiran ini adalah landasan bagi pembangunan bidang

kehidupan keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan

nasional.

Berdasarkan penjabaran pokok-pokok pikiran

tersebut, maka implementasi Pancasila dalam pembuatan

kebijakan negara dalam bidang sosial budaya mengandung

pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam

proses pembangunan masyarakat dan kebudayaan di

Indonesia. Menurut Koentowijoyo, sebagaimana dikutip

oleh Kaelan (2000: 240), sebagai kerangka kesadaran,

Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1)

universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari

keterkaitan struktur; dan 2) transendentalisasi, yaitu

meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan

kebebasan spiritual. Dengan demikian, Pancasila sebagai

sumber nilai dapat menjadi arah bagi kebijakan negara

dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial budaya

Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua,

kemanusiaan yang adil dan beradab.

Selain itu, pengembangan sosial budaya harus

dilakukan dengan mengangkat nilai-nilai yang dimiliki

bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila. Hal ini tidak

dapat dilepaskan dari fungsi Pancasila sebagai sebuah

sistem etika yang keseluruhan nilainya bersumber dari

harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang

beradab. Perbenturan kepentingan politik dan konflik

sosial yang pada gilirannya menghancurkan sendi-sendi

kehidupan bangsa Indonesia, seperti kebersamaan atau

gotong royong dan sikap saling menghargai terhadap

perbedaan suku, agama, dan ras harus dapat diselesaikan

melalui kebijakan negara yang bersifat humanis dan

beradab.

Pasal 27 ayat (3) menetapkan bahwa setiap warga

negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan

negara. Dalam ketentuan ini, hak dan kewajiban warga

negara merupakan satu kesatuan, yaitu bahwa untuk turut

serta dalam bela negara pada satu sisi merupakan hak asasi

manusia, namun pada sisi lain merupakan kewajiban asasi

manusia.

Pasal 30 ayat (1) menyatakan hak dan kewajiban

setiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan

keamanan negara. Ketentuan ini menunjukkan bahwa

usaha pertahanan dan keamanan negara adalah hak dan

kewajiban asasi manusia. Pada ayat (2) pasal 30 ini

dinyatakan bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara

dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan

rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan

utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Selanjutnya pada ayat (3) pasal 30 ini juga dijelaskan

bahwa Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan

Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, sebagai alat negara

bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara

keutuhan dan kedaulatan negara. Dalam ayat (4) pasal 30

dinyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai

alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani

masyarakat, serta menegakkan hukum. Ayat (5) pasal 30

menyatakan susunan dan kedudukan Tentara Nasional

Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia,

hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam

menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga

negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara,

serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan

keamanan diatur dengan undang-undang.

Pasal 27 ayat (3) dan pasal 30 di atas adalah

penjabaran dari pokok pikiran persatuan yang merupakan

pancaran dari sila pertama Pancasila. Pokok pikiran ini

adalah landasan bagi pembangunan bidang pertahanan

keamanan nasional.

Berdasarkan penjabaran pokok pikiran persatuan

tersebut, maka implementasi Pancasila dalam pembuatan

kebijakan negara dalam bidang pertahanan keamanan

harus diawali dengan kesadaran bahwa Indonesia adalah

negara hukum. Dengan demikian dan demi tegaknya hakhak

warga negara, diperlukan peraturan perundangundangan

negara untuk mengatur ketertiban warga negara

dan dalam rangka melindungi hak-hak warga negara.

Dalam hal ini, segala sesuatu yang terkait dengan bidang

pertahanan keamanan harus diatur dengan memperhatikan

tujuan negara untuk melindungi segenap wilayah dan

bangsa Indonesia.

Pertahanan dan keamanan negara diatur dan

dikembangkan menurut dasar kemanusiaan, bukan

kekuasaan. Dengan kata lain, pertahanan dan keamanan

Indonesia berbasis pada moralitas kemanusiaan sehingga

kebijakan yang terkait dengannya harus terhindar dari

pelanggaran hak-hak asasi manusia. Secara sistematis,

pertahanan keamanan negara harus berdasar pada tujuan

tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa (Sila pertama dan kedua), berdasar

pada tujuan untuk mewujudkan kepentingan seluruh

warga sebagai warga negara (Sila ketiga), harus mampu

menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta

kebebasan kemanusiaan (Sila keempat), dan ditujukan

untuk terwujudnya keadilan dalam hidup masyarakat (Sila

kelima). Semua ini dimaksudkan agar pertahanan dan

keamanan dapat ditempatkan dalam konteks negara

hukum, yang menghindari kesewenang-wenangan negara

dalam melindungi dan membela wilayah negara dan

bangsa, serta dalam mengayomi masyarakat.

Ketentuan mengenai empat aspek kehidupan

bernegara, sebagaimana tertuang ke dalam pasal-pasal

UUD NRI tahun 1945 tersebut adalah bentuk nyata dari

implementasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan

atau kerangka dasar yang mengarahkan pembuatan

kebijakan negara dalam pembangunan bidang politik,

ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan di

Indonesia. Berdasarkan kerangka dasar inilah, pembuatan

kebijakan negara ditujukan untuk mencapai cita-cita

nasional kehidupan bernegara di Indonesia.[ ]

 

Daftar Pustaka

Abdullah, Rozali, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara dan

Pandangan Hidup Bangsa, CV. Rajawali, Jakarta.

Bahar, Saafroedin, Ananda B. Kusuma, dan Nannie

Hudawati (peny.), 1995, Risalah Sidang Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945,

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta.

Bakry, Noor Ms., 2010, Pendidikan Pancasila, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta.

Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.

Kusuma, A.B., 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945,

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta.

51

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna: Historisitas,

Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

MPR RI, 2011, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal MPR RI,

Jakarta.

Notonagoro, 1975, Pancasila secara Ilmiah Populer,

Pantjuran Tujuh, Jakarta.

_________, tt., Pancasila Yuridis Kenegaraan, Fakultas Filsafat

UGM, Yogyakarta.

Rindjin, Ketut, 2012, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan

Tinggi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar