MS 10, SKP, SISTIM KEPARTAIAN DAN PEMILU
KULIAH KE-10 8 Februari 2022
JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA MEDAN
PENGASUH: REINHARD HUTAPEA
Cat : baca baik-baik….ini penting…..ini yang mendasari keadaan partai sekarang. Dikritisi…
SISTIM PEMILU ZAMAN REFORMASI
Perdebatan Sistem Pemilu di Awal Reformasi
Di awal masa reformasi, kita mendapat banyak artikel, tulisan, dan pembahasan ilmiah yang menyoroti kelemahan dalam system politik yang diterapkan di Indonesia sebelum masa reformasi. Persoalan yang mengemuka diantaranya adalah lemahnya peran parlemen (Lembaga legislative) dibandingkan institusi eksekutif, dan kurang menonjolnya fungsi para legislator di parlemen dalam menjalankan fungsi yang diamanatkan.
Selain itu juga disoroti tentang ketidakmampuan sistim politik dalam membangun demokrasi dan kedauatan rakyat. Sebagain kalangan menganggap bahwa kesulitan dalam membangun sistem demokrasi disebabkan karena sistem pemilu dan sistem kepartaian yang diberlakukan dan politik rekrutmen legislatif tidak berjalan efektif.
Sebagian ahli ilmu politik di Indonesia kemudian mengajukan usulan bahwa untuk konteks Indonesia pemilu yang lebih ideal adalah sistim distrik, apalagi jika konteks urgensinya adalah penguatan kontrol rakyat, akuntabilitas pemerintah, otonomi daerah, dan penyebaran pembangunan yang merata di Jawa dan luar Jawa, serta di Barat dan Timur.
Sebagian yang lain menganggap bahwa sistim proporsional bisa dipertahankan jika hambatan-hambatan seperti massa mengambang dan intervensi pemerintah dihapuskan, ditambah dengan nama calon anggota dicantumkan di bawah tanda gambar masing-masing partai. Jika perbaikan ini dilakukan, maka sistim pemilu proporsional akan mengalami perbaikan substansial yang sedikit banyak dapat mengakomodasi kritik dari para pendukung sistim distrik.
Secara ringkas perbaikan dan penyempurnaan dari sistim proporsional yang diajukan adalah:
1. Menyediakan dua alternatif bagi pemilih. Mereka yang menginginkan cara sederhana dapat mencoblos tanda gambar seperti yang berlaku seperti sekarang, sementara mereka yang ingin memberi preferensi kepada orang tertentu dapat mencoblos nama tertentu dalam daftar calon yang dicantumkan di bawah tanda gambar. Suara yang diberikan kepada orang tertentu itu otomatis diberikan kepada partainya.
2. Sistem proporsional yang telah dipakai di Indonesia sejak tahun 1955 (selama 43 tahun) telah menunjukkan hasil yang memuaskan. Dengan sistim proporsional kita dapat mengatasi masalah renggangnya ikatan antara wakil rakyat dengan konstituennya dan, di pihak lain dapat menghindari bias terhadap partai kecil.
3. Jika memang ingin menggunakan sistem distrik, harus tersedia cukup waktu untuk mendiskusikan pro dan kontranya serta mensosialisasikan perubahan ini kepada masyarakat. Dengan demikian partai kecil dan partai baru tetap mendapat kesempatan untuk mengkonsolidasikan pendukungnya.
4. Untuk mengurangi unsur mobilisasi dan intimidasi oleh aparatur pemerintah – agar kebebasan memilih lebih terjamin – maka diperlukan pengaturan agar aparatur pemerintah bersifat netral dan tidak memihak. Jika ada jaminan ini, maka masalah target bagi aparatur pemerintah, yang lazim terjadi di masa lalu dan terutama terjadi di daerah terpencil, dan masalah mobilisasi serta intimidasi akan dapat dihilangkan.
5. Meningkatkan pengawasan pemerintah dan partisipasi aktif semua pihak dalam proses perhitungan suara di setiap tahapan dengan mengikutsertakan saksi dari semua partai agar tidak ada suara yang diselewengkan.
Pemilu Zaman Reformasi
Seperti juga dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakan electoral threshold, suatu ketentuan bahwa untuk pemilihan legislative setiap partai harus meraih minimal 3 persen jumlah kursi anggota badan legislative pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik harus memperoleh minimal 3 persen jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5 persen dari perolehan suara sah secara nasional.
Pemilihan umum 1999 diikuti tiga partai Orde Baru, ditambah sejumlah partai baru, sehingga total berjumlah 48 partai, yang kemudian berhasil masuk DPR adalah 21 partai. Sistem pemilihan umum yang dipakai tidak terlalu berbeda dengan yang dipakai pada pemilihan umum-pemilihan umum sebelumnya. Landasan hukumnya adalah UU No 2 Tahun 1999.
Pada tahun 2004 diadakan tiga pemilihan umum, yaitu pertama pemilihan legislative sekaligus untuk memilih anggota DPD; kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama, ketiga pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Pemilihan umum legislative dilaksanakan bersandarkan pada UU No 12 Tahun 2003, dan diikuti 24 partai, tujuh diantaranya masuk DPR, yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung tahun 2004 diselenggarakan dengan system dua putaran. Artinya, kalau pada putaran pertama tidak ada calon yang memperoleh suara mnimal yang ditentukan, akan diadakan putaran kedua dengan peserta dua pasang calon yang memperoleh suara terbanyak. Yang menadi tujuan pokok adalah adanya pasangan calon yang terpilih yang mempunyai legitimasi kuat dengan perolehan suara 50 persen plus satu (mayoritas mutlak). Seandainya pada putaran kedua tidak ada yang memperoleh suara 5- persen plus satu, yang akan dijadikan pertimbangan untuk menentukan pemenang adalah kemerataan dukungan suara di tingkat provinsi ataupun kabupatenkota.
Pemilihan umum putaran pertama dilakukan tanggal 5 juli 2004. Karena dari lima pasang calon yang berkompetisi tidak ada yang memperoleh suara 5- persen plus satu, pada 20 September diadakan putaran kedua. Pada putaran keua hanya ada dua pasang calon yang menjadi peserta, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono – M Yusuf Kalla yang memperoleh suara 60, 62 persen dan Megawati Sukarnoputri – KH Hasyim Muzadi yang memperoleh 39,38 persen suara.
Ini juga merupakan pengalaman pertama bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan perlihan UU No 232003 tentang Pemilihan Umum presiden-wakil presiden menetapkan apa yang dinamakan electoral threshold, yaitu bahwa dukungan minimal yang diperlukan oleh pasangan calon adalah 5 persen suara sah pada pemilihan umum anggota DPR atau 3 persen jumlah kursi di DPR. Ini berarti partai politik yang perolehan suara atau kursinya dalam pemilihan umum legislative tidak mencapai batas tersebut di atas, untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden – wakil presiden harus berkoalisi dengan partai lain sehingga memenuhi syarat di atas. Koalisi juga diperkenankan bagi partai yang ingin meningkatkan besarnya dukungan bagi pasangan calon yang diajukan meskipun sudah memenuhi syarat minimal. Ketentuan electoral threshold juga berarti bahwa partai yang tidak berhasil memenuhi syarat tidak diperkenankan mengikuti pemilihan umum berikutnya. Akan tetapi untuk keperluan itupartai boleh berganti nama atau bergabung dengan partai lain.
Pada pemilihan umum putaran pertama, pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono – M Yusuf Kalla, misalnya dicalonkan oleh gabungan Partai Demokrat, PKP Indonesia, dan Partai Bulan Bintang yang secara gabungan memperoleh jumlah 11, 31 peren suara dan 69 kursi dalam pemilihan umum DPR 2004. Pasangan Megawati Sukarno Putri – KH Hasyim Muzadi yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan, mempunyai modal dukungan 18,53 persen suara sah dan 109 kursi DPR. Pada putaran kedua peta koalisi partai-partai tersebut berubah lagi karena hanya ada duapasangan calon yang berkompetisi. Partai-partai yang calonnya kalah pada putaran pertama harus mengubah arah dukungannya.
KAJI ULANG SISTIM POLITIK DEMOKRATIS
Oleh: Reinhard Hutapea
Direktur CEPP PPS UNITAS (Centre of Election and Political Partis, Program Pascasarjana, Universitas Taman Siswa) Palembang.
Published , Suara Pembaruan, 7 Februari 2013
Semakin lama kita mempraktekkan sistim pemilihan langsung, semakin tidak demokratis hasilnya. Sinyalemen ini paling tidak dapat di lihat dari semakin merosotnya partisipasi pemilih dalam pemilihan-pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam pemilihan Walikota Bekasi misalnya tercatat hanya 48% pemilih yang memberikan suaranya.
Kenapa, mengapa dan bagaimana distorsi itu terjadi, perlu penelitian lebih jauh. Akan tetapi secara hipotetik dapat di duga karena pemilihan-pemilihan yang berlangsung sebelumnya jauh dari harapan masyarakat. Meminjam teori Ted Robert Gurr, terdapat jurang yang besar (Deprivasi Relatif, DR) antara antara harapan (value expectation, VE) dan kenyataan (value capabilitas, VC). Konstituen yang berharap kwalitas politik semakin bermutu, faktanya yang merebak adalah korupsi dan perilaku menyimpang lainnya.
Aneh bin ajaib,setelah terjerat korupsi, syahwat berkuasa tetap tidak surut. Tidak bisa maju dalam pemilihan berikutnya, ia mendorong orang atau klik terdekatnya menggantikannya. Ia lupa atu pura-pura lupa bahwa pemilih dikiranya tidak tahu track recordnya.
Akan tetapi kandidat-kandidat yang lain juga tidak lebih bagus. Dalam rumors yang merebak ditengah-tengah masyarakat, kandidat-kandidat yang lain itu juga, tidak luput dari perilaku-perilaku menyimpang. Hanya saja mungkin belum diputuskan oleh pengadilan
Kecenderungan yang terjadi di Bekasi tersebut kelihatannya akan menjadi mode, trend atau paddish dalam pilkada-pilkada yang akan datang, termasuk pada Pemilu 2014. Dalam pemilu ini diprediksikan, partisipasi pemilih semakin jauh dari ambang minimal persyaratan pemilu demokratis, yakni 50 + 1 persen
Bila asumsi ini benar, yakni terus merosotnya partisipasi pemilih dalam setiap pemilihan, menandakan sistim demokrasi berada dalam bahaya.Masyarakat kelihatannya sudah tidak yakin dengan sistim demikian. Kalau begitu realitanya apakah sistim demokrasi tersebut layak diteruskan? Atau tidak sebaiknya dikaji ulang?
Kesalahan Konsep?
Demokrasi, sistim , atau institusi politik yang kita terapkan saat ini sesungguhnya adalah paradigma yang belum tuntas. Ia masih terus mencari atau berproses menuju bentuknya yang terbaik. Demokrasi yang dipraktekkan pascalepas dari colonial barulah sebatas jargon , yakni demokrasi itu ”kedaulatan rakyat”
Masalah bagaimana, seperti apa, substansi, prosedur atau hakikinya kedaulatan rakyat itu belum pernah diuraikan, apalagi dipraktekkan secara tuntas. Pendeknya “daulat rakyat”. Bukan “daulat tuanku atau daulat raja”. Titik baru sampai disitu
Konsekwensi operasionalnya sudah pasti serba coba-coba (trial and error). Karena kita dulu eks jajahan Belanda, perwujudannya agak dekat dengan demokrasi yang diterapkan disana, atau Eropa Barat pada umumnya. Meski dengan tema “kebebasan , kesetaraan atau toleransi”, metode-metode nan patrimonial masih ikut menyertainya (quasi demokrasi?). pola ini berjalan dalam era Soekarno
Pasca penggulingan Soekarno, demokrasi yang diadopsi dari Eropa Barta tersebut mengalami perubahan significan. Ronanya mulai berbau demokrasi yang dipraksiskan di Amerika Serikat, karena negara adikuasa ini memang berperan besar (kalau bukan penentu) dalam perubahan kekuasaan tersebut
Pakar-pakar politik yang sebelumnya telah studi di universitas-universitas AS, setelah pulang ke Indonesia, (entah dengan pertimbangan matang atau sebaliknya), menerapkan sistim politik yang mereka pelajari disana. Demokrasi mereka giring agar semakin liberal dan individualistik
Sekat-sekat yang dianggap masih menghadang, diamputasi dengan mengamandemen UUD 1945 hingga empat kali. Sistim pemilihan presiden yang di AS sendiri sekalipun belum dipilih secara langsung, dengan amandemen dipilih secara langsung. Begitu pula bidang-bidang lain direformasi agar semakin transparan dan bebas sebebas-bebasnya.
Singkat kata atau kongkritnya amandemen menjadi instrument, justifikasi atau legitimasi perubahan politik yang super liberal-individualistik. Semua hendak diliberalkan tanpa koridor yang membatasinya
Akan tetapi kalau dipikir lebih jauh, paradigma “super Liberal-individualistik” yang dibangun tersebut, mengandung “contradictio in terminis dalam dirinya. Prasyarat-prasyarat atau pendukung-pendukung (determinant) yang seharusnya turut menyertainya tidak dilampirkan sama sekali.
Determinant pendukung , seperti, sistim pemilihan berdasarkan distrik, parlemen bicameral, masa jabatan anggota DPR, Presiden dan Senat (DPD) yang tidak boleh seragam dan lain-lain, partai-partai local, sistim pemerintahan yang federal,tidak disertakan dalam perubahan politik tersebut.
Celaka 12 nya lagi adalah factor masyarakat tidak dihitung dengan seksama. Mereka lupa bahwa sistim masyarakat Indonesia masih jauh dari “kesetaraan” yang merupakan prinsip utama demokrasi. Masyarakat Indonesia realitanya masih tertawan pola-pola vertical oriented, paternalistic (kalau bukan feodal).
Tidak jauh berbeda dengan celaka 12 tadi, demikian pula dalam bidang ekonomi. Mayoritas masyarakat masih terpenjara dalam asimetri alias ketimpangan ekonomis. Mereka yang berpenghasilan sangat kecil, bahkan tidak berpenghasilan sama sekali masih cukup besar Bagaimana mungkin mereka berdemokrasi yang mensyaratkan simetri ? Outputnya sudah pasti tidak menarik
Tidak menarik karena yang menikmati kekuasaan atau sumberdaya-sumberdaya lainnya dalam tatanan tersebut hanyalah segelintir elit, yang tidak jarang hanya dari satu keluarga tertentu. Mayoritas masyarakat tetap marjinal dan lama kelamaan menjadi teralienasi. Apakah terus dilestarikan?
Sesuai Jati Diri
Mekanisme, prinsip , atau sistem demikian sudah waktunya dikaji ulang. Kedaulatan rakyat atau demokrasi..yes!, namun prosedur atau strateginya sudah harus dicarikan formula yang pas. Pola “penetapan” dalam penentuan Gubernur Yogya, atau diizinkannya “partai local” di Aceh, saran Muhammadiyah agar yang dipilih langsung hanya “Gubernur”, Bupati/Walikota oleh DPRD, atau saran NU agar seluruh kepala daerah dipilih DPRD, dan sekian konsep politik lain sudah waktunya dipertimbangkan. Yang pasti harus sesuai jati diri Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar