Jumat, 04 Februari 2022

MS 9, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


 

MS9, SKP, SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KULIAH KE-9

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

Cat: Materi untuk kuliah ini diambil dari Miriam Budiardjo, 2013, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta

 

SISTEM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah meyelenggarkan sembilan kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan yang lain.

Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemiihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari system pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.

Zaman Demokrasi Parlementer (1945 – 1959)

Sebenarnya pemilihan umum sudah diencanakan mulai bulan Oktober 1945, tetapi baru dapat dialksanakan oleh cabinet Burhanuddin Harahap pada tahun1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September dn satu kali untuk memilih anggota Konstituante pada buan Desember. System pemilihan yang digunakan ialah sistim proporsional. Pada waktu itu sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistim pemilihan umum yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin negara.

Pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung sangat demokratis, tidak ada pembatasan partai-partai, dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai-partai sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Pun pula administrasi teknis berjalan lancer dan jujur.

Pemilihan umum menghasilkan 27  partai dan satu perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Sekalipun jumlah partai bertambah disbanding dengan jumlah partai sebelum pemilihan umum, namaun ada 4 partai yang perolehan suaranya sangat menonjol, yaitu Masyumi, PNI,NU, dan PKI. Bersama-sama mereka meraih 77 persen dari kursi di DPR. Sebaliknya, beberapa partai yangtadinya memainkan peranan penting dalam percaturan politik ternyata hanya memperoleh beberapa kursi.

Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Cabinet Ali (I dan II) yang memeritah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi Tiga Besar, Masyumi, PNI, dan NU, ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan, terutama yang terkait dengan Konsepsi Presiden yang diumumkan tanggal 21 februari 1957. Karena beberapa partai koalisi tidak menyetujuinya, akhirnya beberapa Menteri, antara lain dari Masyumi keluar dari Kabinet. Dengan pembubaran Konstiyuante oleh Presiden Sukarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir dan kemudian mulai zaman Demokrasi Terpimpin.

Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Sesudah mencabut maklumat Pemerintah November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Sukarno mengurang jumlah partai menjadi 10, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam Perti  kemudian ikut dlam pemilihan umum 1971 di masa Orde Baru. Di zaman Demokrasi Terpimpin tidak diadakan pemiihan umum.

Zaman Demokrasi Pancasila

Sesudah runtuhnya Demokrasi Terpimpin yang semi otoriter ada harapan besar di kalangan masyarakat untuk dapat mendirikan suatu system politik yang demokratis dan stabil. Berbagai forum diskusi diadakan seperti misalnya Musyawarah Nasional III Persahi 1966, dan symposium Hak Asasi Manusia Juni 1967. Diskusi yang paling penting diadakan di Seskoad, Bandung pada tahun 1966. Pada seminar Angkatan Darat II ini dibicarakan Langkah-langkah yang praktis untuk mengurangi jumlah partai politik, karena ulah mereka dianggap telah mengakibatkan rapuhnya sistim politik.

Salah satu caranya ialah melalui system pemilihan umum. Pada saat itu diperbincangkan tidak hanya sistim proporsional yang sudah lama dikenal, tetapi juga sistim distrik, yang di Indonesia masih sama sekali baru. Seminar berpendapat bahwa sistim distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah, tanpa paksaan. Diharapkan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik, dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi. Namun keputusan seminar yang kemudian dituangkan dalam suatu RUU ditolak oleh partai-partai dalam DPR pada tahun 1967. Dikhawatirkan bahwa system distrik akan merugikan eksistensi partai-partai politik, dan juga karena ada usul untuk memberikan jatah kursi di DPR kepada ABRI. Dengan ditolaknya sistim distrik maka semua pemilihan umum diadakan dengan memakai sistim proporsional.

Sebagai akibatnya sistim proporsional tahun 1995 tetap menjadi pilihan, namun dengan beberapa modifikasi. Pertama, setiap daerah tingkat II (kabupaten-kota madya) dijamin mendapat satu kursi di DPR. Hal ini dimaksudkan untuk menyeimbangkan jumlah anggota DPR dari Jawa dan luar Jawa, karena jumlah pemilih di Jawa jauh lebih banyak dari jumlah pemilih d luar Jawa. Kedua, dari 460 anggota DPR,100 diantaranya diangkat, yaitu 75 anggota diangkat dari ABRI dan 25 lainnya dari non ABRI. Yang non ABRI ini diangkat dari Utusan Golongan dan Daerah. berdasarkan kompromi antara partai-partai dan pemerintah, yang dinamakan Konsensus Nasional, maka pemilihan umum 1971 diselenggarakan dengan 10 partai politik. Untuk perimbangan jumlah anggota parlemen dan penduduk dibuat perbandingan 1:400.000

Karena gagal menyederhanakan sistim partai lewat sistim pemilihan umum, Presiden Suharto mulai mengadakan berbagai Tindakan untuk menguasai keidupan kepartaian. Tindakan pertama ialah mengadakan fusi diantara partai-partai. Dihadapan partai-partai, Presiden Suharto pada tahun 1973 mengemukakan saran agar mereka mengelompokkan diri dalam tiga golongan, yaitu Golongan Spiritual, Golongan Nasionalis, dan golongan Karya sehingga hanya tinggal tiga partai politik, yaitu Golkar, PPP dan PDI.

Maka mulai tahun 1977 pemilihan umum diselenggarakan dengan menyertakan tiga partai. Golkar selalu menang secara meyakinkan dan meraih kedudukan mayoritas mutlak. Tindakan lain yang menguntungkan Golkar dimuat dalam UU No 3 Tahun 1975, bahwa pengurusan partai-partai terdaftar ibukota tingkat pusat, Dati I, dan Dati II. Ketentuan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “massa mengambang” (floating mass). Dalam praktek peraturan itu menguntugkan Golkar karena dua partai hanya dibenarkan aktif sampai ke tingkat kabupaten, atau Dati II, padahal Golkar bebas untuk bergerak sampai ke tingkat desa, dimana ia bekerja sama dengan apparat pemerintah. Perbedaan itu dimungkinkan karena pada waktu itu Golkar tidak dianggap sebagai partai. Selain dari itu dalam pelaksanaan sehari-hari apparat pemerintah mengadakan intervensi berlebih-lebihan, terutama di daerah-daerah terpencil, dalam usaha mencapai target yang telah ditentukan.

Jika meninjau perkembangan system pemilihan umum di Indonesia, dapat ditarik berbagai kesimpulan;

1.      Pertama, keputusan untuk tetap menggunakan sistim proporsional pada tahun 1967, adalah keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi,atau kesenjangan antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dala DPR. Dengan demikian setiap suara dihitung dan si pemilih merasa puas bahwa suaranya ada maknanya (betapa kecilpun) dalam proses pemilihan pemimpinnya.

2.      Kedua, ketentuan di dalam UUD 1945 bahwa DPR dan Presiden tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak ada lagi gejala sering terjadinya pergantian cabinet seperti di zaman Demokrasi Parlementer. Eksekutuf mempunyai masa jabatan tetap, yaitu lima tahun.

3.      Ketiga, tidak ada lagi fragmentasi partai karena yang dibenarkan eksistensinya hanya tiga partai saja. Usaha mendirikan partai baru tidak bermanfaat lagi dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah kelemahan dari sistim proporsional telah teratasi.

Namun beberapa kelemahan masih melekat pada sistim politik ini. Pertama , masih kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk memilih menurut selera masing-masing sehingga dapat dipertanyakan apakah pilihan si pemilih benar-benar mencerminkan kecenderungannya, atau ada pertimbangan lain yang menjadi pedomannya. Sekalipun demikian harus diakui bahwa angka turnout 90 persen ke atas antara jumlah partisipasi Demokrasi Parlementer dan di zaman Reformasi (keduanya tanpa paksaan) dan jumlah partisipasi di masa Orde Baru (dengan unsur mobilisasi) tidak memperlihatkan perbedaan significan.

Akhirnya jika sebelumnya dikemukakan bahwa sistim distrik kurang baik untuk Indonesia, adalah tidak terbukti, sebab partai kecil, seperti PDI dan PPP sangat diuntungkan dengan sistim proporsional.

Masalah Golput.

Bahasan mengenai masa Demokrasi Pancasila tidak akan lengkap jika tidak membahas Golput. Menjelang pemilihan umum tahun 1977 timbul suatu Gerakan di antara beberapa kelompok generasi muda, terutama mahasiswa. Untuk memboikot pemilihan umum karena dianggap kurang memenuhi syarat yang diperlukan untuk melaksanakan pemilihan umum secara demokratis. yang disebut antara lain ialah kurang adanya kebebasan-kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat bagi suatu pemilihan umum yang jujur dan adil. Untuk melaksanakan sikap ini mereka bertekad ntuk tidak mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum (TPS). Mereka menamakan dirinya Golongan Putih atau Golput.

Banyak media massa kemudian mempunyai keinginan untuk mengukur pengaruh dari Golput ini atas pemilihan umum. Perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kategori pemilih resmi yang ditentukan oleh pemerintah. Diantaranya ada dua kategori yang relevan, yaitu kategori suara tak sah dan kategori yang tidak menggunakan hak pilih. Dalam banyak media massa dua kategori ini dijadikan satu, dan Golput dinyatakan termasuk didalamnya. Pengelompokan itu memang menghasilkan angka yang cukup tinggi yaitu 6, 6 persen (1971), 9,1 persen (1977), 8,5 persen (1982), 8,7 persen (1987), dan 9,1 persen (1992).

Pandangan ini dapat diragukan kebenarannya karena secara teoritis Golput tidak termasuk kategori suara tidak sah, kecuali jika diantara mereka ada yang dengan sengaja merusak kertas pemilihan. Lebih besar kemungkinan Golput termasuk kategori yang tak menggunakan hak pilih. Jumlah kategori ini (termasuk Golput) adalah 0,796 persen (1971), 3,5 persen (1977), 4, 8 persen (1982), 3,8 persen (1987), dan 4,9 persen (1992), jelas lebih rendah.

Mengenai kategori tidak menggunakan hak pilih, perlu disadari bahwa kategori ini sukar dihitung karena tidak hanya mencakup Golput namun juga menyangkut orang yang tidak dating ke TPS karena sakit, atau sedang dalam perjalanan, atau yang tidak peduli. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa angka dari mereka yang tak menggunakan hak pilih, dalam pemilihan umum 1977 dan pemilihan umum berikutnya, menunjukkan kenaikan. Disbanding dengan hasil pemilihan umum 1971. Bagaimana juga Gerakan Golput telah menunjuk pada salah satu kelemahan dari rezim otoriter Orde Baru an hal itu patut dihargai.

Lepas dari masalah Golput, tidak dapat dinafikan bahwa angka partisipasi (voter turnout) yang telah kita capai, yaitu rata-rata di atas 90 persen, merupakan angka yang sangat tinggi. Dalam hubungan ini, menarik untuk disimak bahwa angka partisipasi di Perancis dan negeri Belanda mencapai angka 86 persen, dan di Malaysia 82 persen. Di negara seperti India, yang sering dinamakan negara demokrasi terbesar di dunia, partisipasinya hanya mencapai 52 persen sampai 58 persen. Jadi, dengan partisipasi di Indonesia yang demikian tingginya dapat ditafsirkan bahwa pemilihan umum telah menjadi demikian tingginya dapat ditafsirkan bahwa pemilihan umum telah menjadi bagian penting dari budaya politik Indonesia sebagai lambing demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar