BK 10, MK, MANAJEMEN KONFLIK
KULIAH KE-10
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
==================================================================
Pengantar
Kuliah ke-10 ini adalah konflik ekonomi, yakni perang dagang antara dua raksasa dunia, yakni AS dan China. Perang yang berimbas atau berdampak ke seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Perdagangan Indonesia, yang merupakan salah sumber satu sumber pemasukan/devisa (melalui ekspor) negara/bangsa, termasuk membiayai pemerintahannya, menjadi terganggu. Apalagi Indonesia adalah salah satu negara yang di blacklist pemerintahan Trump, yang membuat perdagangannya deficit.
Implikasi utama bagi negeri ini, sebagaimana dikatakan di awal adalah ekspor Indonesia ke AS, akan berkurang. Seberapa besar pengurangan atau deficit itu tidak begitu penting kita hitung, sebab perhitungannya cukup rumit, dan itu adalah urusannya para ekonom, yang piawai mengkalkulasinya (mahasiswa jurusan pemerintahan, bahasannya hanya politik, jarang ekonomi). Yang jelas pembiayaan pemerintahan melalui APBN akan mengalami deficit.
Dengan berkurangnya pemasukan itu, sebagai dampak lanjutannya adalah terganggunya perekonomian secara nasional…….tidak tertutup kemungkinan, proyek-proyek yang sudah dianggarkan pemerintah, baik pusat maupun daerah menjadi terganggu. Begitu pula pembiayan-pembiayaan lain…..dampaknya cukup luas
Sebagai mahasiswa jurusan pemerintahan, yang jarang membahas masalah-masalah teknis/mikro ekonomi…..minimal saudara-saudara harus paham:
1. Sumber-sumber perdagangan atau ekspor Indonesia selama ini, khususnya ke AS (apa yang di jual Indonesia ke Amerika). Sebaliknya jenis-jenis atau komoditas ekspor AS ke Indonesia (apa yang dijual Amerika ke Indonesia)
2. Sama atau setarakah jenis-jenis ekspor itu? Tidakkah timpang? (misalnya jka Indonesia ekspornya tempe, sementara Amerika ekspornya pesawat terbang, apakah sebanding itu)
3. Dengan kondisi seperti itu bagaimana masa depan perdagangan (ekspor/jualan) Indonesia, artinya para mahasiswa harus memahami ekonomi secara makro saja, tidak usah seperti mahasiswa ekonomi, yang mempelajarinya mendetail. Cukup garis-garis besarnya.
4. Akibat dari itu semua, lalu bagaimana dampaknya bagi pemerintah pusat, maupun-pemerintah daerah?.
Sebagai pembuka bacalah dua tulisan popular di bawah ini. Tulisan yang tidak nyelimet, sehingga mudah dipahami.
Kronologi Perang Dagang AS-China
Selama Kepemimpinan Trump
CNN Indonesia
Rabu, 04 Nov 2020
Perang dagang antara AS dan China menjadi perhatian publik selama masa kepemimpinan
Donald Trump. Berikut kronologinya. Perang dagang antara AS dan China menjadi
perhatian publik selama masa kepemimpinan Donald Trump.
Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China kerap menjadi perhatian publik selama
kepemimpinan Presiden AS Donald Trump. Bagaimana tidak, keduanya terlibat
perang dagang hingga memengaruhi sektor perdagangan global sejak 2019 lalu.
Perang dagang bermula karena Trump kesal dengan neraca perdagangan negaranya
yang selalu tercatat defisit dengan China. Untuk itu, ia memilih langkah
proteksionisme untuk memperbaiki neraca perdagangan AS.
Trump memutuskan untuk menaikkan bea masuk impor panel surya dan mesin cuci
yang masing-masing menjadi 30 persen dan 20 persen. Sejak saat itu, tepatnya 22
Januari 2018, perang dagang pun dimulai.
Kemudian, Trump juga mengenakan tarif bea masuk untuk baja sebesar 25 persen
dan 10 persen untuk aluminium. Kebijakan ini diputuskan pada Maret 2018.
Tak tinggal diam, China ikut menaikkan tarif produk daging babi dan skrap
aluminium mencapai 25 persen dan Beijing memberlakukan tarif 15 persen untuk
120 komoditas AS. Komoditas itu, seperti almond dan apel.
China juga mengadu kepada WTO tentang tarif impor baja dan aluminium. Keluhan
ini disampaikan China kepada WTO pada April 2018.
Setelah itu, Departemen Perdagangan AS mengeluarkan kebijakan baru yang
melarang perusahaan telekomunikasi China untuk membeli komponen AS selama tujuh
tahun. Dengan berbagai kebijakan ini, China dan AS pun akhirnya mengadakan
pertemuan untuk membicarakan perang dagang ini di Beijing pada Mei 2018.
Namun, pertemuan itu tak menghasilkan jalan keluar yang terbaik untuk AS dan
China. Namun, pihak China mengumumkan akan mengakhiri penyelidikan anti dumping
terhadap impor sorgum AS setelah pertemuan pertama pada Mei 2018.
Bahkan, China juga menawarkan paket untuk memperbaiki defisit perdagangan AS.
Kemudian, pihak AS dan China sama-sama mengumumkan bahwa keduanya setuju untuk
menaikkan ekspor pertanian dan energi AS.
Selain itu, China juga mengumumkan akan menurunkan tarif impor mobil dari 25
persen menjadi 15 persen. Namun, Trump rupanya tak puas dengan pertemuan antara
AS dan China sebelumnya.
Trump bahkan akan menambahkan tarif 25 persen terhadap impor China yang sebesar
US$50 miliar. Pada akhir Mei 2018, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross bertemu
dengan pihak China.
Sayang, pertemuan itu lagi-lagi tak menghasilkan perjanjian khusus terkait
perdagangan kedua negara. Pihak AS dan China hanya berbicara secara umum
tentang defisit AS dan peningkatan pasokan produk pertanian ke China.
Juni 2018, China bersedia meningkatkan impor dari barang-barang AS. Pemerintah
China pun mengusulkan proposal senilai US$70 miliar untuk pembelian tahun
pertama.
Proposal itu salah satunya berisi tentang peningkatan pembelian produk dari AS.
Beberapa produk itu, antara lain kedelai, gas alam, batu bara, dan jagung.
Namun, hal tersebut tak membuat konflik AS dan China berhenti. Pada 15 Juni
2018, Kantor Perwakilan Perdagangan AS menerbitkan daftar 1.102 barang impor
China senilai US$50 miliar.
Sebanyak 818 barang itu akan dikenakan tarif 25 persen. Sementara, 284 produk
masih akan dievaluasi sebelum diputuskan jumlah tarif yang akan dikenakan.
Kemudian, Trump meminta perwakilan perdagangan AS untuk mendata barang China
senilai US$200 miliar untuk dikenakan tarif tambahan 10 persen. Sikap Trump
dikritik oleh China.
Kementerian Perdagangan China menyatakan AS memulai perang dagang. Negara itu
membuat daftar 545 produk AS yang bernilai US$34 miliar dan akan dikenakan
tarif 25 persen.
Pada September 2018, Trump memberlakukan tarif 10 persen terhadap barang-barang
China senilai US$200 miliar. Setelah itu, China menyatakan bakal mengenakan
tarif impor sebesar US$60 miliar pada barang-barang AS.
Pada November 2018, AS dan China kembali membahas mengenai sektor perdagangan.
Kemudian, AS setuju untuk menunda kenaikan tarif dari 10 persen menjadi 25
persen terhadap barang-barang China senilai US$200 miliar ada Desember 2018.
AS dan China menargetkan mencapai kesepakatan mengenai sektor perdagangan dalam
waktu 90 hari sejak Desember 2018. Namun, Trump menyatakan pihaknya tetap akan
menaikkan tarif impor menjadi 25 persen atas barang-barang China senilai US$200
miliar pada 10 Mei 2019.
Perang dagang pun terus berlanjut. Pada pertengahan Januari 2020, AS dan China
meneken kesepakatan damai dagang fase I.
Salah satu poin kesepakatan damai dagang itu menyebutkan China setuju membeli
barang dari AS senilai US$200 miliar, lalu tambahan US$32 miliar untuk
pembelian produk pertanian dan makanan laut, hampir US$78 miliar untuk
barang-barang pabrik seperti pesawat, mesin, dan baja, juga US$52 miliar untuk
produk energi.
Untuk mencapai nilai kesepakatan itu, China dan AS memasang target setiap
tahun. Untuk produk pabrik, misalnya, China harus mencapai target pembelian
US$32,9 pada tahun pertama dan US$44,8 miliar pada tahun selanjutnya.
Kendati kesepakatan fase I sudah diteken oleh kedua belah pihak, AS tetap akan
mengenakan tarif atas barang impor China hingga ada perjanjian fase II.
Hanya saja, AS setuju untuk menangguhkan tarif pada sejumlah produk elektronik
senilai US$160 miliar dolar AS. Tarif tersebut sebelumnya berlaku pada 15
Desember 2019.
Sejauh ini, AS dan China belum membahas lebih lanjut mengenai kesepakatan
dagang fase II. Trump menyatakan tak berminat membicarakan hal itu karena
pandemi covid-19.
Cat: Meski Trump telah digantikan Biden, kebijakan ini tidak
banyak berubah. Artinya perang dagang itu tetap berlangsung, namun dalam bentuk
yang lebih halus, tidak sekasar waktu Trump. Selanjutnya baca ulasan saya yang
terlampir di bawah ini.
KEBIJAKAN TRUMP; MONEY IS EVERYTHING
Oleh: Reinhard Hutapea
Staf pengajar Fisipol UDA Medan
Published, Analisa, 24 Juni 2019
Untuk kesekian kalinya Trump melakukan keputusan luar biasa, yakni memboikot seluruh perdagangan dengan Huawei Technologies Co, perusahaan ponsel raksasa China, setelah sebelumnya mengakhiri status preferensi perdagangan dengan India, dan menerapkan tarif/bea impor baja 25%, alumunium 10%, dan seluruh komoditas ekspor China.
Dengan gayanya yang erratic, semrawut, dan tak teratur (Prof Robert Jervish, dalam Liddle, K, 16 Maret 2019) Trump memblokir peralatan 5 G, memutus perangkat lunak, dan menghentikan pendistribusian komponen Amerika untuk Huawei di seluruh dunia.
Dunia kaget, meriang, dan menggelinjang, bagaimana pendekar pasar bebas yang mengharamkan proteksi dan diskriminasi dalam perdagangan global, bak petir disiang bolong kini mengingkarinya secara sepihak. Tidakkah itu merusak sistim perdagangan internasional, dan termasuk (include) perekonomian domestiknya?
Kepentingan Nasional
Tidak ada analisis yang tunggal dan sederhana menjawabnya, tergantung dari sudut, sisi, dan persfektif mana menelaahnya. Bagi penganut kemapanan, seperti kalangan liberal-idealis, mungkin akan memprediksi seperti itu, yakni akan merusak tatanan perdagangan internasional, yang membuat pertumbuhan ekonomi dunia terganggu, yang konsekwensi/derivasinya akan memperlambat kesejahteraan global.
Sebaliknya bagi mereka yang meneropong dari kacamata realis, perilaku (behavior) Trump nan anomalis demikian adalah lumrah (common). Tak ada yang aneh, yang anomalis, atau yang out of context. Biasa-biasa saja. Tidakkah normal, jika suatu negara, apalagi sudah terpojok, melakukan tindakan yang tak lazim? Untuk apa mengikuti pola mapan alias moral kalau hancur, lebih baik immoral namun selamat (Morgenthau.H, 2005).
Trump sebagaimana statementnya dalam buku kampanyenya “Amerika Yang Lumpuh” (Crippled America), menyatakan bahwa ia mewarisi Amerika yang sakit, yang menderita, yang miskin, yang mundur, yang tak bisa diselesaikan pendahulu-pendahulunya (Obama, Bush Jr, Bush Sr, Clinton etc). Hanya ia yang bisa menyelesaikannya.
Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah, mundur dan defisitnya perekonomian Amerika ke tingkat nadir, akibat terlalu banyak membiayai organisasi-organisasi kerjasama Internasional (antara lain, NATO) pasca perang dunia II, membesarkan dan melindungi negara-negara sekutu yang lama kelamaan akhirnya menerkamnya secara ekonomi, seperti Jepang dan Eropa Barat (membesarkan anak harimau), membuka diri sebebas-bebasnya kepada pendatang asing beremigrasi ke Amerika, yang dalam perjalanannya, step by step malah menggusur pekerja domestiknya, membebaskan pengusaha-pengusaha domestiknya ekspansi ke luar (MNCs/TNCs) sehingga membawa kapital ke luar, dan tidak memberikan pekerjaan bagi rakyat Amerika.
Sebagai jalan keluar (way out) tiada lain-tiada bukan dibutuhkan tindakan berani dan tegas, tindakan luar biasa, tindakan revolusioner, yang tidak mengikuti konsensus-konsensus sebelumnya, seperti; menutup perbatasan dengan membangun tembok dengan Meksiko, melarang immigran dari 9 negara Islam yang dituding sarang teroris, keluar dari Trans Pacifik Partnershift(TPP), mengeksekusi NATO sebagai organisasi yang usang, tindakan tegas kepada mitra-mitra dagang yang membuat perdagangannya deficit, khususnya China, dan lain-lain kebijakan yang nasionalistik, realis, dan bahkan merkantilis.
Konsep yang tidak sekedar retorika, di atas kertas, atau ancaman belaka, melainkan konsekwen dalam tindakan/praksisnya. Meski mendapat tantangan, cemoohan, dan sekian banyak kritik dari dalam dan luar negeri, Trump tak bergeming/tak peduli, melainkan tegar memenuhi janji-janji politiknya ketika kampanye.
Sinyalemen demikian dapat dilihat ketika baru saja dilantik menjadi Presiden, Trump langsung memerintahkan agar diambil tindakan tegas terhadap 15 negara mitra dagang (termasuk Indoneia) yang merugikannya. Tanpa alasan objektif, Trump menuding bahwa negara-negara ini telah melakukan kecurangan dalam perdagangan kedua negara sehingga Amerika mengalami defisit.
Untuk mengembalikannya ke posisi semula, metode yang ditempuh adalah membalikkan paradigma yang berlaku sebelumnya, yakni tidak mengikuti mekanisme atau prosedur seperti yang di atur dalam rezim perdagangan bebas (WTO). Pola yang diterapkan cenderung an sich demi kepentingan nasional (national interest), yakni, melindungi produsen dalam negeri, menaikkan pajak impor, membatasi kuota impor, dan memaksakan negara-negara lain menerima produknya (merkantilis).
Terhadap negara-negara yang berhimpun dalam NATO, Trump mengultimatum agar meningkatkan kontribusi, pembayaran atau iurannya. Dengan garang beliau mengancam, jika tidak menaikkan kontribusi/kewajibannya, NATO akan dibubarkan, dan masing-masing negara anggota menjaga keamanannya sendiri, tidak lagi dibawah payung nuklir Amerika.
Tercatat yang paling keras tekanan, atau ancamannya adalah ke Jerman, Perancis, Jepang, Italia, dan lain-lain negara Eropa karena sudah mendapat perlindungan/payung nuklir selama ini. Dengan tegas bak superman yang turun dari angkasa, Trump menekan Merkel, Macron, Abe dan lain-lain pemimpin anggota NATO, agar menuruti perintah sepihak tersebut.
Meski bersungut-sungut, merengek-rengek dan berat hati, semua anggota NATO kecenderungannya tiada pilihan lain selain mengikutinya. Masing masing negara tersebut telah berjanji akan memenuhinya secara tahap demi tahap, meski ada bisik-bisik agar masing-masing negara, mulai melepaskan ketergantungannya.
Money Is Everything
Tidak cukup dengan ancaman/kontroversial demikian, Trump semakin menggandakan anomali dan paradoksnya, yakni secara sepihak menyatakan keluar dari kesepakatan Paris tentang perubahan iklim yang sebelumnya telah disepakati pendahulunya (Obama). Beliau menganggap kesepakatan itu sebagai yang terburuk, karena mengganggu perekonomian Amerika.
Begitu pula kesepakatan nuklir dengan Iran, Amerika keluar dari perjanjian itu. Tanpa pembicaraan/perundingan sebelumnya dengan mitra-mitranya seperti, Inggris, Perancis, Rusia, China, dan Jerman, yang juga telah didukung Resolusi Dewan Keamanan PBB No 2231, tanggal 8 Mei 2018, secara sepihak Trump membatalkannya. Selain tak membayar kewajibannya lagi membantu Iran, Trump malah menuduh negeri itu menjadi sarang teroris yang harus dihancurkan.
Dihancurkan tidak hanya dengan kekuatan Amerika an sich, melainkan mengajak (tepatnya menggiring) seteru-seteru Iran disana, seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Saudi Arabia. Trump menghadirkan armada perangnya dikawasan teluk, sementara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membeli persenjataan besar-besaran dari Amerika. Akankah perang meledak disana? Belum ada yang tahu.
Namun sebagai perbandingan, apakah perang akan tampil disana, ideal dihubungkan dengan perkembangan di Asia Timur sebelumnya. Meski tidak persis sama, perang demikian tidak akan terjadi. Betapa dahsyat dan garangnya kala itu Trump mengancam Korea Utara yang doyan menguji misil balistiknya di kawasan, namun setelah pertemuan dengan Kim Jong Un (pemimpin Korea Utara) di Singapura, dengan sekejap permusuhan itu sirna.
Kapal-kapal perang AS yang sudah siaga disana, dengan sekejap pula ditarik kembali ke pangkalan. Begitu pula gelar yang diolok-olok Trump ke Kim Jong Un sebagai the little rocket man (yang doyan menguji coba/menembakkan roket), berubah menjadi the great statesman (pemimpin cerdas).
Trump gemilang dengan diplomasi perangnya. Kim berhasil digiring ke meja perundingan secara unilateral sebagaimana pola, model, atau strategi yang diinginkannya. Meski tidak membuahkan hasil yang significan, diplomasi/strategi ini berhasil menunjukkan bahwa ia dan angkatan perangnya adalah penentu keamanan disana.
Konstalasi yang selanjutnya memaksa Korea Selatan, khususnya Jepang tetap dalam dekapan ketiaknya, dan jauh di atas itu kemudian adalah kesuksesannya menekan Jepang mengurangi deficit perdagangannya.
Dalam pertemuan dengan Shinzo Abe di Jepang baru-baru ini, meski dengan berat hati Jepang melunak dan akan mengurangi agresipitas ekonominya, dan membeli persenjataan-persenjataan berat, seperti bomber B 52 secara besar-besaran dari Washington. Pucuk dicinta ulam tiba. Tidakkah itu yang diinginkan Trump?
Demikianlah benang merah kebijakan luar negeri atau diplomasi Trump seperti yang diuraikan essays terkenal Asheuuer (15 April 2019), adalah profit alias uang, atau oleh guru besar Hubungan internasional Columbia University, Prof Dr Robert Jervish, yakni money is everything. Senang atau murung, dapat menerima atau sebaliknya, yang pasti Trump adalah negarawan realis yang berjuang semata-mata demi kepentingan nasionalnya. Mungkin negeri ini perlu mengambil hikmahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar