Jumat, 09 Juli 2021

PARADOKS 76 TAHUN PANCASILA

 



 

Paradoks 76 TAHUN PANCASILA

Oleh: Reinhard Hutapea, Hisar Siregar, dan Nedi Sidauruk

Pokja Pusat Studi Pancasila, UHN. Medan

Published, Waspada, 10 Juli 2021

Tidakkah dulu Bung Karno nyerocos “go to hell with your aid?”apakah kita sudah haqul yakin bahwa investasi asing itu sebagai hal yang tak dapat dielekkan?

 

5 tahun yang lalu, Pemerintah Jokowi-JK telah menetapkan 1 Juni sebagai hari lahirnya Pancasila. Selain ditetapkan sebagai hari lahirnya, tanggal tersebut juga telah ditetapkan sebagai hari libur nasional. Mulai tahun 2017 setiap tanggal 1 Juni adalah hari libur. Hari yang diperingati dan dirayakan sebagai hari-hari besar lainnya.

Sebagaimana setting historis-sosiologisnya peringatan-peringatan hari besar dinegeri ini selalu dirayakan dengan meriah dan sakral. Acara didesain sedemikian rupa sehingga setiap peserta maupun audiencenya terhipnotis secara sakralis. Akan tetapi sebagaimana lazimnya, selesai acara tersebut selesai juga kesucian tersebut. Persis seperti menonton film di bioskop/twenty one/sinetron/youtube/drakor, tutup layar, tutup juga kelanjutannya.

Nyaris tiada relasi antara kesucian/sakralitas peringatan dan kenyataan empirik. Realitas sosial, khususnya kehidupan ekonomi politik tetap begitu-begitu saja, kalau bukan lebih berat dari era-era sebelumnya. Apakah peringatan hari lahirnya Pancasila setiap tanggal 1 Juni akan seperti itu terus, sejarah yang menjawabnya.

Tantangan Ekonomi-Politik

Sejarah sebagaimana hakikinya, akan mencatat setiap peristiwa, fenomena, dan kejadian-kejadian istimewa lainnya dengan runtut (logis, sistimatis dan akurat). Dan, lazimnya dari deskripsi itu, jika disimak dengan seksama, selalu terjadi pengulangan-pengulangan fenomena. Artinya, dalam kehidupan ini sesungguhnya, tidak ada yang baru. Semua gejala-gejala itu sudah pernah terjadi sebelumnya, sebagaimana dititahkan Pengkhotbah 3000 tahun yang lalu, yakni dibawah matahari tidak ada yang baru.

Begitu pula ketika 1 Juni 1945 ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila, dan akan dirayakan setiap tahun, mayoritas masyarakat berharap (mendambakan) bahwa kehidupannya akan lebih baik ke depan, sebagaimana (sejarah) pengharapan mereka 76 tahun yang lalu.

Perbaikan yang tidak sekedar spiritualitas (pengharapan) namun juga (terutama) materialitas, sebab sudah terlalu lama terlilit serba kekurangan karena kemiskinan nan kronis dan ketimpangan akut. Kemiskinan dan ketimpangan yang tidak sekedar kealfaan mereka, utama dan terutama adalah karena sistem, pranata, atau tatanan yang membelenggu..

Mereka telah membayangkan bagaimana dulu pidato Bung Karno 1 Juni 1945 nan patriot, heroik, dan  historik, akan mewujudkan masyarakat pasca kolonial yang lebih bebas, setara, dan sejahtera. Masyarakat yang lebih “aman, sejahtera dan cerdas”, sebagaimana amanat alinea ke empat  Pembukaan UUD 1945, yakni keamanan, kesejahteraan, dan kecerdasan. Dengan kata lain tidak akan ada lagi perbudakan oleh penjajah, tidak ada lagi exploitation the l’hom par l’home, dan hubungan-hubungan yang asimetris (tidak setara, menindas) lainnya.

Harapan-harapan yang melesat ke tengah-tengah sukma/pergaulan mereka, sebagaimana harapan-harapan sebelumnya, khususnya pengharapan pada era reformasi yang belum lama berselang. Dengan reformasi, yakni tumbangnya kekuasaan yang absolut-otoritarian, dan tampilnya era kebebasan,  mereka yakin haqul yakin bahwa kehidupannya akan lebih baik dari era Soeharto yang birokratik-patrimonial (otoriter). Akan tetapi sebagaimana perjalanannya, pengharapan itu pun tak kunjung-kunjung tiba.

Jangankan tiba, bayangannya saja tak pernah kelihatan. Kehidupan ekonomi yang timpang tidak lebih baik dari era sebelumnya. Yang kaya semakin kaya, sebaliknya yang miskin tetap saja semakin miskin. Sekian kebijakan yang diharapkan dapat meretasnya, telah ditempuh sekian banyak, namun hasil kongkritnya sebagaimana dalam era-era sebelumnya, masih jauh dari harapan.

Apakah ketimpangan demikian masih dapat disebut hanya situasi sementara, atau transisional sebagaimana sering disebut para elit power establish, sukar memastikannya. Yang pasti kehidupan ekonomi rakyat masih jauh dari memadai.

Selain tidak memadai/belum pulih yang menjadi tanda tanya besar adalah semakin diliberalkannya perekonomian ditengah-tengan persyaratan yang belum memadai. Tidakkah kebijakan itu hanya menguntungkan yang kuat saja? Tidakkah itu membuat kapitalis global semakin mencengkeramkan kuku mereka di negeri ini? Tidakkah itu penjajahan dalam bentuk baru, sebagaimana diistilahkan Bung Karno dulu dengan “Nekolim”?

Meskipun banyak pihak yang menyangsikan liberalisasi perekonomian tersebut, para pengambil keputusan, kecenderungannya, sudah dikuasai pemikiran-pemikiran (paradigma) globalis-liberal, yakni negeri ini harus pro aktif dalam liberalisasi perdagangan, dalam organisasi-organisasi ekonomi internasional, seperti MEA dan Trans Pasifik dan lain-lain kekuatan regional-global, yang dinakhodai triumvirat, IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Manifesatasinya dapat di lihat, dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja/Omnibus Law yang primat utamanya adalah membuka diri kepada investasi, teknologi, dan manajerial asing.

Yang jelas dan pasti (hingga kasat mata) perekonomian negeri ini semakin terbuka lebar terhadap perekonomian mondial, yakni perekonomian yang sungguh-sungguh an sich didasarkan kepada pasar (deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi), sebagaimana pesan-pesan Konsensus Washington 4 dekade lalu (Stiglitz, 2001).

Meski tidak  persis sama, menurut setting sejarahnya, perekonomian demikian agak mirip dengan politik terbuka (open door policy) Orde Baru, yang membuka lebar-lebar negeri ini kepada investor asing. Segala kemudahan dibuka lebar-lebar demi investasi asing. Sebagaimana hukum ekonomi, investor yang menanamkan modalnya di negeri ini sudah pasti, akan menginginkan kapitalnya aman dan mendapat keuntungan (bukan untuk memakmurkan negara tujuannya).

Konsekwensinya mereka akan mengajukan persyaratan-persyaratan yang tidak ansich ekonomis, melainkan juga politis. Artinya dikte-dikte mereka tidak mungkin dihindarkan. Tidakkah ini yang kita hindarkan sejak lama? Tidakkah dulu Bung Karno nyerocos “go to hell with your aid?”   Apakah kita sudah haqul yakin bahwa investasi asing itu sebagai hal yang tak dapat dielakkan? Perlu perdebatan panjang, yang tak mungkin terulas dalam artikel singkat ini.

Paradoks Pancasila

Yang pasti perkonomian kita tidak seperti yang dititahkan Pancasila, yakni yang berparadigma “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, sebagaimana tertulis dalam UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat 1,2, dan 3, yakni perekonomian disusun sebagai usaha bersama berazaskan kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan bumi, serta kekayaan alam yang terdapat didalamnya, digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Bukan, bukan, dan sekali lagi bukan seperti itu. Sejak Orde Baru hingga hari ini perekonomian kita sudah liberal-individualistik. Sangat mengikuti doktrin, dalil, dan tradisi pasar, ala Adam Smith, yakni “persaingan” (competition). Bukan kerjasama (cooperation) sebagaimana pesan pasal 33 UUD 1945.

Sebagaimana hakiki persaingan, sudah pasti (dan hanya) mereka yang kuatlah yang berhasil, yang menjadi pemenangnya. Sebaliknya mereka yang tak kuat, hanya tunduk pada yang unggul. Outputnya sebagaimana sering disuarakan Buya Syafii Maarif, adalah munculnya 1 persen individu yang menguasai 51 persen sumber daya. Sungguh suatu yang paradoks dengan sila ke lima Pancasila.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar