MERAWAT INDONESIA DAN MENGUKUHKAN KEBHINNEKAAN
Oleh: Reinhard Hutapea
Kompartemen Ideologi dan Kaderisasi DPP PA GMNI,
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Disampaikan dalam Dialog Kebangsaan GmnI Medan,
27 Maret 2021, Jl Kejaksaan no 6.
Pengantar
Tema ini saya terima dari Samuel Gurusinga pada hari Kamis/25 Maret 2021 pertelefon, lalu ditulis di WA. Tema, yang menurut saya sudah sering, bahkan terlalu sering diperbincangkan. Hampir semua lembaga dari yang terkecil hingga terbesar telah mengumandangkan bahwa masalah ini, yakni Bhinneka Tunggal Ika sudah finis…sudah tak perlu dipersoalkan…..begitu didengungkan dengan nyaring[1].
Di pergurun tinggi telah diberikan MK Pancasila, MK Kewarganegaraan, MPR/Taufik Kiemas merekomendasikan 4 pilar kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk memperkuat pengutan Pancasila telah dilembagakan.
Sebelumnya, yakni pada Orde Baru dulu sudah ada penataran-penataran Pancasila (P4/BP-7), era Bung Karno dengan Tubapi (tujuh bahan pokok Indoktrinasi) untuk mewujudkan nilai-nilai Pancasila, telah dilakukan dengan gegap gempita, dengan satu tujuan, yakni merawat Indonesia.
Persoalan atau pertanyaannya adalah “Bagaimana perawatannya? Apakah selalu/sudah sembuh (berhasil), masih rawat inap (masih sakit), sudah berobat jalan, atau malah semakin berat penyakitnya? …..ini yang perlu didiskusikan. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah apa rupanya penyakitnya? Sakit mencret/flu/masuk angin, stroke, atau kanker.....sukar menjawabnya secara hitam putih
Penyakit-penyakit ini cukup bervariasi. Teman saya Herdi Sahrasad bersama Al Chaidar, menulis buku dengan tema “Fundamentalisme, Terorisme, dan Radikalisme” (2017, Fredom foundation dan CSS _ UI). Artinya menurut buku tersebut ada tiga penyakit kronis;
· Fundamentalisme
· Terorisme, dan
· Radikalisme
Ketiga penyakit ini, telah saya bahas di ruangan ini juga pada 22 Juni 2017. Paper saya kala itu bertema “Tantangan Dan Peluang Terkini, Marhaenisme dan Pancasila Sebagai Warisan Bung Karno”. Tema yang dimajukan Samuel Hutagaol, ketika marak-maraknya pergunjingan konsep Khilafah (baca di google atau di blog saya www.reinhard1959.blogspot.co.id )
Ketika Orde Baru berkuasa, penyakit kronis itu (kata mereka) adalah “Komunisme”, yang saat ini juga sering didengung-dengungkan bersama penyakit-penyakit lain, seperti “Separatisme, Korupsi, Narkoba”;
Ø Komunisme
Ø Korupsi
Ø Separatism
Ø Narkoba
Masdar F Mas’udi (dalam Herdi Sahrasad dan Al Chaidar, 2017) melihat penyakit itu adalah;
o Pengangguran
o Kemiskinan
o Kebodohan
o Keterbelakangan
Penyakit-penyakit ini masih bisa diteruskan sekian panjang lagi[2]….. mungkin tidak akan habis-habisnya. Lalu apa hubungannya dengan tema kita hari ini?
Jawaban saya singkat …..Kebangsaan Indonesia sudah final, sejak 1 Juni 1945.
Untuk memperkuat pernyataan atau statement ini saya tulis Kembali pendapat seorang tokoh Katolik, yang saya Yakini sangat menguasai pemikiran Bung Karno, yakni Magnis Suseno yang memberi prolog, ketika mengantar bukunya Yudi Latif, 2019, Negara Paripurna; Historiitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
TAMBANG EMAS BAGI YANG INGIN MENGERTI INDONESIA
Oleh Franz Magnis Suseno
Soekarno suka mengutif definisi Otto Bauer tentang bangsa sebagai “die au seiner Schicksalgemeinschaft erwrchsende Charaktergemeinscaft, komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman bersama (terjemahan saya sendiri). Indonesia adalah komunitas pengalaman bersama. Orang asing, dan tak jarang juga orang Indonesia sendiri, bertanya apa yang membuat keanekaragaman etnik, budaya, ras, dan agama yang menghuni wilayah kepulauan Nusantara antara Sabang dan Merauke sampai menjadi satu negara?
Jawaban bahwa Indonesia adalah sekedar kelanjutan kesatuan administrative bekas jajahan Belanda terlalu dangkal. Jawaban ini tidak menjelaskan satu fakta yang cukup menarik: Di Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam Sumpah Pemuda, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat di Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama, bahasa Indonesia, tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena pemuda sudah merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian amat penting sebagai sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia.
Yang menarik juga, dan kelihatan dalam Sumpah Pemuda maupun dalam tekad perjuangan kemerdekaan kemudian adalah bahwa kebangsaan Indonesia merupakan kenyataan sosial dan bukan hanya semacam label jadi-jadian, melainkan membuktikan diri dalam hasrat para pemuda yang cukup berbeda itu untuk menjadi satu bangsa. Kebangsaan Indonesia dalam sejarah Indonesia merdeka kemudian tak pernah sungguh-sungguh dipersoalkan. Di tahun 50-an tidak dan juga sesudah jatuhnya rezim Orde Baru tidak. Pelbagai pemberontakan di tahun 50-an bukannya mau keluar dari Republik Indonesia, melainkan mau menyelamatkan Indonesia dari pelbagai ancaman yang mereka persepsi. PRRI – Permesta tidak mau mendirikan negara di luar Indonesia. Pada akhir abad ke-20, karena banyak konflik lokal yang pecah, banyak orang bicara tentang “disintegrasi” yang mengancam Indonesia. Sekarang, 13 tahun kemudian, kelihatan bahwa bangsa Indonesia memang menghadapi pelbagai masalah serius, tetapi disintegrasi tidak terdapat diantaranya. Kesatuan Indonesia tetap kokoh.
Maka tinggal pertanyaan dari mana persatuan orang-orang yang begitu berbeda budaya, etnik, agama, dan rasnya. Kita Kembali ke Sukarno: Indonesia adalah komunitas karakter yang berkembang dari komunitas pengalaman Bersama. Yang mempersatukan Indonesia adalah pengalaman ketertindasan, pengalaman ketidakadilan yang di derita Bersama, pengalaman pelbagai kekejaman, pengalaman penghinaan bahwa orang asing menjadi tuan-tuan dan menghisap tenaga kerja rakyat. Dalam pengalaman ketertindasan Bersama, rakyat Indonesia mulai menyadari harkat kemanusiaan Bersama, harkat manusia Indonesia. Sejak permulaan abad ke -20 generasi muda Indonesia yang sempat menikmati Pendidikan tinggi mulai mengenal dan menghargai etika pasca revolusi Perancis Barat: hak untuk menentukan nasibnya sendiri, nasionalisme, sosialisme. Mereka mengetahuinya dari Belanda dimana cita-cita itu diyakini, namun tidak diterapkan pada wilayah colonial mereka di Hindia Belanda. Kontradiksi ini mempertajam kesadaran generasi muda “maju” Indonesia itu akan ketidakwajaran keadaan kolonialisme dan menyalakan api kebangsaan Indonesia dalam hati para pemuda.
Berbeda dengan misalnya Korea, Perancis, atau Polandia, kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alamai, berdasarkan adanya sau Bahasa dan satu budaya yang lalu ingin terungkap dalam kesatuan organisatoris satu negara nasional. Sama dengan banyak negara lain, kesatuan Indonesia bukannya berdasarkan suatu budaya dan bahasa yang sama, melainkan berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh bersama. Karena kebangsaan Indonesia bukan sesuatu yang alami, maka Soekarno begitu menekankan perlunya nation building. Indonesia sudah menjadi bangsa, tetapi proses menjadi bangsa merupakan proses panjang yang harus diusahakan terus menerus. Kebangsaan Indonesia perlu terus-menerus diemong, dipelihara, dirangsang, dibimbing, dikembangkan, diperdalam. Kebangsaan Indonesia di abad ke-21 kita ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan hasil sebuah proses nation building terus menerus. Kalau tidak dipelihara maka dapat juga menguap
∏
DEMOKRASI POLITIK DENGAN DEMOKRASI EKONOMI = DEMOKRASI SOSIAL
Oleh: Soekarno
Proklamator dan Presiden pertama Indonesia
Negeri Eropah mengenal parlementair democratie sesudah adanya Revolusi Perancis, yang terjadi pada penghabisan abad ke-18 dan permulaan abad ke-19. Parlementaire democratie (demokrasi dengan parlemen) inilah yang dinamakan demokrasi politik atau politieke democratie: semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak buat memilih anggota parlemen dan dipilih menjadi anggota parlemen.
Kalau ditilik dengan sekelebatan mata saja (sekilas), maka memang cara pemerintahan semacam ini seperti sudah bisa menyenangkan 100% kepada rakyat. Bukan?, mau apa lagi?, - toh sudah bisa memiih atau dipiih buat parlemen, boleh membuat usul ini atau itu, boleh menyetem pro kalau mufakat dan boleh menyetem menolak kalau tidak mufakat, boleh mengadakan undang-undang baru atau meniadakan undang-undang lama, boleh menjatuhkan Menteri yang tidak disenangi atau mengangkat Menteri baru yang dicocoki? Mau apa agi, bukan?, - kan ini sudah satu cara pemerintahan yang 100% “dengan rakyat”, oleh rakyat, buat rakyat?
Sekelebatan mata saja memang begitu. Tetapi di dalam prakteknya ternyataah, bahwa rakyat di dalam negeri-negeri yang memakai cara pemerintahan yang demikian itu, belumlah 100% senang. Di negeri-negeri yang ada parlemen, terutama di dalam urusan r e z e k i, di dalam urusan e k o n o m I , rakyat jelata masih saja banyak menderita kemiskinan. Dinegeri-negeri yang ada politieke democratie itu seperti Perancis, seperti Inggris, seperti Amerika, Belgia, Nederand, Zwedia, Nowegia, dan lain-lain maka disitulah ada kapitalisme.
Dinegeri-negeri itu malahan subur kapitalisme itu, subur stelsel cara produksi dengan memakai tenaga perburuhan. Karena itu ternyatalah, bahwa untuk membuat sejahtera rakyat-jelata, politieke democratie atau parlementaire democratie saja b e l u m l a h c u k u p. masih perlu lagi ditambah dengan demokrasi dilapangan lain, kerakyatan dilapangan lain, kesama-rasa-rataan dilapangan lain. Lapangan ini ialah lapangan r e z e k I, lapangan ekonomi. Demokrasi politik saja belum mencukupi, demokrasi politik itu masih perlu di- complete” – kan lagi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik saja belum cukup, - yang mencukupi ialah demokrasi politik p l u s demokrasi ekonomi.
Memang dari t a r i c h – t u m b u h n y a politieke democratie sudah tampaklah bahwa politieke democratie itu “ada apa apanya”. Dari ontstaans-vormnya ia nyata satu demokrasi yang tidak sempurna bagi rakyat. Sudahkah pembaca pernah membaca tarics terjadinya parlementaire democratie alias politieke democratie itu? Kalau belum, dibawah inilah dia, dalam garis-garis yang besar.
Sebagai tadi saya katakan, negeri Perancislah tempat buatannya parlementaire democratie itu. Sebelum silamnya abad kedelapan belas maka Perancis adalah satu negeri yang f e o d a l. Cara pemerintahan disitu adalah cara pemerintahan yang a u t o k r a t i s: Kekuasaan kenegaraan, kekuasaan membuat undang-undang, kekuasaan kehakiman, semuanya itu adalah memusat ketangannya seorang raja, yang sama sekali c a k r a w a r t i di dalam segala urusan negara. Tiap tiap perkataannya menjadi wet, tiap-tiap pendapatnya menjadi hukum, tiap-tiap titahnya menjadi nasibnya seluruh negeri dan rakyat. Ia memandang dirinya sebagai ganti Allah di dunia, ia anggap kekuasaannya itu sebagai gantinya kekuasaan Allah. Ia persatukan dirinya dengan negara, ia berkata bahwa sebenarnya “negara” tidaklah ada, - negara adalah dia sendiri, negara adalah I n g s u n P r i b a d i, “L’ Etat, c’est moi”, - negara ialah aku! Inilah cara pemerintahan yang dinamakan a b s o l u t e m o n a r c h I e, pemerintahannya seorang raja saja yang kekuasaannya tidak terbatas. Dan bagaimana raja seorang diri itu bisa berdiri tegak menjalankan kekuasaannya yang demikian itu? Bagaimana ia seorang diri bisa menjalankan kecakrawartian yang demikian itu? Ia bisa menjalankan kecakrawartian itu karena disokong oleh kesetiaannya kaum adel dan geesteijkheid, kesetiannya kaum ningrat, dan kaum penghulu-penghulu agama.
Bukan saja pada silamnya abad kedelapan belas ada cara pemerintahan yang demikian itu, bukan saja di zaman yang akhir-akhir sebelum Revolusi. Tidak, telah berabad-abad cara pemerintahan yang demikian itu beraku di Perancis (dan negeri-negeri lain), zonder ada letusan ketidak senangan hati dari pihaknya rakyat jelata. Tetapi pada silamnya abad kedelapan belas “maatschappelijke verhoudingen” mulai berobah, perbandingan-perbandingan masyarakat mulai berobah. Apa yang telah terjadi? Pada silamnya abad kedelapan belas itu mulai timbullah s a t u k e l a s b a r u dimasyarakat Perancis, yang makin lama makin bertambah arti, makin lama makin penting, makin lama makin kuat. Kelas baru ini iaah “ k e l a s n y a k a u m p e r u s a h a a n”. kelasnya kaum perniagaan, kaum handelar industri, kaum b u r j u i s, yang membuka dan menjalankan perusahaan-perusahaan beraneka ragam buat mencari untung.
Mula-mula tidak terlalu teranglah oleh kelas baru ini keburukannya cara pemerintahan feodal itu. Maklum mereka belum biak, belum subur, belum “nonjol betul di dalam masyarakat. Tetapi mereka selalu bertambah penting di dalam produksi-produksi masyarakat Perancis. Mereka punya peusahaan-perusahaan mau bangun dimana-mana. Akhirnya pada silamnya abad kedelapan belas terasalah betul oleh negara cara pemerintahan absolut, monarchie itu sebagai satu b e l e n g g u yang mengikat kegiatan mereka. Segala-gala kekuasaan ditangan raja, segala-gala hukum datangnya dari situ, mereka harus menurut dan menerima saja, pada hal mereka mau menaik betul keatas udaranya masyarakat, sebagai burung garuda diangkasa siang. Tidak bisa subur betul mereka punya perusahaan-perusahaan itu, selama wet-wet feodal, selama masih wet-wet negeri, selama aturan negara hanya menguntungkan kepada raja dan adel dan geestelijkheid saja, - selama bukan mereka sendiri yang memegang kemudi pemerintahan. Sebab hanya mereka, hanya merekalah sendiri yang tahu betul-betul undang-undang apa yang mesti diadakan buat menyuburkan mereka punya perusahaan, mereka punya perniagaan, mereka punya pertukangan, mereka punya kegiatan ekonomi, - bukan kelas lain atau orang lain.
Apa daya? Jalan satu-satunya ialah merebut kekuasaan itu! Merebut kemudi pemerintahan dari tangannya raja dan ningrat dan penghulu agama, merebut kecakrawartian itu dari tangannya feodale autocratie, - ke dalam tangan mereka sendiri! Tetapi sudahkah cukup mereka punya kekuatan untuk menjalankan perjuangan ini dengan harapan sukses? Raja menguasai bala tantara, raja memerintah polisi dan hakim-hakim, raja menggenggam segenap machtsapparaatnya negara, - tetapi mereka?
Disinilah kaum perusahaan itu lantas memainkan satu rol yang paling hebat di dalam mereka punya sejarah; mereka mencari kekuatan itu dikalangan rakyat jelata! Mereka semangatkan rakyat-jelata itu kepada mereka punya perjuangan! Mereka mobilisir rakyat jelata itu menjadi satu tenaga yang berjuang bagi kepentingan dan kemanfaatan mereka.
Mereka tahu, - sudah lama rakyat jelata itu menggerutu. Sudah lama rakyat jelata itu marah dan dendam, karena ditindas oleh feodale autocratie itu. Baik dikota-kota besar seperti Paris dan Lyon maupun didusun-dusun seluruh Perancis, rakyat jelata miskin dan papa-sengsara, diperas habis-habisan oleh raja dan ningrat dan penghulu-penghuu agama itu, ditumpas semua hak-haknya sehingga boleh dikatakan tiada hak lagi baginya sama sekali. Apa yang lebih mudah dari pada membangkitkan rakyat jelata itu supaya berjuang melawan penindas-penindasnya itu?
Maka rakyat-jelata itu dibangkitkanlah oleh kaum perusahaan itu! Dibangkitkan dengan semboyan yang muluk-muluk, yang berisi tuntutan, hak campur tangan bagi rakyat di dalam dapurnya pemerintahan. Dibangkitkan dengan pekik perjuangan “liberte, egalite, fraternite”, - kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dibangkitkan dengan tuntutan “semua bagi rakyat, semua dengan rakyat, semua oleh rakyat”, dibangkitkan dengan pidato-pidato revolusioner dan dengan mendirikan N a t i o n a l e V e r g a d e r i n g (parlemen), yang disitulah semua hukum-hukum buatan feodale autocratie itu dibongkar dan ditiadakan, diganti dengan wet-wet baru bikinan rakyat sendiri. Dibangkitkan dus dengan semboyan parlementaire democratie, yakni cara pemerintahan yang berdasar kepada suara rakyat dan kehendak rakyat.
Dan hebatlah juga kesediaan rakyat jeata Perancis buat berjuang mati-matian melaksanakan tuntutan-tuntutan dan semboyan-semboyan itu! Hatinya tertangkap sama sekali oleh keindahan sinarnya idealism baru itu, berkobar-kobar menyala-nyala menyundul langitnya extase, menghebatkan dendamnya rakyat jelata Perancis itu menjadi satu “revolutionnaire will”, satu “kemauan revolutionnair”, yang menggelombang menghantam tembok-temboknya kekuasaan feodale autocratie itu dengan cara yang gemuruh gegap gempita! Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu agama runtuh, semua elemen-elemennya feodale autocratie itu runtuh oleh hantamannya offensief rakyat-jelata Perancis itu….Dan jikalau nanti abad kedelapan belas telah silam, diganti dengan abad kesembilan belas, jikalau abad kesembilan belas ini telah berusia beberapa tahun pula, maka telah habislah sama sekali di Perancis itu tiap-tiap sisa dari feodae autocratie itu, telah habislah absolute monarchie, - telah berkibarah di Perancis benderanya r e p u b l i k dan benderanya parlementarie democratie.
Revolusinya kaum perusahaan di Perancis telah berhasil! Revolusinya kaum peusahaan, dengan tenaganya rakyat jelata dan darahnya rakyat jelata! Revolusi ini segeralah menjadi suara lonceng pula buat lain-lain negeri dibenua Eropah, buat menghapuskan sistim-sistim yang feodal, otokrasi, absolutism. Revolusi ini, - dengan pertumpahan darah atau zonder pertumpahan darah, - fahamnya, ismenya menjalarlah ke Belgia, kenegeri Belanda, kenegeri Jerman, kenegeri-negeri utara, ke Swis, ke Denmark, dan kenegeri-negeri lain. Raja-raja yang memerintah dinegeri itu diikatkan kekuasaannya dengan parlementaire democratie, ditelikung kecakrawartiannya yang tiada berbatas, ditundukkan kekuasaannya absolute monarchie menjadi constitusionele monarchie (kerajaan berdasarkan konstitusi) yang musti tunduk kepada grondwet (undang-undang dasar) dan kehendak rakyat. Sejak pertengahan abad kesembilan belas, boleh dikatakan seluruh Eropah Barat sudahlah menjadi padangnya sistim-sistim baru parlementaire democratie itu: parlemen pembuat wet, parlemen pengontrol tiap-tiap perbuatan pemerintah, parlemen pemegang kemudinya perahu negara…
Tetapi!
Justru di Eropa Barat itulah pada pertengahan abad kesembilan belas kapitalisme mulai menaik betul-betul. Justru di Eropah Barat ituah sejak dari waktu itu kapitalisme dengan pesat menjalankan ia punya oppgang, ia punya “Aufstieg”, ia punya kenaikan sebagai yang saya gambarkan di dalam artikel nomor lebaran tempo hari. Justru di Eropa Barat itulah sejak dari waktu itu kelas burjuis menjadi maha-kuasa. Kelasnya feodalendom surut dan silam, kelasnya otokrasi keningratan hilang dan hapus, tetapi tempatnya digantiah dengan kelasnya kapitalismendom yang maha kaya. Dan rakyat jelata, yang di Perancis melaksanakan suruhannya kelas burjuis itu dengan mengorbankan ia punya darah dan ia punya jiwa, rakyat jelata itu dilapangan ekonomi tetaplah papa-sengsara. Rakyat jelata itu dilapangan ekonomi tetaplah kelas yang menderita, tetaplah duduk di pihak yang buntung. Rakyat jelata itu di Perancis nyatalah diperkudakan semata-mata oleh kelas burjuis, disuruh mengupas nangka, disuruh kena getah, tetapi tidak dikasih makan nangkanya.
Tentu, - ia punya hak-hak politik kini adalah jauh lebih luas daripada dulu. Kini ia boleh memilih, kini ia boleh masuk parlemen, kini ia boleh bersuara, kini ia boleh memprotes, kini ia boleh berkehendak, - dulu ia hanyalah budak semata-mata yang hanya mempunyai kewajiban dan tidak mempunyai hak. Dulu ia hanyalah kena “sabda pandita guru”. Tetapi apakah yang kini didapat sebagai untung dilapangan ekonomi? Dulu ia kekurangan rezeki, kini ia masih kekurangan rezeki. Dulu ia “kawulo”, kini ia “buruh”. Dulu ia “horige”, kini ia “proletar”.
Ini, inilah pertentangan yang ada dalam demokrasi itu: Pertama, pertentangan antara adanya hak politik dengan k e t i a d a a n h a k e k o n o m i.
Inilah pertentangan yang digambarkan oleh Jean Jaures dengan pidatonya yang maha indah di dalam Gedung parlemen Paris, tahun 1893, tatkala ia bernggar kata dengan waki-wakil burjuis dan minister-minister burjuis. Apa yang dkatakan Jaures? Dengarkanlah pidato maha indah yang saya kutip dibawah ini:….
Alangkah hebatnya pidato ini!
Rasanya tak mampu pena saya menterjemahkannya kedaam Bahasa Indonesia! Tetapi di bawah inilah intinya:
Tuan mendirikan republic, dan itu adalah kehormatan yang besar. Tuan membuat republic teguh dan kuat, tak dapat dirobah atau dibinasakan oleh siapapun juga, tetapi justru karena itu Tuan telah mengadakan pertentangan hebat antara sususnan politik dan susunan ekonomi. Benar, dengan algemeen kiesrecht, dengan pemiihan umum Tuan telah membuat semua penduduk bisa bersidang mengadakan rapat yang sama kuasanya dengan rapatnya raja-raja. Mereka punya kemauan adaah sumbernya tiap-tiap we, tiap-tiap hukum, tiap-tiap pemerintahan; mereka melepas pembuat undang-undang, mereka melepas mandataris, dan Menteri. Tetapi pada saat yang siburuh itu menjadi tuan di urusan politik, pada saat itu juga ia adalah budak belian dilapangan ekonomi. Ya, pada saat yang ia menjatuhkan Menteri-menteri, makai a sendiri bisa diusir dari pekerjaan zonder ketentuan sedikitpun jua apa yang akan ia makan di hari esok. Tenaga kerjanya hanyalah satu barang dagangan, yang bisa di beli atau ditampik menurut semau-maunya kaum majikan. Ia bisa diusir dari tepat pekerjaan, oleh karena ia tak mempunyai hak ikut menenukan aturan-aturan tempat pekerjaan itu, yang tiap-tiap hari zonder dia, tetapi buat menindas dia, ditetapkan oleh kaum majikan itu menurut semau-maunya sendiri.
Demikianlah kepincangannya demokrasi itu; di dalam parlemen, dilapangan politik rakyat adalah raja, tetapi dilapangan ekonomi tetaplah ia budak. Di lapangan politik ia namanya souverain, tetapi dilapangan ekonomi ia sama sekali lemah dan tidak berdaya apa-apa. Karena itu maka timbul kesadaran baru: demokrasi politik itu musti ditambah lagi dengan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik itu, yang berarti kesamarataan hak dilapanan politik, akan tetap satu demokrasi burjuis, manakala tidak dilengkapkan dengan kesamarataan dilapangan ekonomi pula. Belum pernah saya membaca satu kalimat yang begitu pedas mengeritik melompongnya demokrasi politik itu seperti kalimat yang diucapkan oleh Charles Fourier hampir seratus tahun yang lalu: Een hongerlijder helpt het weinig, dat hij inplaats van een goede maaltijd te nuttigen de grondwet kan opslaan; het is hem inzijn ellende beledigen, wanner men hem zo’n schadeloosteling aanbiedt” – Orang lapar tidak akan tertolong kalau dia bisa membuka buku undang-undang dasar, tetapi tidak mendapat makan nasi kenyang-kenyang; bahwasanya satu penghinaanlah kepadanya, kalau mengasih kerugian kepadanya semacam itu.
Orang akan menanya, kenapa tidak cukup dengan parlemen? Tidakkah dapat terkabul semua kehendak rakyat jelata asal rakyat jelata di dalam parlemen itu dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak? Tidakkah rakyat dapat meneruskan semua ia punya kehendak-kehendak ekonomis, asal saja suaranya di dalam parlemen sudah lebih daripada separo? Pembaca, didalam prakteknya parlemen, nyatalah hal yang demikian itu tidak dapat terjadi. Pertama oleh karena biasanya kaum burjuislah yang mendapat lebih banyak kursi. Mereka kaum burjuis itu, banyak alat propagandanya. Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioskop-bioskop, mereka punya sekolah-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai, - Semuanya itu menjamin, bahwa biasanya utusan-utusan rakyat jelata kalah suara. Dan, kedua, - kalau rakyat jelata bisa menang suara, kalau rakyat jelata dapat merebut jumlah kursi yang terbanyak, maka tetap tak mungkin kesamartaan ekonomi itu. Sejarah parlementaire democratie sudah beberapa kali mengalamkan kejadian “arbeidersmeerderheid”, - misalnya dulu di Inggris pernah terjadi dibawah pimpinan almarhum Ramsay MacDonald, - tetapi – dapatkah waktu itu dilangsungkan kesamarataan ekonomi itu?
Tidak ! Sebab azasnya parlementaire democratie memang hanya mengenai kesamarataan politik saja. Azasnya parlementaire democratie itu tidak mengenal urusan ekonomi. Azasnya parlemetaire democratie itu tetap menghormati milik perseorangan pribadi sebagai suatu barang yang tidak boleh diganggu dan tidak boleh dilanggar. Privaatbezit, milik pribadi, tetaplah ia dijunjung tinggi sebagai satu pusaka yang keramat. Parlemen boleh mengambil putusan apa saja, parlemen boleh memutuskan sapi menjadi kuda, tetapi parlemen tidak boleh mengarubiru milik pribadi itu. Parlemen, parlementaire democratie, grondwet, konstitusi , atau entah nama apa lagi baginya itu, hanyalah menjaminkan perlindungan milik pribadi itu. Tetapi tidak berhak merobah isinya milik pribadi itu. Di dalam bukunya Max Adler “Politieke of Sociale” Democratie, saya membaca satu kalimat, yang jitu sekali buat menggambarkan batasnya hak parlementaire democratie itu. Beginilah bunyi kalimat itu:
Persamaan hak itu hanyalah dapat menentukan bahwa milik pribadinya tiap-tiap penduduk itu mendapat perlindungan yang sama sekali tidak dapat membuat bahwa tiap-tiap penduduk juga mempunyai satu milik pribadi. Kepada orang-orang yang tiada milik apa-apa, ia hanyalah dapat berkata: “Sayang seribu sayang, sobat, bahwa Tuan tidak mempunyai milik apa-apa, maka akan kulindungilah milik Tuan itu seperti seperti milik lain-lain orang juga”…..Persamaan hak itupun hanya dapat menentukan, bahwa ketentraman rumah tangga dari tiap-tiap penduduk terjaga daripada gangguan orang luaran. Tetapi ini belum berarti, bahwa orang yang tidak mempunyai rumah lantas mendapat satu rumah, dimana ia bisa merebahkan ia punya badan.
Tidakkah jitu sekali ucapan Max itu? Sungguh tampaklah disitu dengan nyata, betapa kekurangan-kekurangan demokrasi kalau hanya demokrasi politik saja. Karena itu maka ia punya kesimpulan pun tidak ragu-ragu pula: bahwa demokrasi yang kita kenal itu ialah demokrasi burjuis, bahwa ideal yang dikandungnya ialah ideal burjuis, bahwa azas persamaan hak yang didalamnyapun satu azas burjuis.
Ya, satu demokrasi burjuis, satu ideal burjuis, satu azas burjuis, karena pada asalnya memang timbul daripada keperluan burjuis, sebagai dimuka saya terangkan. Dan sudah saya terangkan pula beberapa kali dilain-lain artikel di “Pemandangan” ini, bahwa keperluan burjuis ini ialah keperluan dimasa kapitalisme hendak menaik dan sedang menaik, dimana sifatnya kegiatan ekonomi kapitalisme itu ialah usaha merdeka, rebutan merdeka, persaingan merdeka, konkurensi merdeka. Ekonomis Liberalisme dan politik liberalism, - liberalism berarti faham kemerdekaan -, ekonomis dan politik liberalisme itulah induk yang melahirkan parlementaire democraitie, dapur dimana parlementaire democratie itu diracik, digiling, dimasakkan. Dan oleh karena ekonomis dan politik iberalisme itu adalah faham-faham burjuis dimasa menaik sedang dimasa menurun faham-fahamnya ialah monopool, diktatur, teori, maka parlementaire democratie – pun satu demokrasi yang burjuis pula.
R E F E R E N S I
Soekarno, 1954, dibawah bendera revolusi, jakarta
Yudi latif, 2019, Negara Paripurna; historsitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia, Jakarta.
Reinhard Hutapea, 2017, (makalah) Tantangan dan Peluang terkini, Marhaenisme dan Pancasila, Sebagai warisan Bung Karno, Medan
[1] Yang dikumandangkan ini adalah masalah-masalah primordialisme, seperti suku, etnik, agama, ras, dan sebagainya, yang memang selalu tampil dalam setiap era. Jangan kan di negeri ini, di negeri seraksasa AS sendiri, masalah ini tetap muncul. Lihat perilaku Trump semasa berkuasa, ia selalu mengunggulkan kulit putih. Tapi apakah penonjolan iu akan menghilangkan kebangsaannya? Jawabannya Panjang…
[2] Seperti pernyataan Buya Syafii Maarif, yang melihat ketimpangan sosial sebagai akar permasalahan yang kita hadapi, sebab keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, sila ke lima Pancasila, yang seharusnya menjadi paradigma ekonomi-politik negeri ini, sejak dulu hingga hari ini tidak pernah dipraksiskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar