MENCARI FORMAT BARU DEMOKRASI PANCASILA
Oleh: Reinhard Hutapea, Hisar Siregar, dan Nedi Sidauruk
Pokja Pusat Studi Pancasila UHN Medan
Published, Waspada, 5 Agustus 2021
Jokowi dengan adagium boleh demo, kritik, dan unjuk rasa, namun harus mengikuti tata krama….Pemeo, anjuran sudah sering kita dengar dikhotbahkan para eklit terutama di era Soeharto, yakni bebas, tapi bertanggung jawab.
Dua issu politik akbar yang viral saat ini, khususnya di media sosial, adalah, kritik terhadap presiden Jokowi yang dilontarkan BEM UI dengan meme “the king of lip service” dan ajakan demonstrasi serentak Jokowi end game dari kalangan yang belum jelas tanggal 24 juli 2021, yang juga menolak PPKM. Dua issu spektakuler -fantastic mengundang perdebatan (pro dan kontra) besar di masyarakat.
Issu pertama, yakni the king of lip service, yang digelontorkan terhadap kebijakan Presiden Jokowi yang dianggap hanya manis di bibir, namun empirik-faktualnya jauh panggang dari api, telah meletupkan perdebatan keras bagi berbagai kalangan. Ada yang menolak dengan keras, halus, hingga marah-marah.
Sebaliknya ada yang mendukung dengan gembira, ketawa-ketiwi/nyinyir, hingga bersyukur, karena setuju dengan statement/pernyataan BEM UI tersebut. Di pihak lain ada yang biasa-biasa saja, cuek, hingga yang sungguh-sungguh tidak mau tahu. Presiden Jokowi sendiri telah menanggapinya dengan santai tapi juga serius.
Dikatakan santai karena, Jokowi menanggapi apa adanya, alias tidak berlebihan, apalagi meledak-ledak. Beliau cukup tenang, calm, dan sejuk sebagaimana sifat/karakternya sejak lama. Dalam kanal you tube sekretariat presiden yang diunggah 29 Juni 2021, dengan senyum bernas Jokowi berkumandang…”yah itu kan sudah sejak lama yah, dulu ada yang bilang saya klemar-klemar, ada yang bilang juga saya itu plonga-plongo. Kemudian ganti lagi, ada yang bilang saya itu otoriter”,
Tantangan Pancasila
Masih dalam you tube yang sama Jokowi kembali berdendang, dan disini letak seriusnya, yakni bahwa “kritik boleh dilakukan dalam iklim negara demokrasi…tidak perlu dihalangi….kritik dari mahasiswa tidak perlu dilarang pihak kampus, tetapi juga ingat, kita ini memiliki budaya “tata krama, memiliki kesopan santunan”….. Boleh tapi harus memiliki tata krama dan kesopan santunan. Ini sentral masalahnya, yakni tata krama dan kesopan santunan, tata krama dan kesopan santunan yang seperti apa?
Analog dengan ajakan demo serentak Jokowi end game tanggal 24Juli 2021 yang lalu, banyak kalangan yang menentang, namun banyak juga yang mendukung. Yang menentang berargumen bahwa suasana masih pandemi. Tidak elok melakukan unjuk rasa dalam suasana tersebut. Kalau mau menyampaikan pendapat atau kritik, dilakukan dengan audensi atau FGD saja (ajakan Polri).
Sebaliknya yang mendukung berdalih/menyatakan bahwa demonstrasi atau unjuk rasa adalah hak setiap warga negara dimana dan kapanpun itu. Soal bahwa demonstrasi atau unjuk rasa berisik, atau memekakkkan telinga, adalah konsekwensi dari setiap negara yang menganut sistim demokrasi (Prof Dr Goto Loco, 19 Juli 2021)
Singkatnya terdapat dua pandangan yang kontradiktif. Namun jika ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya ada tiga, yang sama-sama hidup, sama-sama berseberangan, dan sudah berlangsung lama dinegeri ini. Pandangan pertama adalah persepsi yang didasarkan kepada aliran, paradigma, filsafat atau ideologi “liberal”, yang menganggap kebebasan itu adalah mutlak (freedom is freedom). Sebaliknya adalah kalangan “konservatif atau otoritarian”, yang menganggap kebebasan itu tidak mutlak, bahkan tidak ada.
Kebebasan hanyalah milik penguasa, rezim, atau elite yang berkuasa. Rakyat atau yang diperintah hanya nurut saja kepada apa yang dititahkan penguasa, rezim, atau para elite berkuasa (the rulling clas). Pandangan ketiga adalah pandangan yang mensublimasi persfektif Liberal, maupun persfektif Otoriter/Radical/Marxist, yakni yang hanya mengambil yang baik-baik saja dari kedua persfektif tersebut.
Pandangan ketiga ini, meskipun tidak persis sama adalah pandangan yang dikemukakan Jokowi dengan adagium boleh demo, kritik, dan unjuk rasa, namun harus mengikuti tata krama, kesopanan, dan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya/kearifan lokal kita.
Pemeo, anjuran, filsafat, ideologi, bahkan mythos yang sudah sering kita dengar sejak negeri ini merdeka. Slogan, jargon, dan simbol, yang lebih dari cukup telah dikhotbahkan para tokoh, pejabat, elit, sejak era Bung Karno, dan terutama di era Soeharto, yakni bebas,tapi mengikuti tata krama, bebas tapi bertanggung jawab, sebab demokrasi kita bukanlah demokrasi liberal yang tak terbatas, tapi juga bukan demokrasi totaliter yang absolut, tetapi demokrasi Pancasila. Demokrasi yang sudah kita sepakati sejak proklamasi.
Demokrasi yang jika ditilik lebih jauh, adalah demokrasi yang sudah ada dalam sistim socio-cultural bangsa sejak lama. Sistim yang lebih mengutamakan musyawarah, ketimbang kebebasan individu yang sangat liberal dalam mencapai kesepakatan (konsensus). Demokrasi itu harus bulat, tidak lonjong, sebagaimana titah Soeharto dalam 32 tahun kekuasaannya..
Akan tetapi jika ditilik dari historisitasnya, bagaimana kongkritnya format demokrasi demikian,, sehingga menjadi paradigmatis, konseptual, atau menjadi roll model (teori) belum pernah tampil kepermukaan. Semua masih dalam bentuk normatif-kwalitatif nan ideal, kalau bukan retorika, verbalism, euphemism, alias permainan atau sihir kata-kata belaka. Belum praktis, terukur, atau kongkrit dipraktekkan.
Oleh karena itu tidak keliru, ketika Prof Howard Wriggins (1969) menyatakan bahwa ideologi-ideologi yang diperkenalkan negara-negara sedang berkembang, (termasuk Indonesia) pasca kemerdekaannya (pasca perang dunia II), hanya instrument para pemimpin untuk menghimpun kekuasaan. Selebihnya adalah mengalihkan perhatian dari persolan-persoalan nyata, memutarbalikkan realitas, dan mencampur-adukkan penggunaan cara untuk mencapai tujuan (Ruslan Abdulgani,1986:61)
Lebih bombastis dan blak-blakan diutarakan Prof Donald S. Weatherbee dan Prof Harry J. Benda dari Universitas Yale, yang khusus meneliti peranan ideologi di Indonesia. Dalam bukunya Ideologi in Indonesia, dua pakar yang sudah tak asing lagi itu menyatakan bahwa Pancasila itu sebenarnya, suatu usaha belaka untuk menutup nutupi pertentangan kepentingan yang real antara berbagai golongan. Hanya dan hanya itu (ibid Ruslan Abdulgani).
Meski masih dapat diperdebatkan, mengingat ketiga pakar AS itu adalah penganut filsafat pragmatism/realisme, sementara Pancasila lebih dekat/cenderung dengan filsafat idealisme, dalam fakta-empiriknya, apa yang diutarakan ketiga pakar itu, banyak mendapat pembenaran. Paling tidak jika ditelusuri dari dua hal, yakni ketika proses perumusannya, dari 1 Juni 1945, hingga 18 Agustus 1945, dan dari perjalanan sejarahnya sejak Orde Lama hingga Orde Baru.
Dalam proses perumusannya, yakni dari sejak 1 juni 1945 (pidato Bung Karno di BPUPKI), 22 Agustus 1945 (piagam Jakarta), dan 18 Agustus 1945 (pembentukan UUD 1945), berubah-ubah,dengan sangat kompromis. Perubahan yang tidak saja dalam hal teknis, melainkan juga akan substansinya (masih debatable).
Mencari format
Demikian pula dalam perjalanan sejarahnya, yakni pada Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, nilai-nilai atau praksis-praksis Pancasila masih jauh dari kebijakan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di Orde Lama sibuk dengan propaganda Manipol Usdek, di Orde Baru dengan penataran(dari penataran ke penataran) P-4, dan di Orde Reformasi sibuk dengan Amandemen yang kebablasan. Mengutif Buya Syafii Maarif, Pancasila sejak dulu dipentaskan hanya sebatas “etalase politik dan tameng rezim” (K, 31 Mei 2021)
Malapetaka demikian, akan semakin runyam bila dihubungkan dengan sistim socio-cultural bangsa kita yang masih vertical-oriented, yang masih patron-client, alias mendongak ke atas, atau feudal. Katanya demokrasi, nyatanya masyarakatnya masih beraja-raja (J. Resink, 1960an), masih berorientasi kepada orang-orang besar, pejabat, pemimpin dan orang-orang besar/elit lainnya. Bagaimana kritik dan kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dalam konteks yang tidak demokratis itu? Sudah waktunya dicari format baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar