Senin, 14 Februari 2022

MS 11, SKP, SSTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU

 


 

MS 11,SKP, SISTIM KEPARTAIAN DAN PEMILU

KULIAH KE-11

JURUSAN PEMERINTAHAN FISIPOL UDA

PENGASUH: REINHARD HUTAPEA

=========================================================================

Pengantar

Artikel artikel di bawah ini (3 artikel), adalah ilustrasi atau contoh-contoh kritik saya dalam “media-media”(pers, surat kabar), terhadap sistim pemilu yang berlangsung saat ini di Indonesia. Kalangan lain pun punya kritik, yang tentu tidak sama, bahkan, mungkin, bertolak belakang dengan pendapat saya. Itulah kebebasan berpendapat.

Para mahasiswa pun, silahkan mengeluarkan pendapatnya…..

di akhir-akhir kuliah ini, mari kita sama-sama berpendapat.

Bisa jadi pendapat kalian pun beda dengan saya.

 

PILKADA 2020; PELEMBAGAAN KARTEL POLITIK

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, Analisa, 30 Jan 2020

Keasyikan menimang-nimang balon kepala daerah/ maupun wakilnya, banyak yang amnesia atau lupa akan hakiki, untuk apa sesungguhnya  pilkada dilangsungkan. Mereka sadar atau sebaliknya telah terjerembab dalam euforia, alfa akan substansi, dan seakan-akan tujuan utama perhelatan pilkada hanya memenangkan orang, sosok, atau aktor tertentu. Titik ! (hanya dan hanya itu)

Sinyalemen demikian dapat dilihat dari perilaku figur-figur tertentu yang mendaftar ke segala partai, dan atau khususnya partai-partai politik yang melakukan koalisi (persekutuan) tanpa mengindahkan ideologi yang dianutnya. Partai-partai yang secara ideologis seharusnya tidak mungkin berkoalisi karena platform, visi, dan misi politiknya berbeda, atau bertolak belakang, dengan partai lain, secara permisif telah melakukan koalisi. Koalisi gaya apa itu? Koalisi jadi-jadian? Tidakkah koalisi ditempuh atas persamaan visi dan platform?

Partai Kartel

Yang pasti koalisi seperti itu tidak ada/tidak lazim (uncommon) dalam sistim demokrasi, negara maupun teori-teori politik modern. Bagaimana partai yang beraliran kiri, nyaris tanpa syarat berkoalisi dengan partai kanan sungguh suatu yang tak masuk akal. Idem dengan, yang berlabel religius dengan sekuler, atau yang putih dengan hitam, kuning, hijau, biru dan sebagainya, berkoalisi tanpa mengindahkan jati dirinya.

 Ibarat air dan minyak, atau  kucing dengan tikus, tidak mungkin bersatu dalam satu wahana. Air dan minyak tidak akan larut, kucing akan menerkam tikus dan lain-lain perumpamaan yang mencerminkan betapa metode seperti itu tidak mungkin dipersatukan, alias tidak mungkin bekerjasama dalam satu koalisi.

Namun apapun dalihnya, mereka, yakni partai-partai itu telah berkoalisi mencalonkan Gubernur, Bupati, atau Walikota idolanya. Persetan dengan demokrasi, dengan teori, dengan fatsun politik, dan lain-lain bentuk legitimasi, yang penting idola/jagoan menang, seakan-akan menjadi, atau itulah kredonya.

 Celakanya lagi koalisi demikian tidak berhenti hanya pada waktu kontestasi pemilu/pilkada berlangsung. Pasca pemilu/pilkada, koalisi nan munafik tersebut kembali dilanjutkan dalam bentuk baru yang lebih menyeluruh, yakni koalisi antara partai-partai pemenang pemilu/pilkada dengan partai-partai yang kalah dalam pemilu/pilkada tersebut.

Fenomenanya dapat dilihat sejak/pada pilpres 1999 dimana beberapa partai melakukan koalisi untuk memenangkan presiden pilihannya. Namun setelah presiden terpilih, kembali lagi terjadi koalisi baru, yakni koalisi seluruh partai. Seluruh partai , termasuk partai-partai yang kalah mendapat jatah menteri di kabinet.

Pamungkasnya adalah sistim pemerintahan/kekuasaan saat ini. Prabowo yang kalah dalam perhelatan pemilihan Presiden, kini menjadi Menteri pertahanannya Jokowi. Kasus yang belum pernah terjadi dinegara manapun.

Dengan kata lain tidak ada lagi partai opposisi, yakni partai diluar pemerintahan/kekuasaan yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, baik di eksekutif (Presiden/kabinet), legislatif (DPR, DPD, MPR), maupun judicatif (MK, MA).

Dan Slater (2006), seorang Indonesianist yang meneliti politik dan pemerintahan Indonesia sejak era reformasi menyebut gejala demikian sebagai “jebakan pertanggung jawaban” karena hilang atau gagalnya partai-partai politik melakukan pengawasan dan keseimbangan (cheks and balances) sebagaimana lazimnya dalam sistim politik demokratis.

 Begitu terus-menerus berlangsung, berkelindan, hingga terlembaga diseluruh level pemerintahan (pusat dan daerah), yakni tidak ada partai yang menjadi opposisi sebagaimana hakikatnya demokrasi. Kuskridho Ambardi (2008) yang menulis disertasi di Ohio University menyebut fenomena pemilu/demokrasi tanpa opposisi, tanpa ideologi sebagai basis koalisi, ini sebagai partai kartel.

Partai yang melakukan pengelompokan, baik sebelum maupun sesudah pemilu/pilkada untuk menghilangkan pengawasan dan persaingan, agar dapat mengeruk finansial/keuangan sebesar-besarnya untuk kepentingan partai, dan atau khususnya kekayaan para elit-elitnya (Katz & Mair, 1995)

Mereka berkoalisi untuk berkolusi, yaitu menggangsir uang negara/pemerintah/rakyat dengan model yang populer dengan sebutan rent seeking (perburuan rente) dan korupsi. Korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan, yang menjerumuskan Rohmin Dahuri, Bulog gate I dan II yang melibatkan Akbar Tanjung adalah beberapa contoh/bukti betapa masalah ini tidak dapat dibongkar tuntas karena partai-partai yang terlibat saling menutup dan melindungi (Ambardi, K, 2008)

Ekwivalen, analog, atau sama dengan kasus-kasus mega korupsi lain, seperti kasus BLBI, Century, kasus e-KTP, dan atau khususnya Jiwasraya yang sedang marak saat ini.  Meski pengadilan belum memutuskannya, khalayak (public opinion) sudah yakin bahwa kasus tersebut sukar dituntaskan,  karena partai-partai yang (ditengarai) terlibat di dalamnya (partai kartel) saling melindungi.  

Pilkada 2020; Pelembagaan Kartel Politik

Demikian pula yang terjadi di daerah. Pada waktu kontestasi pemilihan Gubernur, Bupati, atau Walikota, terbentuk koalisi antar beberapa partai. Akan tetapi setelah kontestasi selesai (telah terpilih kepala daerahnya), seluruh partai/termasuk yang kalah, kembali lagi berkoalisi.

Berkoalisi sebagaimana yang terjadi di pusat tidak didasarkan kepada visi, misi, paltform, dan program kerja, melainkan untuk mengeruk sebesar-besarnya keuangan daerah untuk kepentingan finansial partai, dan atau khususnya kekayaan elit-elitnya.

Adapun metode, cara, atau siasat yang digunakan sebagaimana sudah rahasia umum adalah cincay-cincay antara birokrasi/kepala daerah dengan DPRD dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

APBD direkayasa sedemikian rupa seakan-akan demi kepentingan masyarakat, pada hal motif utamanya adalah untuk kepentingan birokrasi dan legislatif itu sendiri. Sinyalemen ini dapat dilihat ketika APBD yang disahkan ditelusuri item per item atau butir per butir. Disana banyak anggaran yang irrasional, yang tak jelas peruntukannya, yang jumlahnya telah di gelembungkan/mark up, yang tumpang tindih, dan lain-lain yang tak sejalan dengan kepentingan masyarakat.

Kasus APBD DKI Jaya yang Rp 12,1 T dicoret Ahok adalah kasus yang paling menarik betapa APBD sering dicincay-cincay, alias disalah gunakan antara birokrasi daerah dengan DPRD nya. Begitu pula kasus lem Aica Aibon 82 m di era Anis Baswedan. Kalau di ibukota saja masih berlangsung seperti itu, bagaimana dengan daerah?

Mungkin sudah tak perlu di bahas lagi, sebab masyarakat sudah letih, jenuh, dan jijik melihatya. Kunjungan, atau tepatnya jalan-jalan DPRD ke daerah lain yang terus menerus, yang bisa lima kali dalam sebulan, dan atau semakin banyaknya kepala daerah yang ter OTT KPK, adalah fakta-empirik bahwa pemerintahan daerah sudah terstruktur pada kartel politik. Pilkada 2020, tak lebih tak kurang terlembaga dalam pola demikian.

 

 

PILEG 2019; DEMOKRASI BELI SUARA ?

Oleh : Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan dan Direktur CEPP MIP Unitas Palembang

Published, Analisa, 19 Februari 2019

Susan Rose - Ackerman dalam bukunya Korupsi Pemerintahan (Corruption and Government Causes, Consequences, And Reform, 2000) menyatakan bahwa alat yang paling ampuh untuk menganalisis mengapa terjadi korupsi adalah ilmu ekonomi. Mengapa pakar korupsi kondang dari Yale University itu mengatakan demikian adalah karena motif utama perbuatan serakah itu adalah memperkaya diri melalui institusi-institusi negara, lepas dari legal atau sebaliknya. Bagaimana supaya kaya menjadi kata kuncinya.

Meski tidak dihubungkan dengan teori liberal-pasar bebasnya Adam Smith, yakni competition (kompetisi), sesungguhnya itulah argumentasi empiriknya. Bukankah Adam Smith bertitah bahwa persaingan (kompetisi) antar individu/pribadi itu akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang via tangan-tangan tak terlihat (invisible hand)? Yang pasti dalam realita-praksisnya, persaingan itu hanya menguntungkan si individu yang paling efisien, kuat, licin, dan lihai.

Tidak diluarnya, sebagaimana dititah-teorikan sebelumnya, yakni, akan mendatangkan kemakmuran bagi semua orang, karena akan melesatkan kompetisi yang membuat barang-barang, komoditas, dan lain-lain unsur ekonomi menjadi murah dan bermutu. Faktanya tidak seperti itu, sebab yang muncul dan dominan kemudian adalah monopoli, kartel, dan lain-lain penyakit kronis ekonomi. Paul Krugman (1995) dengan tegas menudingnya sebagai zero sum game.

Susan Rose - Ackerman yang banyak terlibat dalam bantuan-bantuan ekonomi Bank Dunia (World Bank) kenegara-negara lain, khususnya kepada negara-negara sedang berkembang (NSB), menyebut distorsi demikian menyeruak karena negara dan swasta tidak berfungsi semestinya. Negara/pemerintah dan swasta tidak menjalankan tugas dan fungsi secara konsekwen sebagaimana yang tertulis dalam Konstitusinya (UUD, UU, dan lain-lain aturan pendukungnya).

 Katanya/tertulisnya demokrasi, namun yang tampil tidak seperti, atau jauh dari nilai-nilai luhur itu. Kalau sungguh-sungguh menerapkan demokrasi, sebagaimana pengalaman banyak negara yang menempuhnya, korupsi itu seharusnya berkurang. Tidak seperti dinegeri ini korupsi malah tereskalasi lewat proses demokrasi (M. Mahfud MD, 22 jan 2019). Sungguh suatu dunia yang ironis dan jungkir balik.

Konsepsi demikian (ironi dan jungkir balik) inilah yang terjadi pada pileg 2004, 2009, 2014, dan khususnya pada hari-hari/saat ini, yakni dalam kampanye-kampanye (menuju) pileg 2019. Konsep bias yang semakin mengental, mentradisi, melembaga, yang jika tidak dihentikan akan menjadi kebenaran.

Idealnya semakin lama proses itu berlangsung, sebagaimana konsepsi sistim politik demokratis (David Easton,1950) semakin baik kwalitasnya. Tidakkah input (tuntutan dan dukungan) yang berproses dalam black box (sistim politik) akan menghasilkan out put (keputusan dan kebijakan) yang handal bagi kebebasan, kesejahteraan, dan keadilan masyarakat?

Disini aneh, justru semakin lama sistim, pola, atau praksis pemilihan satu orang, satu suara, dan satu nilai (One men, One Vote, One Value, OPOVOV) nan proporsional terbuka itu dipraktekkan semakin kacau balau, acakkadut, dan amburadul hasilnya. Masalah, konflik, dan krisis yang dalam pileg-pileg sebelumnya tidak muncul kepermukaan, dalam sistim ini menyeruak dengan kasat mata. Masalah-masalah politik identitas, jeruk makan jeruk, dan terutama politik berbiaya tinggi adalah ilustrasinya.

Biaya Besar

Dalam pileg 2004, yakni ketika pertama kali model pemilihan proporsional terbuka/langsung itu dioperasionalkan, sudah terendus betapa model yang (katanya) sangat demokratis demikian akan berbiaya besar.

Biaya demikian adalah alat-alat peraga kampanye yang sangat banyak dan mahal, seperti iklan di media cetak/audio visual, spanduk, baliho, kaos, klender, selain biaya tim kampanye/event organizer (EO) yang an sich hanya ditimpakan kepada caleg-calegnya. Konsekwensi logisnya para caleg dengan segala kekuatan dan keterbatasannya dipaksa dan terpaksa harus menyediakan dana tersebut apabila ingin survive/menang dalam kontestasi.

Disisi lain, selain biaya alat peraga kampanye dan tim teknis (EO) yang sangat mahal itu, yang membuat kemudian pembiayaan semakin membengkak adalah, sang calon tidak jarang dipungut biaya/mahar, yakni harus bayar uang kepada partai yang mengusungnya. Terutama caleg yang di rekrut dari luar partai, alias bukan kader, apalagi untuk mendapatkan nomor urut atas (nomor 1, 2, dan maksimal no 3).

Tidak cukup disitu. Faktor selanjutnya yang memperbesar pengeluaran adalah biaya pengamanan suara supaya tidak hilang. Biaya yang seharusnya bukan pengeluaran partai/caleg, realitanya tetap terbebani apabila suaranya tidak dicuri/hilang sebagaimana yang ditengarai kerapkali terjadi.

Aktor-aktor yang terlibat disini, terutama adalah saksi, plus koordinatornya. Diperlukan saksi di setiap TPS, yang sudah barang tentu harus dibayar. Meski tidak resmi biaya-biaya yang seharusnya tidak menjadi beban caleg/partai, seperti untuk penyelenggara pemilihan (PPS, pihak keamanan, Bawaslu, dan KPU) ternyata (juga) harus disediakan. Belum lagi biaya-biaya teknis tak terduga yang selalu muncul mengiringinya, yang jumlahnya cukup significan.

Pembengkakan Biaya

Akan tetapi yang membuat biaya kampanye itu semakin besar berlipat-lipat tak terbatas, adalah mencuatnya pola yang tak lazim (uncommon), yang tak ada dalam aturan pileg. Pola yang sesungguhnya dilarang, diharamkan, dan kampungan, namun menjadi determinant factor (faktor penentu) keunggulan. Metode/pola/kiat  ini adalah yang popular dengan sebutan “suap, sogok, uang pelicin, dan sejenisnya” yang diberikan sang caleg kepada pemilih. Bagaimana caranya?

Cara/metode yang lazim ditempuh pada umumnya adalah mengikuti alur aturan yang sudah tertulis dalam UU Pemilu, namun dalam praksisnya di improvisasi, dibelokkan, atau malah dijungkir balikkan. Dalam artian lain, prosedurnya diikuti, namun substansinya disesuaikan dengan kepentingan sempitnya (vested interest).

Model-model kampanye sebagaimana tertulis dalam UU Pemilu, seperti (a) pertemuan terbatas, (b) pertemuan tatap muka, (c) pemasangan atribut kampanye, dan (d) Iklan melalui media, tetap menjadi acuan, namun sebatas mekanisme-prosedurnya. Sebagai ilustrasi adalah apa yang dilakukan dalam pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.

Dalam pertemuan tersebut tetap berlangsung imperative UU Pemilu, seperti, penyampaian visi, misi, program, rencana kebijakan publik, trackrecord/rekam jejak, komunikasi/sosialisasi dua arah, dan lain-lain unsur suatu kampanye . Akan tetapi pasca acara itu terjadilah hal-hal yang tidak tertulis dan dilarang dalam UU Pemilu. Tampillah modus-modus misterius, yang siluman, bak hantu disiang bolong, yakni transaksi-transaksi (uang) antara kalangan sang caleg dengan peserta pertemuan.

Namun sebagaimana disinggung di atas, pola demikian, yaitu, yang mengikuti alur-aturan yang ada dalam UU Pemilu barulah tahap awal, dan jembatan kamuflase untuk transaksi yang lebih raksasa. Masalah seperti  apa atau bagaimana agar transaksi/pembagian tersebut tidak terjerat hukum sudah ada metodenya (ahli terlatih untuk itu lebih dari cukup telah tersedia)

Soal berapa jumlah yang harus diberikan (dibagi), sebagaimana penuturan pihak yang pengalaman dalam hal tersebut sangat bervariasi. Ada yang Rp 400.000,-, Rp 300.000, Rp 150.000,- per orang. Tergantung segmen, kelas, atau level masyarakatnya. Bagi kelas menengah, bawah, dan atas sudah pasti berbeda. Bisa jadi hanya puluhan ribu rupiah, namun sebaliknya bisa jutaan. Calo-calo untuk memuluskannya lebih dari cukup telah gentayangan. Apa bedanya dengan calo-calo yang merajalela dalam urusan-urusan publik selama ini? Tidakkah itu telah fenomenologis? Sama saja.

Pembengkakan Biaya

Akan tetapi apapun dalihnya, Pembengkakan pembayaran demikian semakin meroket, mengingat pertemuan-pertemuan terbatas tersebut tidak hanya pertemuan resmi kampanye nan politis. Melainkan telah menerobos pertemuan-pertemuan diluarnya, yakni pertemuan yang bersifat sosial-budaya dan relijius. Pertemuan yang seharusnya tidak etis digunakan sebagai ajang kampanye, namun telah diarah-belokkan kesana.

Pertemuan-pertemuan adat, apalagi pertemuan-pertemuan yang bersifat relijius sebagaimana hakikinya adalah pertemuan yang sakral. Pertemuan yang tujuan utamanya membangun spiritualitas. Bukan pertemuan-pertemuan politik yang an sich mengejar kekuasaan, yang sarat dengan kepentingan-kepentingan sempit (vested interest). Tidak seperti itu

 Namun sebagaimana faktanya pertemuan inipun sudah diwarnai (kalau bukan dinodai) pola-pola komersil yang sarat dengan transaksi-transaksi. Transaksi yang sukar dijerat hukum karena sifat pertemuannya yang bukan politis/kampanye, namun kenyataannya berlangsung kampanye. Modus, penyimpangan, atau kampanye terselubung yang melesat bak jet membelah langit pada pileg 2009 (baca: George Yunus Aditjondro, 2010, Gurita Cikeas), dan (terutama) pada pileg 2014.

Mungkin atas dasar pertimbangan demikian, yakni supaya tidak semakin runyam situasinya, pemerintah bersama DPR mengeluarkan kebijakan, yaitu memberi bantuan alat peraga dan iklan kampanye bagi setiap caleg, dan biaya kampanye ditanggung partai masing-masing (pasal 329 UU No 7 Tahun 2017). Khusus untuk menyediakan/membiayai alat-alat peraga kampanye ditugaskan kepada KPU.

Dalam perjalanan atau fakta-empiriknya, kebijakan demikian (ternyata) tidak banyak pengaruhnya. Malah menurut para petahana yang akan maju kembali dalam pileg 2019, justru sebaliknya yang mengemuka, yakni pembiayaan kampanye semakin berganda hingga 10 X lipat, dan sebagai konsekwensinya para caleg jika ingin menang lagi, harus menyediakan dana minimal Rp 5 M (Tajuk Rencana Kompas, 30 Januari 2019)

Fantastic namun itulah kredonya. Kredo yang diakui sendiri oleh pentolan-pentolan partainya. Hajriyanto Tohari, anggota tim seleksi caleg partai Golkar, nyerocos bahwa ditengah-tengah sistim pemilu berbiaya tinggi yang berlangsung pasca reformasi, tidak dimungkiri bahwa faktor logistik menjadi pertimbangan penting. Siapa yang memenuhi syarat itu? Salah satunya sudah pasti adalah petahana.

Meski mengorbankan kaderisasi, regenerasi, dan lain-lain yang berhubungan dengan eksistensi kepartaian, yang diutamakan dalam pencalegan tetaplah petahana. Selain memiliki finansil yang memadai, jaringan yang kongkrit, merekapun punya kapasitas/pengalaman yang lebih ketimbang caleg pendatang baru (K 25 Jan 2019).

Tidak begitu beda diutarakan Andreas Hugo Pareira, Ketua DPP PDIP, yakni kemampuan finansial caleg menjadi salah satu pertimbangan partai dalam memberi nomor urut, yakni nomor urut atas. Caleg yang punya uang besar akan didahulukan dari pada caleg yang uangnya kecil.

Analog dengan partai-partai lain, meski tidak bernyanyi seperti Hajriyanto Tohari dan Andreas Hugo Pareira, namun dari urutan-urutan calegnya pada daftar calon tetap (DCT) kelihatan bahwa yang diutamakan adalah petahana (kaum yang sudah punya modal, pengalaman, dan jaringan)

Demokrasi Beli Suara

Ilustrasi lain yang betul-betul biadab dan berbiaya besar adalah pembentukan tim yang sama sekali tidak melakukan kampanye sebagaimana diamanatkan UU, namun langsung memobilisasi dukungan pemilih. Mereka/tim ini bergerak langsung ke sosok-sosok, kantong-kantong, atau segmen konstituen yang dianggap dapat meraup suara.

Kiat yang mereka gunakan pada umumnya adalah gabungan dari pola-pola pemasaran dalam ekonomi, intelijen, hingga siluman. Metode yang jauh lebih strategis ketimbang metode yang dimanatkan UU Pemilu, atau pola kampanye umum, sebab lebih efektif dan efisien. Lokasi, wilayah, atau garapan mereka pada umumnya bisa perkecamatan, perdesa, atau per TPS. Mereka meletakkan orang-orangnya disana.

Jumlah mereka disesuaikan dengan banyaknya konstituen yang dibidik. Bisa besar, sedang, atau kecil. Dari pengakuan seorang caleg yang sudah beberapa kali terpilih, jumlah yang direkrutnya setiap pileg antara 20 sampai 40 orang perkecamatan. Bisa dibayangkan bila dalam satu kabupaten/kota terdiri dari 25 kecamatan, sementara dapilnya 4 kabupaten/kota,berapa besar biaya yang dikeluarkan.?

Tidak sekedar Rp 5 M, sebagaimana disebutkan diatas. Bisa jadi jauh di atas itu. Ironis. Lalu? Sudah waktunya sistim pileg ini dievaluasi. Merdeka

Cat: Issunya saat ini 50 M….

 

MELESATNYA KUTU LONCAT DALAM PILEG 2019

Oleh: Reinhard Hutapea

Staf pengajar Fisipol UDA Medan

Published, 30 Agust 2018 harian Analisa

Salah satu issu politik teranyar saat ini (selain issu wapres yang masih kontroversial) adalah pembajakan elit-elit partai oleh partai yang satu dengan partai yang lain, dengan transfer milyaran rupiah untuk dijadikan caleg dalam pemilu 2019. Konon beberapa sosok yang dianggap dapat mendulang suara besar dalam pemilu telah dibujuk partai-partai tertentu supaya mencalonkan diri ke partainya dan pindah dari partai asalnya. Dengan iming-iming sekian  Miliar Rupiah mereka dirayu agar menerima tawaran tersebut. Lucky Hakim dari PAN adalah sosok pertama yang mengakuinya.

 Beliau akan maju sebagai caleg dari Nasdem, setelah dijanjikan dapat bayaran Rp 5 M, dan Rp 2 M sudah diterima lebih dulu, walau Lucky dan pihak Nasdem membantahnya. Sosok lainnya adalah Ferry Kase dari Hanura. Beliau (Ferry) bersenandung bahwa ia sering ditawari pindah partai oleh partai-partai lain dengan iming-iming uang, namun ia tidak bersedia.

Sementara itu , Arsul Sani, Sekretaris Jenderal PPP teriak, bahwa kader partainya, Okky Asokawaty yang hengkang dan nyaleg ke Nasdem, melesat setelah pihak Nasdem menawarinya Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar, meski Okky dan pihak Nasdem membantahnya. Dalam bahasa yang lain, namun substansi yang sama, Abdul Hakam Naja, anggota DPR RI dari PAN 2009-2014, nyerocos telah mendengar praktek-praktek pembajakan itu pada pileg 2014 yang lalu, namun tidak semasif saat ini (K, 21 Juli 2018)

Terbajaknya Demokrasi

Massif atau sebaliknya, terstruktur atau sebaliknya, sistemik atau sebaliknya, yang jelas indikasi kutu loncat demikian sudah fenomenologis pasca reformasi, seiring terbukanya kran kebebasan membentuk partai-partai politik baru. Begitu mudahnya membentuk partai (apabila dibandingkan dengan Orde Baru  yang hanya mengijinkan tiga partai), namun sebagai konsekwensi logisnya, semudah itu pula mereka (para kadernya) meninggalkan partai asalnya, dan loncat ke partai lain yang dianggap lebih menguntungkan dirinya (vested interest).

Ferry Mursidan Baldan, Enggartiasto Lukito, Viktor Laiskodat, dan Siswono Yudohusodo yang loncat dari Golkar ke Nasdem, Habiburokhman dari PKS ke Golkar, Effendy Choirie dari PKB ke Nasdem, Saan Mustopa dari Partai Demokrat ke Nasdem, Ramson Siagian dari PDIP ke Gerindra pada pemilu 2014. AS Hikam dari PKB ke Partai Demokrat, Zaenal Maarif dari Partai Bintang Reformasi ke Partai Demokrat, Dede Yusuf dari PAN ke Partai Demokrat, Permadi dan Haryanto Taslam dari PDIP ke Gerindra pada pemilu 2009 adalah beberapa sosok betapa fenomena kutu loncat itu sesungguhnya sudah lama terjadi.

Hanya saja dalam pemilu 2019 ini kecenderungannya semakin terbuka, banyak, norak, dan vulgar, karena diiming-imingi dengan biaya transfer, atau pembajakan. Mirip dengan pembajakan manajer-manajer perusahaan yang diwarnai dengan biaya transfer yang besar/mahal, atau biaya transfer dalam liga sepakbola. Meski tidak disebut hengkang dengan bayaran uang yang besar, enam anggota DPR dari Hanura, yakni Rufinus Hutauruk, Arief Suditomo, Frans Agung, Dadang Rusdiana, Fauzi Amro, telah pula eksodus ramai-ramai nyaleg dari Nasdem pada pemilu 2019.

Begitu pula Priyo Budi Santoso dari Golkar ke Berkarya. Meski belum viral (muncul kepermukaan) nama-nama lain  yang bakal jadi kutu loncat dengan transfer milyaran rupiah, kecenderungannya akan merebak pada pileg 2019 yang akan datang.

Fenomena yang dikutuk, dibenci, dihujat, yang runyam, yang khianat, yang tak bermoral, dan entah apa lagi umpatan-umpatan yang dialamatkan terhadapnya, namun ia tetap, bahkan semakin lama semakin eksist, karena tatanan atau system yang mendukungnya memang sudah terstruktur dan distrukturkan seperti itu. Bagaimana metode, cara, atau strategi mengapa tatanan yang tak lazim bak setan itu berlangsung sudah banyak diulas para tokoh dan  pakar. Mungkin sudah lebih dari cukup.

Begitu pula jalan keluar untuk meretasnya secara komprehensif dan konseptual (ilmiah), nyaris telah melimpah direkomendasikan. Namun sebagaimana halnya keledai yang selalu jatuh ke lobang yang sama, demikian pula peran yang dilakonkan pihak atau lembaga (power establish/the rulling class) yang berwenang terhadapnya. Lembaga  yang seharusnya menjadi candra dimuka atau pionir dalam perubahan (social change), tetap saja tak bergeming, alias buta dan tuli, nan asyik dengan kroni dan kepentingannya sendiri. Meminjam adagium anak Jakarta yang berbunyi…”emangnya gue pikirin (atau e lu elu … gue gue)”, atau juga sabda raja “the king can do no wrong”, mungkin begitulah kira-kira perannya.  Peran yang tidak menjalankan imperatif konstitusi (UUD) dan kebijakan publik (public policy), melainkan atas syahwat dan kepentingan rezim semata.

Sinyalemen demikian dapat dibaca dari tesis beberapa Indonesianist yang kondang, seperti Karl D Jackson (Bureaucratic Polity), Dwight Y King (Bureaucratic Authoritarian), Benedict Anderson (Patrimonialism), Richard Robison (The rise of capital), Harold Crouch (Military Polity), yang telah menganalisis ketidaklaziman (un common) dan keahistorisan demikian dengan panjang lebar, sekaligus juga telah memberikan jalan keluar (way out), atau rekomendasinya.

Namun sebagaimana fakta atau realitasnya yang mendekati keledai, analisis atau rekomendasi itu hanya sebatas analisis dan rekomendasi yang tak pernah ditindaklanjuti, dan hanya hangat di bangku-bangku kuliah atau ditempat-tempat terbatas lainnya. Diperguruan-perguruan tinggi, ia menjadi konsep yang akurat (valid and reliable) diperbincangkan, namun di dunia nyata ia tak digubris sama sekali.

Tidak begitu beda (analog) dengan yang dialami Rezim Reformasi, rezim yang pada awalnya diharapkan sukses meretas parasit-parasit sosial politik sebelumnya, tetap saja terjerembab ke kubangan yang sama, yakni kubangan otoritarian yang dialami Orde Baru. Dalam arti lain, meski kebebasan politik berhembus kencang saat itu tidak merembes kepada kebebasan-kebebasan lain, khususnya kepada kebebasan ekonomi.

Keadaan ekonomi tetap saja, kalau bukan lebih buruk dari keadaan sebelumnya. Mayoritas rakyat masih berkutat dalam kemiskinan dan ketimpangan, sementara di pihak lain, segelintir orang bergelimang kekayaannya. Suasana yang selanjutnya akan terus melanggengkan ketimpangan sosial.

Konstatasi buram, yang akhirnya melatar belakangi tampilnya dua konsep politik besar (grand theory) terhadapnya, yakni “Oligarchi” (Jeffrey Winters, 2010, R William Liddle, 2018) dan “Kartel politik” (Dan Slater 2005, Kuskridho Ambardi, 2008). Dua paradigma/konsep politik yang menarasikan betapa (“kenapa, mengapa, dan bagaimana”) suasana yang tidak demokratis itu tetap lestari, sebagaimana pada konsep-konsep politik yang marak sebelumnya pada era Orde Baru (Patrimonial, Bureaucratic Authoritarian, Korporatisme, Kleptocracy etc).

Paradigma yang jika ditilik secara seksama sesungguhnya mempunyai substansi yang sama, yakni sama-sama berwarna otoritarian. Pada Orde Baru jelas, terang dan murni 24 krat, sedangkan pada era reformasi dalam balutan kebebasan politik. Kebebasan yang empiriknya tidak untuk kesejahteraan atau keadilan, melainkan hanya untuk kebebasan itu sendiri (kebebasan untuk kebebasan). Kebebasan yang pada akhirnya bermuara pada over dosis, kebablasan, yang membajak demokrasi mundur kembali sebagaimana ditengarai Olle Tornquist (2004) seorang Indonesianist dari Norwegia.

Melesatnya Kutu Loncat

Konsekwensi selanjutnya sudah dapat diduga, yakni tampil dan melesat lembaga-lembaga baru, namun usang atau afkir dalam fungsinya. Sebagai hasil amandemen muncul pemilihan langsung (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota), namun dalam praksisnya masih elitist, karena tidak melalui konvensi,  tampil Mahkamah Konstitusi (MK) disamping MA, tapi praksis-praksis inkonstitusionil masih fenomenologis, tampil Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain DPR, tapi hanya mewakili dirinya, tampil Otonomi Daerah, namun daerahnya tetap birokratis, dan akhirnya sebagaimana tujuan penulisan ini, tampil partai-partai baru, tapi tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Artinya tidak mengikuti imperatif yang diamanatkan UU Partai Politik (UU No 2 Tahun 2011), teori-teori kepartaian demokratis, atau praksis praksis di Negara yang berkedaulatan rakyat.

Dalam UU No 2 Tahun 2011 disebutkan bahwa partai politik memiliki lima fungsi, yakni a) pendidikan politik, dengan harapan agar setiap warga negara sadar akan hak dan kewajibannya, b) pencipta iklim kondusif bagi kesatuan dan persatuan bangsa, agar rakyat semakin sejahtera, c) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik, d) sarana partisipasi politik warga negara, e) rekruitmen politik bagi jabatan-jabatan negara.

Mana yang dijalankan dari fungsi-fungsi demikian? Fungsi a hingga d praktis tidak pernah dijalankan. Kapan mereka melakukan pendidikan politik? Kapan berikhtiar menelorkan suasana yang kondusif ? Kapan melakukan agregasi dan artikulasi politik? Kapan menjadi instrument saluran partisipasi?. Yang kongkrit hanya no 5 yakni rebut-rebutan cari jabatan politik.

Disfungsional yang merebak karena berbagai faktor. Salah satu adalah akibat dari minimnya anggaran. Iuran anggota yang seharusnya menjadi sumber utama nyaris tidak jalan, sementara untuk menggerakkan fungsi-fungsi demikian memerlukan biaya yang besar. Konsekwensi logis atau derivasinya, partai akhirnya mencari dana dari orang-orang yang punya kapital (dana/duit).

Sementara itu (disisi lain) dengan naiknya parlemen threshold (jumlah suara yang harus dipenuhi supaya tidak terdepak dari DPR), dari 3,5 persen menjadi 4 persen dalam pileg 2019, kembali memaksa partai-partai mencari figur yang selain berduit, juga harus kondang/populer. Siapa mereka itu? Siapa lagi? Salah satunya adalah figur-figur yang populer di partai lain. Figur yang meloncat-loncat dari satu partai ke partai lain, sebagaimana kutu yang busuk dan gatal. Strukturnya sudah sistemik seperti itu. Ironi….

 

MASIHKAH PEMILU UNTUK RAKYAT?

TIDAKKAH HANYA UNTUK SEGELINTIR ORANG YANG OLIGARKHIS ATAU ELITIS?

 

Hayo….keluarkan pendapat kalian….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar